ARDOR

Sabtu, Januari 13, 2024

ARDOR

Karya : Dzakiya Mumtazah Riyanto



Hembusan angin kecil menerpa wajahku. Membuatku semakin terlarut dalam lamunan.

Rambutku bergoyang kesana kemari mengikuti arah angin. Perlahan awan menumpahkan beban

beratnya ke bumi. Rintik-rintik hujan mulai tercipta. Tak ada petir, hanya rintik hujan yang

menyenangkan.


Aku semakin terbuai dalam lamunan. Sesekali menyesap cokelat hangat yang mungkin

sebentar lagi akan habis. Dari sini kulihat matahari sudah tergelincir ke arah barat, menyisakan

semburat merah kejinggan yang indah. Pohon-pohon bergoyang menyesuaikan gerak angin yang

kecil.


Semilir angin membuat mataku refleks terpejam, menikmati setiap detik yang terlewati. Aku

sangat menyukai suasana seperti ini. Suasana yang damai dan tenang, tanpa gangguan.

Udara dingin mulai merasuk kedalam tubuhku. Akal sehatku memutuskan untuk masuk ke

dalam mencari kehangatan. Tunggu, sepertinya aku telah meninggalkan secangkir cokelat hangatku.

Kakiku berputar arah menuju balkon, mengambil secangkir cokelat hangatku yang tertinggal.

Matahari telah sempurna meninggalkan bulan. Indra pendengaranku hanya menangkap suara

air yang turun dari langit. Dengan cepat turun membasahi bumi. Sepertinya hujan deras akan turun

malam ini. Baiklah setidaknya tidak ada petir. Aku hanya akan bergelung dengan selimut biruku

semalaman.


Cipratan air mengalihkan eksistensiku yang bergelung memandangi hujan. Aku

melangkahkan kaki menuju pintu balkon, menutupnya dengan pelan. Juga menutup gorden yang

sesekali bergerak terbawa angin. Seolah ikut menikmati irama hujan yang mengalun.

Aku melangkahkan kaki menuju dapur dengan membawa secangkir cokelat hangat yang

tersisa. Sunyinya malam membuat langkah kakiku terdengar. Suara hujan masih terdengar samarsamar

di telinga. Menyatu dengan suara langkah kakiku bagaikan berkolaborasi dengan indah.

Suara sandal yang kukenakan menuruni anak tangga terdengar nyaring. Sejenak menggantikan

ramainya air hujan.


Pemandangan pertama yang ku lihat saat tiba di dapur ialah punggung mama. Mungkin

mama sedang menyiapkan masakan untuk makan malam kami. Aku jadi menebak apa menu makan

malam kami nanti.


“Malam, Ma.” Sapaku riang. Eh? Sepertinya sapaanku mengejutkan mama. Terbukti mama

hampir saja menumpahkan banyak garam kedalam masakan.


“Iya malam juga, Ze.” Balas mama yang sudah lepas dari rasa terkejut.

Meletakkan cangkirku ke tumpukan piring kotor, aku bergumam, “Kenapa aku tidak

mencuci piring kotor ini saja? Daripada aku terus diam melamun sambil menikmati alunan hujan

atau bergelung dengan selimut biruku. Ah, itu membosankan.”


Di tengah tanganku yang penuh busa aku berpikir, kenapa hidupku membosankan? Apa

remaja lain juga mengalami seperti ini? Ini seperti, ah aku tidak bisa menjelaskannya. Atau kurasa

tidak? Remaja seusiaku, mereka terlihat sangat menikmati hidup yang menurutku membosankan.

Oh baik, perkenalkan aku Zeira. Usiaku lima belas tahun. Aku hidup di dunia yang

monoton. Cukup itu saja, tidak ada yang spesial tentangku.


Tiba-tiba dalam pikiran aku berjumpa dengan kata, “Masa Depan”. Yeah, itu kata yang

sangat sederhana. Bahkan mungkin sudah ratusan kali aku mendengarnya. Tapi sejujurnya aku tidak

mengerti tentang bagaimana masa depan.


“Wah, Ze! Akhirnya kamu membantu mama mencuci tumpukan piring kotor itu.” Ucapan

mama membuyarkan lamunanku, entahlah aku sering melamun akhir-akhir ini, membuatku tidak

fokus. Sepertinya mama senang sekali mendapati anak gadis satu-satunya bergelut dengan

pekerjaan rumah. Aku tertawa kecil sebagai balasan.


Sebenarnya tidak banyak yang dapat aku lakukan. Hanya mencuci piring dan menyapu

lantai saja. Huft, itu sudah sangat melelahkan bagiku. Juga tidak kulakukan setiap hari.

Sesuai perintah mama, selesai mencuci aku naik lagi ke lantai atas melewati satu persatu

anak tangga. Bukan untuk menuju kamarku. Melainkan persis di sebelah kiri kamarku. Meski

begitu, tak pernah sekalipun aku memasukinya. Yang jelas itu adalah ruangan milik kakakku, El.

“Kak, mama menyuruh kita segera turun untuk makan malam.” Di depan pintu kamar aku

menunggu balasan dari sang penghuni. Satu, dua, tiga detik sudah terlewati. Pintu kamar itu tetap

diam membisu seolah tak mau memberi jawaban.


“Baiklah, aku harap indra pendengaran Kakak masih berfungsi.” Daripada aku bagaikan

patung di sini, lebih baik aku bersiap untuk makan malam. Lambungku sudah bergejolak,

mengirimkan sinyal ke otak agar memintaku untuk segera mengisi kekosongan perut. Sejujurnya

bukan sekali ini saja kakak bersikap demikian. Entah apa salahku, kakak selalu mengacuhkan ku

begitu saja. Akupun juga tak peduli dengan sikap kakak.


“Seperti biasa, Ma,” laporku kepada mama. Kulihat mama menghela nafas kecil, “Kita

tunggu saja, pasti anak itu akan turun.”


“Papa belum pulang ya, Ma?” Tanyaku berbasa-basi. Akupun tau jawabannya tentu

menyatakan bahwa papa belum pulang.

Tak lama kakak turun, bergabung ke meja makan. “Malam, Ma,” sapanya sebagai pemanis.

“Malam, Kak,” ujarku. Hanya deheman singkat yang kudapatkan.

“Kita makan duluan saja, sepertinya papa akan lembur lagi malam ini.”

Makan malam terasa sunyi. Sendok dan piring yang bergesekan menimbulkan suara

berdenting. Pun dengan jarum jam yang terus berdetak. Menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit.

Hujan masih mengguyur deras, mengiringi setiap detik yang dilewati. Seolah mencoba memecah

keheningan di tengah sunyinya malam.

Makan malam kali ini seperti biasa. Tak ada yang spesial bagiku. Hanya tersaji sup dengan

kaldu ayam juga teh hangat sebagai pengusir dahaga. Ah, sudah kukatakan hidupku sangat

membosankan. Sepertinya aku ingin mencuci tumpukan piring kotor lagi setelah selesai makan. Itu

hal yang tidak terlalu membosankan daripada hanya diam memandang gelapnya malam.

Setidaknya masakan mama cukup enak, membuat perutku tidak lagi membunyikan suara

aneh. Tanganku mengayun membawa sendok yang kugenggam menuju mulut. Suapan terakhir, aku

mengunyahnya dengan lembut. Tentu karena aku tidak ingin tersedak makanan. Hei, tersedak

makanan dapat menimbulkan hal fatal, kau tau? Kematian misalnya.

“Biar aku saja yang mencucinya nanti, Ma,” ijinku pada Mama, memecah keheningan yang

tercipta.

“Terimakasih, Ze,” Mama mengangguk kepadaku. Kak El hanya memandangi kami sambil

menghabiskan teh hangatnya yang tersisa.

“El, sehabis belajar segera tidur. Jangan tidur larut malam, kau juga Ze,” Mama

mengingatkan. Tapi lagian siapa juga yang ingin tidur larut. Tidak memejamkan mata hingga

tengah malam. Itu mengerikan. Aku pasti sangat bosan dan kebingungan mencari kegiatan, sudah

seperti pengangguran sekali. Lebih baik memejamkan mata, bergelung dengan selimut biruku, itu

lebih baik.

Sebuah anggukan kuberikan kepada Mama sebagai balasan. Decitan kursi terdengar saat aku

memundurkan kursi, berdiri, dan berniat membereskan piring dan gelas diatas meja. Mama sudah

terlebih dulu menaiki tangga, sepertinya Mama lebih memilih menunggu Papa pulang di kamar

daripada di depan televisi yang menyala sambil memakan camilan faforitnya.

“Gelas milikku! Jangan. Aku masih ingin menikmatinya,” ucap El. Tunggu, aku bahkan

tidak sadar dia memiliki dua gelas minuman. Teh hangat buatan mama sudah dia habiskan, tersisa

secangkir kopi susu yang terlihat menggoda, aku seperti ingin mencicipinya.

“Kau tidak naik keatas? Menikmatinya di kamar mungkin lebih segar.”

“Kau mengusirku?” Astaga, sungguh bukan begitu maksudku. Makhluk ini sensi sekali,

menyebalkan.

El mengangkat bahunya acuh saat melihatku mengenduskan napas kasar. Lebih baik aku

segera mencuci piring dan segera menuju kamar, bertemu dengan selimut biruku.

Suara aliran air memenuhi dapur. Menemaniku di tengah heningnya malam. Aku jadi

kembali berpikir, kenapa hidupku sangat datar? Aku seperti ingin mencoba hal baru yang lebih

berwarna. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang gadis kecil biasa. Aku bahkan tidak

memiliki bakat.

Pikiranku melayang kembali teringat dengan masa depan. Bagaimana dengan masa depan?

Apa aku akan terus melawati hari-hari yang membosankan ini sepanjang hidup? Oh, sungguh, itu

mengerikan.

“Kak,” panggilku. Tak ada jawaban, tapi aku yakin dia tidak tuli. “Apa yang kau pikirkan

tentang masa depan?” Aku melanjutkan perkataanku, masa bodoh akan dijawab atau hanya akan

dijadikan sebagai angin lalu olehnya.

“Huh? Masa depan?” Benarkan, dia tidak tuli.

“Eummm masa depan? Menurutku itu kata yang ambigu. Bukankah hari ini juga masa

depan? Masa depan bagi masa lalu. Masa depan tidak selalu tentang saat kita dewasa bukan? Tapi

tentang bagaimana caramu menyikapi masa depan. Apakah akan lebih baik? Atau mungkin

sebaliknya?”

Aku baru mengetahui ternyata Kak El bijak juga. Tapi jika dipikir-pikir memang iya. Saat

ini adalah masa depan bagi masa lalu. Kalau aku dapat berpindah waktu seperti imajinasiku saat

kecil, mungkin aku melihat gambaran wajahku di masa lalu menatap kecewa padaku sekarang. Aku

tidak ingin seperti ini, hidup membosankan, datar, dan monoton. Tidak banyak yang kulakukan

setiap harinya.

Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benakku, “Tapi bukankah takdir sudah tergaris?

Memangnya kita dapat mengelak garis?”

“Hei, bukankah itu terlalu konyol?”

Dahiku terlipat kecil dengan salah satu alis terangkat. Konyol dari mana? Memang ada yang

salah dengan perkataanku? Aku tidak mengerti apa maksud kakakku yang aneh ini.

“Mengapa pula Kamu harus pasrah disaat Kamu masih dapat berusaha?”

***

Sinar bulan yang semalam tertutup mendung kini mulai meredup. Terkalahkan oleh

terangnya sinar matahari yang perlahan muncul dari sisi timur. Kusibak selimut biru yang melilitku

semalaman, seolah berusaha menciptakan kehangatan. Aku membuka pintu balkon, udara segar

berdesak masuk kedalam kamar. Bau tanah basah yang khas menyapa indra penciumanku.

Ditambah semburat matahari yang terasa hangat. Sebelum matahari merangkak lebih tinggi lebih

baik aku segera bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah.

“Pagi Pa, Kak,” sapaku menambah indahnya pagi ini.

Anggukan dan senyuman hangat kudapatkan dari papa. Sedangkan kakakku? Dia hanya

berdehem singkat, seperti biasa. Baiklah terserah manusia dingin itu saja. Aku jadi berpikir apakah

Kak El dulu dilahirkan di Kutub?

Mama datang dengan membawa berbagai hidangan di tangannya. Dengan cekatan

menatanya diatas meja. Menyajikannya kepada kami sebagai menu sarapan pagi ini. Mama terlihat

keren. Dia dengan gesit menyiapkan semua ini untuk kami.

Aku memilih makan dengan sandwich cokelat, juga segelas susu sapi segar rasa cokelat.

Menu faforitku saat sarapan. Kau tau? Makan nasi di pagi hari membuat perutku terasa mulas saat

disekolah nanti. Aku mengunyah makananku hingga lembut, baru setelahnya kutelan. Kegiatan itu

kulakukan berulang hingga sandwich milikku habis. Mengambil segelas susu sapi segar, aku

meminumnya sebagai pelumas.

Meja makan selalu terasa hening. Mungkin kami secara tidak sengaja memiliki peraturan

tidak tertulis bahwa saat di meja makan tidak diperkenankan untuk mengbrol. Menurutku itu tidak

masalah. Setidaknya mengurangi potensi tersedak makanan juga bukan?

“Ze, kamu berangkat dengan siapa pagi ini?” Tanya papa setelah semua selesai makan,

tersisa minuman kami masing-masing yang pasti akan segera kami habiskan.

Aku melihat jarum jam yang terus berputar menyesuaikan waktu. Masih pukul enam lewat

lima belas. Aku yakin teman-teman belum banyak yang datang. Lagi pun aku masih ingin mengulur

waktu dengan menikmati segelas susu segarku.

“Aku bersama Kak El saja,” balasku menjawab pertanyaan papa tadi. Aku melirik kakakku

berharap dia tak keberatan aku menumpang dengannya.

“Baiklah, papa berangkat lebih dulu. El, kamu antar Ze pagi ini. Hati-hati jangan ugalugalan,

itu sudah tidak zaman lagi sekarang.”

Anggukan singkat dengan senyum tipis diberikan oleh kakak, sebagai balasan dari perkataan

papa.

***

Erzhan, dia teman sebangku yang menyebalkan. Tak henti-hentinya berceloteh menanyakan

ini itu. Seperti, bagaimana kerja jantung saat kita bernafas dalam sekali hirup? Lalu bagaimana

dengan paru-paru yang memiliki banyak aliran berbentuk seperti pipa yang memanjang itu? Huft,.

kepalaku pusing mendengarkannya. Apakah dia pikir aku mengetahui semua hal? Dasar

menyebalkan.

“Ze, apa kau tau? Dulu aku berpikir dalam otak kita memiliki brankas-brankas seperti dalam

kartun yang pernah kutonton saat kecil,” ujarnya kembali berkicau riang.

Sungguh, aku tidak perduli. Aku hanya berharap semoga bel pulang segera memenuhi indra

pendengaranku. Mendengar suara Erzhan membuat kepalaku menjadi pusing. Mengapa pula guru

fisikaku sedang ada tamu mendadak? Setidaknya melanjutkan materi lebih baik bagiku daripada

mendengarkan Erzhan dengan segala ke-randomannya.

Detik-detik terus berlalu. Aku tetap setia memandangi halaman sekolah dari jendela kelasku.

Entahlah kemana perginya suara Erzhan. Aku melirik kearahnya, memastikan dia tidak kerasukan

hal tak kasat mata. Aneh sekali, dia diam seperti sedang merenungi nasib untuk esok hari.

“Mengapa Kau memandangiku seperti itu? Hati-hati nanti kau terpesona melihat

ketampananku yang tiada bandingnya ini.”

Huh?!! Apa yang dia katakan? Menjijikkan sekali iewh. Aku memutar bola mataku malas

sambil berlagak ingin muntah. Dan lihat, dia hanya tertawa memandangiku. Apa dia pikir ini lucu?

Bocah aneh.

“Aku hanya sedang berpikir sesuatu Ze, seperti kau yang berpikir mengapa aku diam,”

Erzhan menyeringai kearahku. Aku tidak sabar ingin mencabik-cabik Erzhan, kapan hari itu akan

tiba?

“Bagaimana jika di masa depan nanti akan ada alat yang membuat makanan langsung masuk

ke dalam lambung? Itu berguna sekali untuk para gadis-gadis yang sering malas makan bukan?”

“Terserah,” jawabku sambil tersenyum paksa.

Tapi aku jadi memikirkan ide Erzhan. Bukankah itu menarik? Mungkin itu di masa depan.

Eh? Masa depan?

“Zhan,” panggilku kepadanya yang saat ini sedang asik mencoret buku, memecahkan

rumus-rumus. Ya, ku akui, walau sifatnya sedikit sengklek, dia termasuk siswa pandai di

sekolahnya, terbukti ketika ia berhasil mendapatkan predikat juara umum.

“Kenapa? Kau terpesona padaku?” Sungguh aku ingin membuangnya ke laut agar dia

diadopsi oleh pangeran kodok.

“Tadi kau katakan „Masa Depan‟, menurutmu bagaimana nanti kita di masa depan?”

“Kita? Apa kau berharap menjadi kekasihku Ze?” Sambil menaik turunkan alisnya, dia

menggodaku. Wajahku sempurna merah padam. Entah malu atau kesal. Atau mungkin keduanya.

“Aku serius Erzhan,” ucapku tertahan.

“Tidak ada yang bercanda, Ze,” jawabnya sambil terkekeh riang memperlihatkan lesung pipi

manis miliknya.

“Terserah,” balasku ketus, aku kelewat sebal kepada Erzhan. Erzhan membalas dengan

cengiran khasnya dan tangan yang membentuk tanda peace.

“Dengarkan aku, masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini,” jawabnya

dengan yakin sembari bersedekap dada.

“Menyiapkan? Dengan apa aku bisa memulainya?”

“Eumm seperti dengan mencari jati diri lalu kau akan tau bakatmu,” jawabnya setelah

berpikir dengan mengetuk-ngetukkan secara rima jari kanannya di dagu.

“Bagaimana dengan jati diri?” Aku bertanya dengan alis kanan terangkat dan kepala sedikit

kumiringkan.

“Jati diri bagiku aku tau tujuanku, bakatku, juga apapun yang tersembunyi dalam diriku.”

“Hah?” Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan Erzhan. Namun, adakah bahasa yang

lebih sederhana lagi?

Erzhan melirikku kesal sambil menghembuskan napas kasar. Tak apalah satu sama, tadi dia

juga yang membuatku kesal.

“Mungkin seperti karakter pribadi ataupun identitas diri. Pokoknya tentang sesuatu yang ada

dalam diri sendiri, jika kau dapat menemukannya maka kau akan merasa lebih kenal dengan diri

sendiri.” Terangnya panjang lebar yang membuatku berpikir tentang jati diriku.

Aku memangut-mangut tanda mengerti. Tak ada salahnya jika aku mulai mencari jati diriku

sekarang, toh itu untuk masa depan. Aku akan mencari potensi dalam diriku. Aku akan berusaha

mengembangkan minat bakatku. Tak ada lagi waktu berdiam diri seperti sebelum-sebelumnya. Aku

percaya bahwa diriku mampu, mampu menjadi yang lebih baik.

“Aku ingin seperti dirimu, Erzhan. Mengenali diri sendiri juga mengetahui bakat yang

dimiliki tanpa pernah kamu memikirkan rasa insecure. Terkadang saat aku mencuci piring aku suka

memikirkan tentang masa depan. Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana cara orang-orang melewati

ini semua hingga menuju kesuksesan? Apa yang bisa aku lakukan untuk masa depan? Apa yang aku

miliki? Aku pernah mencoba bertanya tentang apa bakatku, lalu mereka hanya diam tanda tak

mengerti. Apa aku dilahirkan tidak memiliki bakat?”

“Maybe, they can’t see your talent, cuz you’re shining too bright.”

“Sayangnya aku tidak merasa demikian.” Aku menggelengkan kepala sembari mengangkat

bahu acuh.

“Apa Kau suka dengan pelajaran biologi? Aku beberapa kali melihat nilai ulangan biologi

milikmu tidak buruk.”

“Yeah, mungkin. Tapi aku tidak yakin, aku masih terlalu ragu-ragu.” Arah mataku

menerawang lurus kedepan.

“Sia-sia jika kau tidak menggembangkan potensi yang telah dimiliki. Penyesalan bisa datang

kepada siapapun,” Erzhan menatapku dengan serius.

“Tapi bagaimana jika aku gagal?”

“Tidak masalah, karena yang terpenting adalah keberanian untuk memulai. Aku tau Ze,

Kamu ingin menggali potensi yang telah Kamu miliki, tetapi keraguan telah menutupimu, Kamu

menjadi insecure dan over thinking. Semua manusia memiliki batas kemampuannya masingmasing,

Ze. Jika Kamu mampu belum tentu orang lain mampu, dan sebaliknya. Kamu tidak perlu

menjadi orang lain agar Kamu merasa diakui. Cukup menjadi diri sendiri dengan segala apa yang

Kamu miliki. Belajarlah untuk mensyukuri apa yang Kamu miliki sekarang daripada mencemaskan

soal siapa yang terpayah atau siapa yang terhebat.”

“Trims, Erzhan,” senyumku mengembang sempurna. Bersinar laksana rembulan di malam

hari. Mood-ku tidak lagi buruk berkatnya.

“Yeah, itu tidak masalah. Anggap saja kita semua adalah bintang, bintang yang saling

melengkapi untuk terlihat indah dan terang. Kita akan bersama menggali dalam passion yang kita

miliki. Dengan apa yang telah dimiliki diri sendiri dan keberanian yang kita miliki,” seru Erzhan

dengan terkekeh riang. Aku hanya mengangguk sembari tertawa kecil. Erzhan ini mengapa menjadi

lucu sekali.

***

Awan-awan berkerumun menggumpal seakan menggantung dengan rapi di atas sana. Putih

bersih tanpa noda mendung bersamanya. Menandakan cuaca cerah pagi ini.

Earphone tersumpal sejak tadi di telingaku. Suara musik mengalun indah melewati gendang

telinga. Aku tak menghiraukan suara berisik pengunjung yang lain. Juga suara berisik burung yang

terlalu banyak berkicau. Kalau bisa sudah ku mode silent suara-suara berisik itu.

Aroma makanan, minuman, hingga parfum-parfum pengunjung berbaur menjadi satu disini.

Aku membayangkan aroma-aroma tersebut menggumpal seperti asap, berterbangan kesana kemari.

Kafe semakin ramai oleh pengunjung. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku pikir

hanya aku yang menyendiri di sini. Kebanyakan dari mereka membawa pasangannya. Apalah

dayaku hanya seorang gadis biasa yang sedang berusaha giat mencuri ilmu. Setelah bertahun-tahun

aku melewati, akhirnya aku memasuki salah satu perguruan tinggi terkenal di kotaku.

Aku menyesap nikmat es cokelatku. Melanjutkan memakan sandwich dengan isian daging

didalamnya. Sesekali tubuhku bergerak ke kanan kiri mengikuti irama musik yang mengalun

merdu. Kulihat langit biru senada dengan kaus yang kupakai. Sepertinya kemarin aku telah

berdiskusi ingin serupa warna dengan langit, hingga bisa samaan seperti ini.

Aku tak menyadari seseorang datang menghampiriku, hingga tepukan pelan dari arah

belakang sedikit mengagetkanku.

“Hai, Ze! Apa kau masih ingat dengan wajah tampan ini? Oh, jangan-jangan ingatanmu

sudah tergantikan oleh gambaran sel-sel aneh itu ya?” Seseorang yang selalu mensuportku disaat

masa-masa sekolah datang menyapaku dengan cengiran khas manisnya.

Bukannya menjawab sapaan Erzhan, aku malah menyapu pandangan ke seluruh kafe. “Loh?

Sejak kapan kau datang?”

“Hei, tidak kah kau lihat aku sudah berdiri dihadapanmu saat ini? Kau pikir kau dapat

memutar waktu dan berharap dapat melihatku saat aku memasuki pintu masuk?”

“Hah?”

“Ze masih keong seperti dulu rupanya,” kekehnya riang. Tapi apa maksudnya? Dia

mengataiku, „lola‟? Duh, malu sekali, pasti wajahku seperti eskpresi bocah saat kehilangan

sandalnya selepas bermain.

“Lihat Erzhan, imanmu kuat sekali, dihadapanmu tersedia kursi tapi kau tidak duduk. Oh,

aku tau, mungkin kau punya teknologi canggih terbaru ya, Zhan? Hingga bisa berdiri lama tanpa

merasa pegal,” aku sedikit mengalihkan topik agar tidak terlihat sekali sifat lolaku ini.

Decitan kursi terdengar nyaring saat Erzhan menarik kursi di hadapanku, sejenak ikut

berbaur dengan suara berisik lainnya.

“Pinjam.” Aku refleks mengaduh saat Erzhan dengan tiba-tiba menarik salah satu earphone

yang tersumpal indah ditelingaku, menggantinya dengan menyumpalkan ke telinga kanannya. Dia

terlihat menggeleng-gelengkan kepala pelan menikmati alunan musik milikku.

Sudah lama sekali aku tidak bertemu Erzhan. Mentok-mentok hanya chatting-an. Kami

banyak mengobrol dan bercanda ria sebelum akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan. Saatnya

kami memulai aktivitas masing-masing.

“Kalau Kau mau nanti malam kita bisa mengobrol lebih banyak lagi disini,” tawar Erzhan.

Aku mengangguk kecil. Sepertinya nanti malam jadwalku juga free. Aku pikir semua baikbaik

saja sebelum aku tau kejadian beberapa jam kemudian.

***

Udara terasa begitu sejuk. Awan mendung menghalangi rembulan yang sedang menjatuhkan

sinarnya. Pukul tujuh, aku bersiap untuk makan malam di cafe yang sama.

Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan 60 km/jam. Sudah tujuh kilometer aku

melewati jalanan dengan lenggang. Bulan telah berhenti menjatuhkan sinarnya. Tergantikan oleh

awan mendung yang mulai menciptakan hujan.

Mobilku terus melaju menembus padatnya rintik hujan. Lampu-lampu jalanan kota berbaris

rapi menyala dengan warna rembulannya. Aku sedikit terperanjat saat suara gemuruh terdengar dari

dalam mobilku. Malam ini hujan deras memenuhi langit kota.

Aku hampir tiba di cafe. Sebelum akhirnya pada pertigaan terakhir menuju cafe, datang

mobil dari arah selatan terlihat berlenggak-lenggok saat berbelok di jalanan licin. Aku pikir salah

satu ban depannya bocor lalu berbelok tajam di jalanan licin. Aku masih bingung dengan keadaan,

sampai akhirnya mobil tersebut hampir menabrak mobilku. Aku spontan banting stir untuk

menghindar yang akhirnya membuatku menabrak tiang listrik. Beruntung tiang listrik tersebut tidak

tumbang.

Sungguh aku tak mengira semua ini akan terjadi. Kejadian ini begitu cepat membuatku

sangat shock. Sepertinya mobil itu cukup parah hingga menabrak bangunan di pinggir jalan yang

dilewatinya. Aku belum dapat memikirkan apapun. Aku tidak dapat berpikir jernih. Aku masih

linglung dengan semua kejadian barusan.

***

Hujan mengguyur deras mengiringi setiap detik yang terlewati. Seolah tak menghiraukan

seorang gadis yang tengah berduka. Bersimpuh di hadapan pusaran tanah yang masih basah.

Pelayat lain telah meninggalkan makam sedari awan menjatuhkan beban berat pertamanya.

Tersisa aku dan juga pihak keluarga sang mendiang. Semua masih terasa seperti khalayan. Jika tau

begini, mungkin aku akan menolak tawarannya untuk makan malam bersama. Sungguh ini kejadian

yang tidak dapat aku bayangkan.

Aku mengarahkan pandang lurus kedepan. Aku tau tidak hanya aku yang berduka. Tapi aku

pun merasa sangat kehilangan. Kepadanya aku seakan berkata, “Aku ingin berteriak rindu. Namun,

aku tau kamu akan tetap diam membisu. Oleh karena itu, aku akan berteriak pada masa depan

bahwa aku akan mewujudkan mimpiku.”

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.