ARDOR
ARDOR
Karya : Dzakiya Mumtazah Riyanto
Hembusan angin kecil menerpa wajahku. Membuatku semakin terlarut dalam lamunan.
Rambutku bergoyang kesana kemari mengikuti arah angin. Perlahan awan menumpahkan beban
beratnya ke bumi. Rintik-rintik hujan mulai tercipta. Tak ada petir, hanya rintik hujan yang
menyenangkan.
Aku semakin terbuai dalam lamunan. Sesekali menyesap cokelat hangat yang mungkin
sebentar lagi akan habis. Dari sini kulihat matahari sudah tergelincir ke arah barat, menyisakan
semburat merah kejinggan yang indah. Pohon-pohon bergoyang menyesuaikan gerak angin yang
kecil.
Semilir angin membuat mataku refleks terpejam, menikmati setiap detik yang terlewati. Aku
sangat menyukai suasana seperti ini. Suasana yang damai dan tenang, tanpa gangguan.
Udara dingin mulai merasuk kedalam tubuhku. Akal sehatku memutuskan untuk masuk ke
dalam mencari kehangatan. Tunggu, sepertinya aku telah meninggalkan secangkir cokelat hangatku.
Kakiku berputar arah menuju balkon, mengambil secangkir cokelat hangatku yang tertinggal.
Matahari telah sempurna meninggalkan bulan. Indra pendengaranku hanya menangkap suara
air yang turun dari langit. Dengan cepat turun membasahi bumi. Sepertinya hujan deras akan turun
malam ini. Baiklah setidaknya tidak ada petir. Aku hanya akan bergelung dengan selimut biruku
semalaman.
Cipratan air mengalihkan eksistensiku yang bergelung memandangi hujan. Aku
melangkahkan kaki menuju pintu balkon, menutupnya dengan pelan. Juga menutup gorden yang
sesekali bergerak terbawa angin. Seolah ikut menikmati irama hujan yang mengalun.
Aku melangkahkan kaki menuju dapur dengan membawa secangkir cokelat hangat yang
tersisa. Sunyinya malam membuat langkah kakiku terdengar. Suara hujan masih terdengar samarsamar
di telinga. Menyatu dengan suara langkah kakiku bagaikan berkolaborasi dengan indah.
Suara sandal yang kukenakan menuruni anak tangga terdengar nyaring. Sejenak menggantikan
ramainya air hujan.
Pemandangan pertama yang ku lihat saat tiba di dapur ialah punggung mama. Mungkin
mama sedang menyiapkan masakan untuk makan malam kami. Aku jadi menebak apa menu makan
malam kami nanti.
“Malam, Ma.” Sapaku riang. Eh? Sepertinya sapaanku mengejutkan mama. Terbukti mama
hampir saja menumpahkan banyak garam kedalam masakan.
“Iya malam juga, Ze.” Balas mama yang sudah lepas dari rasa terkejut.
Meletakkan cangkirku ke tumpukan piring kotor, aku bergumam, “Kenapa aku tidak
mencuci piring kotor ini saja? Daripada aku terus diam melamun sambil menikmati alunan hujan
atau bergelung dengan selimut biruku. Ah, itu membosankan.”
Di tengah tanganku yang penuh busa aku berpikir, kenapa hidupku membosankan? Apa
remaja lain juga mengalami seperti ini? Ini seperti, ah aku tidak bisa menjelaskannya. Atau kurasa
tidak? Remaja seusiaku, mereka terlihat sangat menikmati hidup yang menurutku membosankan.
Oh baik, perkenalkan aku Zeira. Usiaku lima belas tahun. Aku hidup di dunia yang
monoton. Cukup itu saja, tidak ada yang spesial tentangku.
Tiba-tiba dalam pikiran aku berjumpa dengan kata, “Masa Depan”. Yeah, itu kata yang
sangat sederhana. Bahkan mungkin sudah ratusan kali aku mendengarnya. Tapi sejujurnya aku tidak
mengerti tentang bagaimana masa depan.
“Wah, Ze! Akhirnya kamu membantu mama mencuci tumpukan piring kotor itu.” Ucapan
mama membuyarkan lamunanku, entahlah aku sering melamun akhir-akhir ini, membuatku tidak
fokus. Sepertinya mama senang sekali mendapati anak gadis satu-satunya bergelut dengan
pekerjaan rumah. Aku tertawa kecil sebagai balasan.
Sebenarnya tidak banyak yang dapat aku lakukan. Hanya mencuci piring dan menyapu
lantai saja. Huft, itu sudah sangat melelahkan bagiku. Juga tidak kulakukan setiap hari.
Sesuai perintah mama, selesai mencuci aku naik lagi ke lantai atas melewati satu persatu
anak tangga. Bukan untuk menuju kamarku. Melainkan persis di sebelah kiri kamarku. Meski
begitu, tak pernah sekalipun aku memasukinya. Yang jelas itu adalah ruangan milik kakakku, El.
“Kak, mama menyuruh kita segera turun untuk makan malam.” Di depan pintu kamar aku
menunggu balasan dari sang penghuni. Satu, dua, tiga detik sudah terlewati. Pintu kamar itu tetap
diam membisu seolah tak mau memberi jawaban.
“Baiklah, aku harap indra pendengaran Kakak masih berfungsi.” Daripada aku bagaikan
patung di sini, lebih baik aku bersiap untuk makan malam. Lambungku sudah bergejolak,
mengirimkan sinyal ke otak agar memintaku untuk segera mengisi kekosongan perut. Sejujurnya
bukan sekali ini saja kakak bersikap demikian. Entah apa salahku, kakak selalu mengacuhkan ku
begitu saja. Akupun juga tak peduli dengan sikap kakak.
“Seperti biasa, Ma,” laporku kepada mama. Kulihat mama menghela nafas kecil, “Kita
tunggu saja, pasti anak itu akan turun.”
“Papa belum pulang ya, Ma?” Tanyaku berbasa-basi. Akupun tau jawabannya tentu
menyatakan bahwa papa belum pulang.
Tak lama kakak turun, bergabung ke meja makan. “Malam, Ma,” sapanya sebagai pemanis.
“Malam, Kak,” ujarku. Hanya deheman singkat yang kudapatkan.
“Kita makan duluan saja, sepertinya papa akan lembur lagi malam ini.”
Makan malam terasa sunyi. Sendok dan piring yang bergesekan menimbulkan suara
berdenting. Pun dengan jarum jam yang terus berdetak. Menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit.
Hujan masih mengguyur deras, mengiringi setiap detik yang dilewati. Seolah mencoba memecah
keheningan di tengah sunyinya malam.
Makan malam kali ini seperti biasa. Tak ada yang spesial bagiku. Hanya tersaji sup dengan
kaldu ayam juga teh hangat sebagai pengusir dahaga. Ah, sudah kukatakan hidupku sangat
membosankan. Sepertinya aku ingin mencuci tumpukan piring kotor lagi setelah selesai makan. Itu
hal yang tidak terlalu membosankan daripada hanya diam memandang gelapnya malam.
Setidaknya masakan mama cukup enak, membuat perutku tidak lagi membunyikan suara
aneh. Tanganku mengayun membawa sendok yang kugenggam menuju mulut. Suapan terakhir, aku
mengunyahnya dengan lembut. Tentu karena aku tidak ingin tersedak makanan. Hei, tersedak
makanan dapat menimbulkan hal fatal, kau tau? Kematian misalnya.
“Biar aku saja yang mencucinya nanti, Ma,” ijinku pada Mama, memecah keheningan yang
tercipta.
“Terimakasih, Ze,” Mama mengangguk kepadaku. Kak El hanya memandangi kami sambil
menghabiskan teh hangatnya yang tersisa.
“El, sehabis belajar segera tidur. Jangan tidur larut malam, kau juga Ze,” Mama
mengingatkan. Tapi lagian siapa juga yang ingin tidur larut. Tidak memejamkan mata hingga
tengah malam. Itu mengerikan. Aku pasti sangat bosan dan kebingungan mencari kegiatan, sudah
seperti pengangguran sekali. Lebih baik memejamkan mata, bergelung dengan selimut biruku, itu
lebih baik.
Sebuah anggukan kuberikan kepada Mama sebagai balasan. Decitan kursi terdengar saat aku
memundurkan kursi, berdiri, dan berniat membereskan piring dan gelas diatas meja. Mama sudah
terlebih dulu menaiki tangga, sepertinya Mama lebih memilih menunggu Papa pulang di kamar
daripada di depan televisi yang menyala sambil memakan camilan faforitnya.
“Gelas milikku! Jangan. Aku masih ingin menikmatinya,” ucap El. Tunggu, aku bahkan
tidak sadar dia memiliki dua gelas minuman. Teh hangat buatan mama sudah dia habiskan, tersisa
secangkir kopi susu yang terlihat menggoda, aku seperti ingin mencicipinya.
“Kau tidak naik keatas? Menikmatinya di kamar mungkin lebih segar.”
“Kau mengusirku?” Astaga, sungguh bukan begitu maksudku. Makhluk ini sensi sekali,
menyebalkan.
El mengangkat bahunya acuh saat melihatku mengenduskan napas kasar. Lebih baik aku
segera mencuci piring dan segera menuju kamar, bertemu dengan selimut biruku.
Suara aliran air memenuhi dapur. Menemaniku di tengah heningnya malam. Aku jadi
kembali berpikir, kenapa hidupku sangat datar? Aku seperti ingin mencoba hal baru yang lebih
berwarna. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang gadis kecil biasa. Aku bahkan tidak
memiliki bakat.
Pikiranku melayang kembali teringat dengan masa depan. Bagaimana dengan masa depan?
Apa aku akan terus melawati hari-hari yang membosankan ini sepanjang hidup? Oh, sungguh, itu
mengerikan.
“Kak,” panggilku. Tak ada jawaban, tapi aku yakin dia tidak tuli. “Apa yang kau pikirkan
tentang masa depan?” Aku melanjutkan perkataanku, masa bodoh akan dijawab atau hanya akan
dijadikan sebagai angin lalu olehnya.
“Huh? Masa depan?” Benarkan, dia tidak tuli.
“Eummm masa depan? Menurutku itu kata yang ambigu. Bukankah hari ini juga masa
depan? Masa depan bagi masa lalu. Masa depan tidak selalu tentang saat kita dewasa bukan? Tapi
tentang bagaimana caramu menyikapi masa depan. Apakah akan lebih baik? Atau mungkin
sebaliknya?”
Aku baru mengetahui ternyata Kak El bijak juga. Tapi jika dipikir-pikir memang iya. Saat
ini adalah masa depan bagi masa lalu. Kalau aku dapat berpindah waktu seperti imajinasiku saat
kecil, mungkin aku melihat gambaran wajahku di masa lalu menatap kecewa padaku sekarang. Aku
tidak ingin seperti ini, hidup membosankan, datar, dan monoton. Tidak banyak yang kulakukan
setiap harinya.
Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benakku, “Tapi bukankah takdir sudah tergaris?
Memangnya kita dapat mengelak garis?”
“Hei, bukankah itu terlalu konyol?”
Dahiku terlipat kecil dengan salah satu alis terangkat. Konyol dari mana? Memang ada yang
salah dengan perkataanku? Aku tidak mengerti apa maksud kakakku yang aneh ini.
“Mengapa pula Kamu harus pasrah disaat Kamu masih dapat berusaha?”
***
Sinar bulan yang semalam tertutup mendung kini mulai meredup. Terkalahkan oleh
terangnya sinar matahari yang perlahan muncul dari sisi timur. Kusibak selimut biru yang melilitku
semalaman, seolah berusaha menciptakan kehangatan. Aku membuka pintu balkon, udara segar
berdesak masuk kedalam kamar. Bau tanah basah yang khas menyapa indra penciumanku.
Ditambah semburat matahari yang terasa hangat. Sebelum matahari merangkak lebih tinggi lebih
baik aku segera bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah.
“Pagi Pa, Kak,” sapaku menambah indahnya pagi ini.
Anggukan dan senyuman hangat kudapatkan dari papa. Sedangkan kakakku? Dia hanya
berdehem singkat, seperti biasa. Baiklah terserah manusia dingin itu saja. Aku jadi berpikir apakah
Kak El dulu dilahirkan di Kutub?
Mama datang dengan membawa berbagai hidangan di tangannya. Dengan cekatan
menatanya diatas meja. Menyajikannya kepada kami sebagai menu sarapan pagi ini. Mama terlihat
keren. Dia dengan gesit menyiapkan semua ini untuk kami.
Aku memilih makan dengan sandwich cokelat, juga segelas susu sapi segar rasa cokelat.
Menu faforitku saat sarapan. Kau tau? Makan nasi di pagi hari membuat perutku terasa mulas saat
disekolah nanti. Aku mengunyah makananku hingga lembut, baru setelahnya kutelan. Kegiatan itu
kulakukan berulang hingga sandwich milikku habis. Mengambil segelas susu sapi segar, aku
meminumnya sebagai pelumas.
Meja makan selalu terasa hening. Mungkin kami secara tidak sengaja memiliki peraturan
tidak tertulis bahwa saat di meja makan tidak diperkenankan untuk mengbrol. Menurutku itu tidak
masalah. Setidaknya mengurangi potensi tersedak makanan juga bukan?
“Ze, kamu berangkat dengan siapa pagi ini?” Tanya papa setelah semua selesai makan,
tersisa minuman kami masing-masing yang pasti akan segera kami habiskan.
Aku melihat jarum jam yang terus berputar menyesuaikan waktu. Masih pukul enam lewat
lima belas. Aku yakin teman-teman belum banyak yang datang. Lagi pun aku masih ingin mengulur
waktu dengan menikmati segelas susu segarku.
“Aku bersama Kak El saja,” balasku menjawab pertanyaan papa tadi. Aku melirik kakakku
berharap dia tak keberatan aku menumpang dengannya.
“Baiklah, papa berangkat lebih dulu. El, kamu antar Ze pagi ini. Hati-hati jangan ugalugalan,
itu sudah tidak zaman lagi sekarang.”
Anggukan singkat dengan senyum tipis diberikan oleh kakak, sebagai balasan dari perkataan
papa.
***
Erzhan, dia teman sebangku yang menyebalkan. Tak henti-hentinya berceloteh menanyakan
ini itu. Seperti, bagaimana kerja jantung saat kita bernafas dalam sekali hirup? Lalu bagaimana
dengan paru-paru yang memiliki banyak aliran berbentuk seperti pipa yang memanjang itu? Huft,.
kepalaku pusing mendengarkannya. Apakah dia pikir aku mengetahui semua hal? Dasar
menyebalkan.
“Ze, apa kau tau? Dulu aku berpikir dalam otak kita memiliki brankas-brankas seperti dalam
kartun yang pernah kutonton saat kecil,” ujarnya kembali berkicau riang.
Sungguh, aku tidak perduli. Aku hanya berharap semoga bel pulang segera memenuhi indra
pendengaranku. Mendengar suara Erzhan membuat kepalaku menjadi pusing. Mengapa pula guru
fisikaku sedang ada tamu mendadak? Setidaknya melanjutkan materi lebih baik bagiku daripada
mendengarkan Erzhan dengan segala ke-randomannya.
Detik-detik terus berlalu. Aku tetap setia memandangi halaman sekolah dari jendela kelasku.
Entahlah kemana perginya suara Erzhan. Aku melirik kearahnya, memastikan dia tidak kerasukan
hal tak kasat mata. Aneh sekali, dia diam seperti sedang merenungi nasib untuk esok hari.
“Mengapa Kau memandangiku seperti itu? Hati-hati nanti kau terpesona melihat
ketampananku yang tiada bandingnya ini.”
Huh?!! Apa yang dia katakan? Menjijikkan sekali iewh. Aku memutar bola mataku malas
sambil berlagak ingin muntah. Dan lihat, dia hanya tertawa memandangiku. Apa dia pikir ini lucu?
Bocah aneh.
“Aku hanya sedang berpikir sesuatu Ze, seperti kau yang berpikir mengapa aku diam,”
Erzhan menyeringai kearahku. Aku tidak sabar ingin mencabik-cabik Erzhan, kapan hari itu akan
tiba?
“Bagaimana jika di masa depan nanti akan ada alat yang membuat makanan langsung masuk
ke dalam lambung? Itu berguna sekali untuk para gadis-gadis yang sering malas makan bukan?”
“Terserah,” jawabku sambil tersenyum paksa.
Tapi aku jadi memikirkan ide Erzhan. Bukankah itu menarik? Mungkin itu di masa depan.
Eh? Masa depan?
“Zhan,” panggilku kepadanya yang saat ini sedang asik mencoret buku, memecahkan
rumus-rumus. Ya, ku akui, walau sifatnya sedikit sengklek, dia termasuk siswa pandai di
sekolahnya, terbukti ketika ia berhasil mendapatkan predikat juara umum.
“Kenapa? Kau terpesona padaku?” Sungguh aku ingin membuangnya ke laut agar dia
diadopsi oleh pangeran kodok.
“Tadi kau katakan „Masa Depan‟, menurutmu bagaimana nanti kita di masa depan?”
“Kita? Apa kau berharap menjadi kekasihku Ze?” Sambil menaik turunkan alisnya, dia
menggodaku. Wajahku sempurna merah padam. Entah malu atau kesal. Atau mungkin keduanya.
“Aku serius Erzhan,” ucapku tertahan.
“Tidak ada yang bercanda, Ze,” jawabnya sambil terkekeh riang memperlihatkan lesung pipi
manis miliknya.
“Terserah,” balasku ketus, aku kelewat sebal kepada Erzhan. Erzhan membalas dengan
cengiran khasnya dan tangan yang membentuk tanda peace.
“Dengarkan aku, masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini,” jawabnya
dengan yakin sembari bersedekap dada.
“Menyiapkan? Dengan apa aku bisa memulainya?”
“Eumm seperti dengan mencari jati diri lalu kau akan tau bakatmu,” jawabnya setelah
berpikir dengan mengetuk-ngetukkan secara rima jari kanannya di dagu.
“Bagaimana dengan jati diri?” Aku bertanya dengan alis kanan terangkat dan kepala sedikit
kumiringkan.
“Jati diri bagiku aku tau tujuanku, bakatku, juga apapun yang tersembunyi dalam diriku.”
“Hah?” Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan Erzhan. Namun, adakah bahasa yang
lebih sederhana lagi?
Erzhan melirikku kesal sambil menghembuskan napas kasar. Tak apalah satu sama, tadi dia
juga yang membuatku kesal.
“Mungkin seperti karakter pribadi ataupun identitas diri. Pokoknya tentang sesuatu yang ada
dalam diri sendiri, jika kau dapat menemukannya maka kau akan merasa lebih kenal dengan diri
sendiri.” Terangnya panjang lebar yang membuatku berpikir tentang jati diriku.
Aku memangut-mangut tanda mengerti. Tak ada salahnya jika aku mulai mencari jati diriku
sekarang, toh itu untuk masa depan. Aku akan mencari potensi dalam diriku. Aku akan berusaha
mengembangkan minat bakatku. Tak ada lagi waktu berdiam diri seperti sebelum-sebelumnya. Aku
percaya bahwa diriku mampu, mampu menjadi yang lebih baik.
“Aku ingin seperti dirimu, Erzhan. Mengenali diri sendiri juga mengetahui bakat yang
dimiliki tanpa pernah kamu memikirkan rasa insecure. Terkadang saat aku mencuci piring aku suka
memikirkan tentang masa depan. Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana cara orang-orang melewati
ini semua hingga menuju kesuksesan? Apa yang bisa aku lakukan untuk masa depan? Apa yang aku
miliki? Aku pernah mencoba bertanya tentang apa bakatku, lalu mereka hanya diam tanda tak
mengerti. Apa aku dilahirkan tidak memiliki bakat?”
“Maybe, they can’t see your talent, cuz you’re shining too bright.”
“Sayangnya aku tidak merasa demikian.” Aku menggelengkan kepala sembari mengangkat
bahu acuh.
“Apa Kau suka dengan pelajaran biologi? Aku beberapa kali melihat nilai ulangan biologi
milikmu tidak buruk.”
“Yeah, mungkin. Tapi aku tidak yakin, aku masih terlalu ragu-ragu.” Arah mataku
menerawang lurus kedepan.
“Sia-sia jika kau tidak menggembangkan potensi yang telah dimiliki. Penyesalan bisa datang
kepada siapapun,” Erzhan menatapku dengan serius.
“Tapi bagaimana jika aku gagal?”
“Tidak masalah, karena yang terpenting adalah keberanian untuk memulai. Aku tau Ze,
Kamu ingin menggali potensi yang telah Kamu miliki, tetapi keraguan telah menutupimu, Kamu
menjadi insecure dan over thinking. Semua manusia memiliki batas kemampuannya masingmasing,
Ze. Jika Kamu mampu belum tentu orang lain mampu, dan sebaliknya. Kamu tidak perlu
menjadi orang lain agar Kamu merasa diakui. Cukup menjadi diri sendiri dengan segala apa yang
Kamu miliki. Belajarlah untuk mensyukuri apa yang Kamu miliki sekarang daripada mencemaskan
soal siapa yang terpayah atau siapa yang terhebat.”
“Trims, Erzhan,” senyumku mengembang sempurna. Bersinar laksana rembulan di malam
hari. Mood-ku tidak lagi buruk berkatnya.
“Yeah, itu tidak masalah. Anggap saja kita semua adalah bintang, bintang yang saling
melengkapi untuk terlihat indah dan terang. Kita akan bersama menggali dalam passion yang kita
miliki. Dengan apa yang telah dimiliki diri sendiri dan keberanian yang kita miliki,” seru Erzhan
dengan terkekeh riang. Aku hanya mengangguk sembari tertawa kecil. Erzhan ini mengapa menjadi
lucu sekali.
***
Awan-awan berkerumun menggumpal seakan menggantung dengan rapi di atas sana. Putih
bersih tanpa noda mendung bersamanya. Menandakan cuaca cerah pagi ini.
Earphone tersumpal sejak tadi di telingaku. Suara musik mengalun indah melewati gendang
telinga. Aku tak menghiraukan suara berisik pengunjung yang lain. Juga suara berisik burung yang
terlalu banyak berkicau. Kalau bisa sudah ku mode silent suara-suara berisik itu.
Aroma makanan, minuman, hingga parfum-parfum pengunjung berbaur menjadi satu disini.
Aku membayangkan aroma-aroma tersebut menggumpal seperti asap, berterbangan kesana kemari.
Kafe semakin ramai oleh pengunjung. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku pikir
hanya aku yang menyendiri di sini. Kebanyakan dari mereka membawa pasangannya. Apalah
dayaku hanya seorang gadis biasa yang sedang berusaha giat mencuri ilmu. Setelah bertahun-tahun
aku melewati, akhirnya aku memasuki salah satu perguruan tinggi terkenal di kotaku.
Aku menyesap nikmat es cokelatku. Melanjutkan memakan sandwich dengan isian daging
didalamnya. Sesekali tubuhku bergerak ke kanan kiri mengikuti irama musik yang mengalun
merdu. Kulihat langit biru senada dengan kaus yang kupakai. Sepertinya kemarin aku telah
berdiskusi ingin serupa warna dengan langit, hingga bisa samaan seperti ini.
Aku tak menyadari seseorang datang menghampiriku, hingga tepukan pelan dari arah
belakang sedikit mengagetkanku.
“Hai, Ze! Apa kau masih ingat dengan wajah tampan ini? Oh, jangan-jangan ingatanmu
sudah tergantikan oleh gambaran sel-sel aneh itu ya?” Seseorang yang selalu mensuportku disaat
masa-masa sekolah datang menyapaku dengan cengiran khas manisnya.
Bukannya menjawab sapaan Erzhan, aku malah menyapu pandangan ke seluruh kafe. “Loh?
Sejak kapan kau datang?”
“Hei, tidak kah kau lihat aku sudah berdiri dihadapanmu saat ini? Kau pikir kau dapat
memutar waktu dan berharap dapat melihatku saat aku memasuki pintu masuk?”
“Hah?”
“Ze masih keong seperti dulu rupanya,” kekehnya riang. Tapi apa maksudnya? Dia
mengataiku, „lola‟? Duh, malu sekali, pasti wajahku seperti eskpresi bocah saat kehilangan
sandalnya selepas bermain.
“Lihat Erzhan, imanmu kuat sekali, dihadapanmu tersedia kursi tapi kau tidak duduk. Oh,
aku tau, mungkin kau punya teknologi canggih terbaru ya, Zhan? Hingga bisa berdiri lama tanpa
merasa pegal,” aku sedikit mengalihkan topik agar tidak terlihat sekali sifat lolaku ini.
Decitan kursi terdengar nyaring saat Erzhan menarik kursi di hadapanku, sejenak ikut
berbaur dengan suara berisik lainnya.
“Pinjam.” Aku refleks mengaduh saat Erzhan dengan tiba-tiba menarik salah satu earphone
yang tersumpal indah ditelingaku, menggantinya dengan menyumpalkan ke telinga kanannya. Dia
terlihat menggeleng-gelengkan kepala pelan menikmati alunan musik milikku.
Sudah lama sekali aku tidak bertemu Erzhan. Mentok-mentok hanya chatting-an. Kami
banyak mengobrol dan bercanda ria sebelum akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan. Saatnya
kami memulai aktivitas masing-masing.
“Kalau Kau mau nanti malam kita bisa mengobrol lebih banyak lagi disini,” tawar Erzhan.
Aku mengangguk kecil. Sepertinya nanti malam jadwalku juga free. Aku pikir semua baikbaik
saja sebelum aku tau kejadian beberapa jam kemudian.
***
Udara terasa begitu sejuk. Awan mendung menghalangi rembulan yang sedang menjatuhkan
sinarnya. Pukul tujuh, aku bersiap untuk makan malam di cafe yang sama.
Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan 60 km/jam. Sudah tujuh kilometer aku
melewati jalanan dengan lenggang. Bulan telah berhenti menjatuhkan sinarnya. Tergantikan oleh
awan mendung yang mulai menciptakan hujan.
Mobilku terus melaju menembus padatnya rintik hujan. Lampu-lampu jalanan kota berbaris
rapi menyala dengan warna rembulannya. Aku sedikit terperanjat saat suara gemuruh terdengar dari
dalam mobilku. Malam ini hujan deras memenuhi langit kota.
Aku hampir tiba di cafe. Sebelum akhirnya pada pertigaan terakhir menuju cafe, datang
mobil dari arah selatan terlihat berlenggak-lenggok saat berbelok di jalanan licin. Aku pikir salah
satu ban depannya bocor lalu berbelok tajam di jalanan licin. Aku masih bingung dengan keadaan,
sampai akhirnya mobil tersebut hampir menabrak mobilku. Aku spontan banting stir untuk
menghindar yang akhirnya membuatku menabrak tiang listrik. Beruntung tiang listrik tersebut tidak
tumbang.
Sungguh aku tak mengira semua ini akan terjadi. Kejadian ini begitu cepat membuatku
sangat shock. Sepertinya mobil itu cukup parah hingga menabrak bangunan di pinggir jalan yang
dilewatinya. Aku belum dapat memikirkan apapun. Aku tidak dapat berpikir jernih. Aku masih
linglung dengan semua kejadian barusan.
***
Hujan mengguyur deras mengiringi setiap detik yang terlewati. Seolah tak menghiraukan
seorang gadis yang tengah berduka. Bersimpuh di hadapan pusaran tanah yang masih basah.
Pelayat lain telah meninggalkan makam sedari awan menjatuhkan beban berat pertamanya.
Tersisa aku dan juga pihak keluarga sang mendiang. Semua masih terasa seperti khalayan. Jika tau
begini, mungkin aku akan menolak tawarannya untuk makan malam bersama. Sungguh ini kejadian
yang tidak dapat aku bayangkan.
Aku mengarahkan pandang lurus kedepan. Aku tau tidak hanya aku yang berduka. Tapi aku
pun merasa sangat kehilangan. Kepadanya aku seakan berkata, “Aku ingin berteriak rindu. Namun,
aku tau kamu akan tetap diam membisu. Oleh karena itu, aku akan berteriak pada masa depan
bahwa aku akan mewujudkan mimpiku.”
Tidak ada komentar: