PERJUANGAN DAN PENGORBANAN
PERJUANGAN DAN PENGORBANAN
Karya: Mahendra Ghani
Di tengah teriknya sinar
matahari yang memancar, terlihat seorang anak muda sedang bernaung di bawah
pohon beringin yang rindang dekat sekolah Kota Tua Semarang, seolah-olah mereka
hendak melindungi dirinya dari panas yang memancar bak panasnya api neraka.
Seorang anak laki-laki muda, yang kira-kira berumur 18 tahun, Memakai pakaian
dengan jas putih nan elegan dan celana pendek berwarna hitam serta berkancing
di ujungnya, lalu menggunakan sepatu berwarna hitam tinggi yang disambung ke
atas dengan kaus kaki sutera hitam sampai pada betisnya. Tak lupa dengan barang
ikonik sekolah yang sering dipakai yaitu topi rumput putih yang mengerecut ke
depan, yang biasa dipakai oleh warga sekolah tersebut.
Di tangan kirinya ada
beberapa kitab dengan sebuah buku sejarah dunia yang fenomenal dan dibagian
tangan kanannya pula memegang sebuah lipatan peta bumi yang akan ia teliti di
kelas. Jika dipandang dari jauh, mulai dari gaya berpakaiannya tentulah orang
akan menyangka, anak ini seorang anak kaya raya keturunan Belanda, yang hendak
pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatanya ia tidak memiliki
darah bangsa Eropa sekalipun, karena kulitnya kuning seperti kulit langsat,
rambut dan matanya hitam bak pribumi pada umumnya. Di bawah dahinya pun juga
lebar dan tinggi, sangat terlihat nyata alis matanya yang tebal dan hitam pula.
Anak ini bernama Harto, ia merupakan salah satu anak yang pintar dan rajin
dikelas, kesukaaanya akan membaca membuat ia sangat sering mendapatkan
peringkat 3 besar di angkatan. Tetapi sayangnya, ia merupakan sosok yang
dikenal dingin, egois dan tidak peduli terhadap lingkungan yang ada di
sekitarnya, tak dipungkuri ada beberapa teman-teman kelasnya yang tidak
menyukai sikapnya itu. Hal ini dibuktikan saat temannya ditindas oleh anak-anak
para petinggi sekolah, ia hanya diam saja dan tidak peduli sampai mendapatkan
teguran dari orang lain.
Sekolah yang ditempati
oleh Harto ini memang dikenal sebagai sekolah yang elite, tetapi dibalik
kemegahan bangunannya tersebut sekolah ini ternyata memiliki kisah yang
mengenaskan yaitu banyak sekali siswa yang memiliki kasta rendah, dimana mereka
sering di caci maki, ditindas, dibully oleh siswa dari kalangan elite atau
tinggi, sebenarnya banyak siswa yang tidak terima atas perlakuan tidak adil
seperti itu, tapi mereka semua takut kalau mereka dilaporkan kepada guru dan
malah dikeluarkan dari sekolah, karena kebanyakan para siswa berkasta tinggi
ini ialah anak dari pengusaha-pengusaha terkenal yang memberikan banyak
donasinya ke sekolah, jadi apapun yang diinginkan para petinggi sekolah
langsung dikabulkan oleh pihak sekolah. Seperti contohnya pada waktu jam
istirahat tepatnya dikantin sekolah, ada salah satu siswa yang mendapatkan
perlakuan tidak baik oleh segerombolan siswa yang merupakan anak dengan kasta
tinggi atau orang tuanya merupakan seorang pendonatur tertinggi disana.
Siswa-siswa lain banyak yang melihat kejadian tersebut, mereka ingin sekali
membantu anak tersebut, tetapi mereka tidak berani. Harto yang ternyata juga
berada dikantin sedang membaca buku dan makan sangat acuh sekali, ia tidak mau
berusaha dan tidak ada insiatif untuk menolong anak itu, sampai ada teman
disampingnya menepuk bahunya sambil mengatakan,
“Harto, lihatlah anak itu
kasihan, apakah kamu tidak mau untuk membantunya. Kamu kan pasti berani melawan
mereka.”
Harto menjawab dengan
santai, “Tidak, aku sedang tidak mau mengotori tanganku ini.”
Kemudian dia melihat
sebentar anak itu lalu meninggalkan kantin sambil menghela nafas dan berganti
tempat untuk membaca buku. Sebenarnya Harto mampu mencegah pembulian yang ada
di sekolahnya itu, namun karena sifat tidak kepeduliannya, sehingga Harto
sering mengacuhkan kasus pembulian yang ada di sekolahnya tersebut.
Harto memang dikenal
sebagai anak yang memiliki sifat egois dan rendah akan kepekaan sosial
disekitarnya, terutama ketika dia berada diingkungan sekolah dan berada
disekitar teman-temannya. Hal tersebut yang menyebabkan Harto tidak memiliki
banyak teman atau hanya sedikit yang ingin menjadi temannya. Ia tidak merasa
terganggu jikalau benar tidak ada yang ingin berteman dengannya karena
tujuannya ingin menimba ilmu, dan mendapatkan teman adalah bonus, begitu
pikirnya.
Beberapa minggu setelah
kejadian dikantin tersebut, Harto mendapatkan kejadian yang sangat aneh dan
menakjubkan. Waktu itu pada hari minggu 22 Juni 2004, biasanya Harto mengisi
hari minggunya dengan berkunjung ke suatu tempat bersama keluarganya, tetapi
hari itu ia hanya menghabiskan waktunya dengan dirumah saja karena ia tidak
memiliki kegiatan di sekolah atau agenda bermain bersama keluarga. Entah kenapa
harto sangat merasa bosan di rumah sendirian dan tidak bersemangat untuk
membaca buku-buku koleksinya itu, akhirnya ia berfikir dan tiba-tiba memutuskan
untuk pergi berkunjung ke perpustakaan pusat yang menurut dia bagus dan ia
belum pernah berkunjung kesana sebelumnya. Perpustakaan pusat yang didatangi
Harto ternyata tidak begitu jauh dari rumahnya, dan sesampainya di perpustakaan
pusat yang besar tersebut ia mengamati bahwa keadaan perpustakaan sangat sepi
pada hari itu dan hal ini membuat Harto semakin bersemangat untuk berkunjung ke
perpustakaan karena ia sangat menyukai susana yang sunyi dan sangat tenang.
Kemudian ia bertanya ke petugas perpustakan bahwa dimana letak buku sejarah di
letakkan, dan si petugas perpustakaan menjawab letak buku sejarah ada di pojok
belakang dekat buku-buku matematika, setelah mendapat informasi tersebut. Harto
langsung mencari keberadaan buku sejarah yang ia cari, tak sampai 5 menit
mencari rak bagian buku-buku sejarah ditemukan olehnya.
Setelah mengambil satu
buku yang menurutnya bagus, tiba-tiba penglihatan Harto beralih ke pintu kecil
di balik rak buku sejarah karena terdapat cahaya kecil disana. Ia penasaran
dengan apa yang ada dibalik pintu itu, dalam hati ia ingin sekali masuk dan
menulusuri apa yang ada di dalam ruangan tersebut, tetapi rasa ingin tahu Harto
sirna karena di atas pintu itu terdapat tulisan pertanda dilarang masuk, karena
terlanjur penasaran dan Harto memiliki perasangka baik bahwa di dalam pasti
disana banyak sekali buku-buku lain yang lebih menarik daripada yang ada di
luar sini terutama buku-buku sejarah yang ia sukai, ia kemudain nekat untuk
masuk kedalam ruangan tersebut, dan ketika ia sudah mendekati pintu itu,
alangkah beruntungnya Harto karena saat itu pintu tidak dikunci dan hanya di
ganjal oleh sebuah kursi yang ada di belakangnya. Sebelum memasuki ruangan
Harto melihat sekeliling apakah keadaan disana aman dan tidak ada petugas yang
sedang berkeliling perpustakaan, ketika melihat sudah aman Harto bergegas untuk
masuk. Saat ia sudah masuk, ia terpana dan terdiam dengan keindahan dari semua
buku yang tertata sangat rapi di atas rak, walau banyak sekali debu dan sarang
laba-laba yang hinggap di ruangan tersebut, tidak menghilangkan keindahan
tempat tersebut dan tak menyurutkan semangat Harto untuk menyusuri buku-buku di
ruangan itu yang ternyata banyak judul-judul yang sangat menarik dan belum
pernah Harto baca.
Saat tengah asiknya
berjalan-jalan menyusuri ruangan sambil mencari asal cahaya yang dia lihat dari
luar ruangan tersebut tadi, tiba-tiba ia menemukan dan melihat ada yang
bersinar dari balik rak nomor 2, karena Harto sangat penasaran ia memberanikan
diri untuk melangkah ke arah sumber cahaya tersebut. Sesampainya disana ia
terkejut karena dalam rak yang hanya terdapat 1 buku dan sangat bersinar dengan
indahnya sampai menyilaukan mata milik Harto, kemudian ia menghampirinya dan
mengambil buku tersebut. Dibukanya buku itu dan ternyata buku yang bersinar itu
ialah buku sejarah Indonesia tahun 1850 yang berjudul “Tanam Paksa”. Harto
memang sangat suka sekali membaca buku sejarah, tetapi buku yang ia baca lebih
banyak bertemakan sejarah yang ada diluar negeri dan tidak pernah membaca buku
sejarah tentang sejarah Indonesia, ia beranggapan bahwa sejarah di indonesia
itu tidak seru, dan tidak ada unsur menarik-menariknya sama sekali. Tetapi
ketika melihat pertama kali dan membaca judul buku ini, Harto merasa tertarik
karena logat-logat tulisannya sangat otentik seperti zaman dulu dan menurutnya
isi dari buku ini sangat memberikan kesan yang berbeda serta memberikan makna
serta kisah yang menarik. Halaman demi halaman Harto baca dengan cermat dan
teliti, ia sangat tertarik sampai-sampai tidak mau melewatkan satu halaman
sekalipun. Harto yang membaca cerita dibuku tersebut dibuat takjub
sampai-sampai tidak percaya apakah benar kejadian tersebut terjadi, karena
menurutnya itu sangat sadis dan tanam paksa itu terjadi di Indonesia, yang
merupakan tempat kelahirannya sendiri.
“Apakah benar ini terjadi
dinegaraku? Tidak mungkin, kenapa orang-orang luar negeri kejam sekali kepada
rakyat Indonesia ya, apa salah mereka sampai mereka mendapatkan perlakuan keji
seperti itu?”, Ucap Harto geram.
Harto berfikir bahwa tidak
mungkin pada zaman dahulu terdapat penindasan sesadis dan sekejam ini. Ia tidak
akan percaya kalau ia tidak melihat sendiri kejadian itu.
“Andai saja, aku bisa
melihat langsung kejadian dan kesadisan tanam paksa yang dilakukan kepada
rakyat Indonesia, karena aku sama sekali kurang percaya dengan kejadian ini”.
Ucap Harto.
Tiba-tiba ketika dia akan
mengganti halaman selanjutnya ia terkejut karena halaman sebaliknya kosong dan
tidak ada lanjutan cerita dari halaman sebelumnya. Harto bingung dan mengatakan
bahwa kenapa halaman dibuku itu kosong padahal buku itu masih tebal. Ketika
membuka halaman berikutnya, Harto terkejut karena muncul tulisan otentik jaman
dulu seperti pada halaman sebelum-sebelumnya tetapi bukan berisi tentang
lanjutan cerita, tetapi bertulisakan,
"Apakah kamu
penasaran apa yang terjadi dimasa lalu saat bangsamu mengalami
penindasan?"
"Jika kamu penasaran,
aku akan memberitahumu."
"Maukah kamu
melihatnya?"
Tulisan yang muncul
tersebut membuatnya terdiam, takut dan ingin pergi meninggalkan buku dan ruangan
itu. Tetap tak lama berselang, ia mendengar suara langkah kaki penjaga
perpustakaan yang akan masuk ke dalam ruangan. Ia tersadar bahwa ia lupa
menutup pintunya. Karena takut ketahuan ia kemudian spontan berkata ke buku
tersebut.
"Ya, aku mau",
dan tiba-tiba tubuhnya melebur dan tersedot masuk kedalam buku.
Setelah masuk kedalam buku
tersebut, harto kemudian muncul ke sebuah ruangan di dalam gedung pemerintahan
jaman dulu. Ia melihat area disekitarnya dan ia terkejut saat melihat kalender
yang bertanggalkan 18 Juni 1856, merasa bingung, ia kemudian bertanya kepada
seseorang berwajah Eropa yang tengah duduk sambil menulis dimejanya dengan
berbusana bangsawan, layaknya orang penting.
"Hai, maaf permisi,
apa kau tau ini dimana dan tahun kapan ini?".
Namun orang tersebut hanya
diam saja dan tidak menatapnya. Harto pun sampai melambai-lambaikan tangannya
dan orang tersebut masih tidak merespon, seakan-akan orang tersebut tidak
mendengar dan melihat harto. Orang tersebut kemudian berdiri dan berjalan sambil
memegang catatan. Saat menuju pintu, harto berusaha menyentuhnya, namun
tangannya menembus tubuh orang tersebut. Harto tersadar bahwa dirinya adalah
sebuah hologram tembus pandang yang dimana orang-orang tak bisa melihat dan
mendengarnya. Harto pun mengikuti orang tersebut. Ditengah lorong gedung,
muncul seorang berwajah Eropa lainnya yang memakai pakaian militer bak perwira
menyapa bangsawan tersebut.
"Goedemiddag
meneer generaal Van Den Bosch".
Mendengar nama yang
perwira sebutkan tersebut, Harto terkejut setengah mati karena ia menyadari
bahwa bangsawan tersebut ialah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Van
Den Bosch. Gubernur Jenderal tersebutlah yang memulai sistem tanam paksa di
Indonesia seperti yang dibaca Harto dalam buku tadi.
"Ternyata aku datang
dimasa Van Den Bosch memerintah dan melakukan Sistem Tanam Paksa di Negaraku,
itu berarti ini sekitar tahun 1830an, astaga jauh sekali dari masaku."
Ucap Harto setengah kaget.
“Oh ternyata ini wajah
dari sosok pemulai kejadian tanam paksa, perasaan ngga ada seram-seramnya dah
ni orang, kok di buku tadi diceritain sosok Van Den Bosch itu kejam, ga punya
hati ya, padahal tadi saat disapa dia ramah dah.”
“Au ah, ga bener ni emang
buku satu ini, tapi aku masih penasaran bagaimana ya kelanjutan permasalahan
yang ada dikisah ini dan apa benar yang dijelaskan di buku itu benar terjadi di
masa lampau, atau cuman khayalan penciptanya saja?” Ucap Harto dalam hati.
Harto kembali melanjutkan
perjalanan nya untuk mencari jalan keluar dari dunia antah barantah itu, tetapi
saat di tengah perjalanan ia mendengar suara teriakan lantang dari suatu
ruangan, tanpa pikir panjang ia langsung menghampiri sumber arah teriakan
tersebut. Sesampainya di ruangan ia terkejut atas apa yang ia lihat, Harto
melihat ada sebuah perempuan paruh baya mengenakan pakaian kebaya hitam coklat
nuansa khas rakyat pribumi yang penuh dengan gumpalan tanah di semua bagian
pakaiannya dan baunya masam yang disebabkan oleh air keringat yang bercucuran
di sekujur badan perempuan itu. Perempuan yang sangat lemah dan tidak berdaya
tersebut terlihat dicaci maki oleh Van Den Bosch dan para anggotanya, hal itu
dilakukan karena Perempuan paru baya itu tidak mau menjual hasil panen dan
lahannya untuk dijual kepada Van Den Bosch. Ia tetap kukuh dengan pendiriannya,
alhasil perempuan tersebut semakin disiksa sampai menangis.
Perempuan itu menyela dan
mengatakan kepada Van Den Bosch untuk berhenti menyiksanya dan dia akan
bersedia memberikan lahannya, akan tetapi dengan beberapa syarat. Mendengar hal
itu Van Bosch malah tertawa dan malah mengatakan bahwa tidak ada syarat yang
harus kalian sebagai pribumi inginkan kepada kami, kami hanya ingin lahan
kalian dan kalian sebagai pekerja kami. Kemudian perempuan itu disiksa kembali
dan penyiksaanya semakin kejam. Karena semakin merintih kesakitan dan menangis,
perempuan itu akhirnya bersedia untuk menjual lahannya kepada Van Den Bosch.
Akhirnya Van Den Bosch menyuruh perempuan itu untuk memberikan surat lahan dan
menyuruhnya keluar dari ruangannya serta mengatakan,
“Kamu itu
terlalu lama mengatakan iya, kalau kau segera mengatakan setuju aku tak akan
menyiksamu seperti ini. Membuang tenaga dan waktuku saja!!”.”
Harto yang melihat
kejadian itu merasa miris dan marah,
“Kenapa semua ini bisa
terjadi, kenapa Van Den Bosch yang diawal aku kira baik ternyata memiliki sifat
yang keji dan suka menindas rakyat kecil terutama rakyat pribumi di Indonesia.
Mereka memanfaatkan rakyat Indonesia karena memiliki kekayaan yang sangat
melimpah, sungguh tidak adil!! Kok ada ya orang seperti dia ini.”
Karena penasaran dengan
apa yang ia lihat ini seperti di bukunya, ia mengikuti perempuan paruh baya itu
untuk membuktikan apakah kisah yang ada di buku itu benar-benar terjadi, ia
mengikuti arah demi arah yang dilewati oleh perempuan itu, Sembari berjalan dan
mengikuti perempuan tersebut, Harto berbicara sendiri dengan dirinya,
“Ternyata apa yang
diceritakan dibukumemang benar adanya, aku semakin penasaran apakah apa yang
ada dibuku selanjutnya sama dengan yang ada disini. Aku juga penasaran dengan
halaman yang kosong tadi. Kira-kira apa ya?”
Tak lama ia berjalan
mengikuti sang perempuan tersebut, akhirnya ia sampai di sebuah gubuk kecil
berdindingkan kayu pring, pencahayaan yang masih pakai obor dan lilin. Setelah
masuk kedalam rumah perempuan itu bertemu dengan keluarganya, yang ternyata
hanya tinggal dengan anak dan cucunya. Melihat orang tuanya merintih kesakitan
dan menangis, sang anak menanyakan kepadanya,
“Ibu kenapa menangis? Ada
apa bu? Apakah ada masalah diladang? Sang anak bertanya pada perempuan yang
merupakan ibunya itu.
“Tidak nak, hanya saja ibu
ada kabar menyedihkan untuk kita. Tadi ibu dihadang oleh pasukan Van Den Bosch
dan dibawa ke kantornya. Ibu dipaksa untuk menjual lahan kita dan hasilnya
diberikan kepada Van Den Bosch.”
“Kemudian, apakah ibu
menerimanya?”
“Sebenarnya ibu menolak,
tetapi ibu malah semakin disiksa olehnya. Jadi ibu terpaksa mengiyakan dan
menjual lahan kita kepada mereka. Maafkan ibu!”, perempuan itu menjelaskan
kepada anaknya sambil menangis.
Melihat hal itu, Harto
merasa iba karena ibu dan anaknya menangis dan pasrah akan apa yang sudah
mereka alami hari itu. Tak lama kemudian, terdengar sebuah pengumuman kepada
warga pribumi mengenai sistem baru tanam paksa yang akan oleh dilakukan Van Den
Bosch di Indonesia yang mana wajib untuk rakyat pribumi Indonesia patuhi dan
laksanakan. Dalam pidatonya, Van Den Bosch mengatakan bahwa petani harus
menyediakan 20% luas tanah miliknya untuk digunakan dalam tanam paksa, tak
hanya itu ia juga mengatakan bahwa apabila hasil panen menghasilkan kurang dari
ketetapan semula, itu adalah tanggung jawab pemerintah belanda dan apabila
terdapat hasil sisa panen atau kelebihan dari ketetapan yang diberikan, akan
dikembalikan ke petani dan belanda tidak ikut campur.
Mendengar pidato yang
dibicarakan oleh Van Den Bosch, para petani bingung harus senang atau sedih.
Senang karena hasil panen mereka bisa diperjualkan oleh orang luar, tetapi
mereka sedih dengan harga yang diberikan dan mereka juga disuruh bekerja dengan
paksa kepada orang luar ditanah milik mereka sendiri. Setelah itu Van Den Bosch
menyuruh mereka untuk mengambil seluruh sertifikat lahan guna tanda bukti bahwa
sudah menyerahkan lahannya kepada pihak Belanda dan kembali ke lahan mereka
untuk megosongkan lahan dengan cara mengambil seluruh hasil panen yang mana
harus dijual kepada kolonial Belanda, setelah itu mereka harus segera bekerja
menanami tanaman yang sudah ditentukan yaitu kopi, jahe, tebu dilahan mereka
karena setelah 3 bulan tanaman itu semua harus sudah disetorkan kepada pihak
Belanda. Bagi warga yang tidak memiliki lahan, Van Den Bosch menyuruh mereka
untuk menjadi tukang pengangkut barang hasil panen dan membantu menjadi buruh
tanam dilahan tersebut.
Dalam hal ini, Harto masih
setia mengikuti dan mengamati kisah dari cerita ini dan menyambungkan dengan
buku yang dia baca yang ternyata masih sama. Ketika perjalanan akan pulang dari
pertemuan tadi, ada beberapa rakyat pribumi yang saling tidak terima dan merasa
kesal dengan cara yang dilakukan Van Den Bosch, ternyata apa yang diucapkan
warga pribumi tersebut terdengar oleh pasukan Belanda dan orang pribumi
tersebut langsung diseret dan dibawa menghadap pimpinan dan kemudian disiksa.
Harto yang melihat
kejadian tersebut merasa tidak terima dan ingin melawan pasukan Belanda dengan
kemampun bela diri yang ia punya, tetapi ia sadar bahwa ia hanya hologram yang
tidak bisa leluasa melakukan aktivitas yang ingin ia lakukan. Harto kembali
melanjutkan perjalannya mengikuti perempuan paruh baya itu, perempuan tadi
pulang ke gubuk tuanya untuk mengambil sertifikat tanah, ia melanjutkan
perjalananya ke sebuah lahan pertanian yang tidak seberapa, ia melihat
perempuan paruh baya itu sedang memanen hasil pertaniannya yang akan disetorkan
ke para kompeni Belanda, perempuan itu bekerja dibawah terik panas matahari tanpa
ada bantuan sedikitpun, naasnya saat ia memotong tebu dengan sebuah celurit
yang sudah ia asah sebelumnya, tangannya tergores lebar karena menyabit arit
terlalu kencang sehingga malah mengenai tangannya. Melihat kejadian mengenaskan
itu, Harto reflek langsung ingin membantu sang perempuan itu, tetapi ketika
ingin memberikan air dan kain untuk mengobati luka sang perempuan, dia tersadar
kembali kalau dia hanya seorang hologram, dan itu membuatnya sangat kesal dan
kecewa pada dirinya sendiri.
Setelah itu, perempuan
paruh baya tersebut membawa hasil panennya ke kantor Van Den Bosch dengan
tangan terbalut kain yang dia temukan tadi. Sesampainya disana, ternyata tidak
sesuai dengan ekspektasi sang ibu, hasil panen yang diberikan kepada Belanda
tenyata dirampas semua dan tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya yang mana
apabila hasil panen kelebihan dari ketetapan awal maka diberikan kembali kepada
rakyat Indonesia. Perempuan itu tidak terima dan marah kepada Van Den Bosch dan
mengatakan apa yang dikatakannya itu hanya bualan atau kebohongan. Tidak terima
dikatakan seperti itu, Van Den Bosch kemudian menyuruh anggotanya untuk
menyiksa perempuan tu karena sudah berani melawannya, akhirnya perempuan itu
tak berdaya dicambuki oleh para kompeni Belanda, sampai-sampai menimbulkan luka
di sekujur badannya.
Saat perjalanan pulang,
mata Harto ternodai dengan semua kejadian yang ia lihat, banyak sekali kaum
pribumi yang dicambuki, ditendang, bahkan ada juga yang diludahi, semua itu
bukan tiada sebab, mereka lelet dan lambat dalam melaksanakan perintah dari
para kompeni, tak hanya itu ada beberapa petani yang dicambuk karena hasil
panen nya kurang dari ketetapan awal, petani tersebut tidak terima di cambuki
gara-gara sesuatu hal yang sepele itu.
12 MARET 1857
Hari demi hari sudah
dilewati Harto, tak terasa ia sudah berada di dunia antah-barantah itu selama
21 bulan, setiap hari ia hanya melihat perempuan paruh baya itu, dan para
petani yang lain hanya disiksa sepanjang waktu, menanam disiksa menanam disiksa
dan menanam disiksa, itulah keseharian para pribumi selama kompeni mulai
datang. Bulan kelipatan 3 (Bulan ke-21), tandanya waktu panen, semua petani
bergegas menuju kantor milik Van Den Bosch guna menyetorkan hasil panennya,
mereka beranggapan bahwa ada kebijakan baru bahwa ada upah untuk para petani
walaupun cuma 10 perak, mereka menginginkan sekali diberikan upah karena kerja
kerasnya, sebab mereka belum menerima upah sepeserpun dari hasil lahannya itu.
Semua petani pun sudah
sampai di gedung milik Van Den Bosch, satu persatu petani dipanggil oleh para
kompeni guna menimbang hasil taninya, Harto yang setia mengikuti perempuan
paruh baya itu melihat semua hal yang dilakukan kolonial Belanda kepada rakyat
Indonesia, satu persatu rakyat pribumi dipanggil dan mengantri untuk memberikan
hasil panen mereka. Pada saat itu, seorang pemuda mendapat giliran untuk
menyetorkan hasil panennya, namun yang terjadi adalah Van Den Bosch tidak
merasa senang karena yang disetorkan tidak sesuai dengan kesepakatan, akhirnya
dia dibawa oleh pasukan belanda keluar dan menyiksanya hingga puas. Antrian
berikutnya adalah seorang bapak-bapak tua yang sedikit sekali membawa hasil
panennya dan otomatis langsung mendapat siksa kejam dari pasukan Van Den Bosch.
Kini giliran ibu tua yang menyetorkan panennya kepada mereka, dan bersyukurnya
ibu itu tidak mendapat siksaan dan dipersilahkan pergi, sebelum ibu itu pergi,
ia mau berbicara tentang pemberian upah, tetapi baru mau ngomong, ia sudah
disuruh pergi oleh anak buah Van Den Bosch, tak mau disiksa seperti petani yang
lin, ibu itu menuruti apa yang dikatakan oleh kolonial Belanda itu. Harto yang
melihat kejadian itu merasa terheran-heran, ia bergumam dalam hati, lah kok dia
dibebaskan, gimana caranya. Harto yang penasaran akan ibu itu, ia mengikutinya
dan sampai di rumah kecil berdindingkan rotan.
Ibu itu pulang kerumah,
ternyata tanpa diketahui oleh pihak belanda hasil panennya tahun ini melimpah
dan ia menyisakan panennya untuk dibawa pulang untuk bisa dimakan bersama
keluarga dan dijual, untuk sisanya dia setorkan tadi kepada pihak belanda yang
mana sebelumnya sudah dia takar sesuai perjanjian. Ketika ibu itu hendak pergi
kepasar dan menjual sedikit hasil panennya, tidak sengaja pasukan belanda lewat
dan melihat ibu itu. Pasukan belanda merasa curiga, kenapa ibu itu pergi ke
pasar padahal ia sudah menyetorkan semua hasil panennya kepada belanda. Tak
berselang lama, ternyata ibu itu menjual hasil panennya kepada orang lain tanpa
sepengetahuan Van Den Bosch, pasukan belanda yang melihat itu langsung bergegas
mendatangi Van Den Bosch dan melaporkan hal itu. Mendengarkan informasi itu,
Van Den Bosch murka dan mendatangi ibu itu.
Didobraklah rumah pintu
ibu itu dan tak lama Van Den Bosch menyuruh pasukannya untuk menyiksa sadis ibu
tua itu didepan anak cucunya, dan karena sudah tidak kuat menahan rasa sakit
akhirnya ibu itu meninggal. Melihat kejadian itu Harto perasaannya tercampur
aduk, dia marah, kesal, dan merasa bersalah karena tidak bisa membantu ibu tua
dan keluarganya itu.
Harto kemudian kembali ke
kantor belanda mengharap masih ada rakyat pribumi yang berada disana, namun
ternyata mereka sudah tidak ada. Ketika Harto akan pergi, ia melihat seorang
rakyat pribumi yang berpakaian rapi masuk kedalam gedung Belanda milik Van Den
Bosch, Harto mengikut pemuda itu dan akhirnya ia terhenti di sebuah ruangan
“Lah, itu kan ruangan nya
Van den bosch yang laknat itu, untuk apa pribumi masuk ke ruangan Van Den
Bosch?”.
Kemudian, Harto melihat
dan mendengar percakapan antara pemuda pribumi itu dan Van Den Bosch yang
sedang mengobrol serta pemuda itu diberikan secarik amplop tebal yang mana
membuat Harto terkejut terheran-heran.
“Wah Selamat pagi Mr.
Gubernur Indonesia, kau datang tepat waktu. Ini upah untuk para petani bulan
ini, tolong berikan pada mereka. Dan ini ada sedikit tambahan komisi untukmu
seperti biasa. Kerjamu sangat epic dalam mempengaruhi rakyatmu untuk menjual
lahan dan hasil panennya kepadaku” ucap Van Den Bosch.
“Terima kasih Tuan.” Kata
pemuda itu dengan senyuman
“Loh, ternyata itu
Gubernur Indonesia, kenapa ia dikasih secarik amplop berisi uang? Sedangkan
para petani yang lain tidak dikasih apa-apa oleh para kolonial Belanda.” Heran
Harto atas semua yang ia lihat.
“Wah seperti biasa, Van
Den Bosch memang benar-benar baik. Dan seperti biasa akan ku simpan uang ini
dan tidak aku berikan kepada rakyat”. Lagak ketawa Gubernur tersebut.
Mendengar itu, Harto
sangat marah dan mengatakan, “Jadi…. Selama ini?? Kejam sekali orang itu kepada
rakyatnya. Padahal rakyatnya sudah mati-matian bertahan hidup, tetapi gubernur
itu malah memanfaatkan keadaan mereka. Sungguh kejam!!”.
Harto ingin sekali
melaporkan kejadian tersebut agar rakyat bisa bertindak dan tidak senngsara
lagi, tetapi dia sangat menyadari bahwa dia tidak bisa melakukannya.
17 APRIL
1858
Suara tangis perempuan itu
terdengar sampai luar, Harto yang mendengar suara tangisan itu langsung masuk
melihat ke dalam, Harto terkejut ternyata anak dari perempuan paruh baya itu
yang menangis, ia menangis karena kelaparan tidak makan 1 bulan, keluarga
perempuan paruh baya itu memang jarang makan sekarang, mereka tidak mendapatkan
upah sepeserpun dari hasil kerja mereka. Tak lama kemudian, suara tangis itu
pecah, anak yang menangis itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya akibat
kelaparan. Harto yang melihat kejadian itu merasa ingin memberitahu keluarga
tersebut bahwa selama ini upah yang seharusnya diberikan ke rakyat pribumi
malah di korupsi oleh gubernurnya sendiri.
Kasus penilapan uang upah
petani oleh gubernur itu belum diketahui oleh para petani sampai sekarang,
banyak para petani, dan keluarganya yang kelaparan akibat ulah gubernur dan
kolonial Belanda itu, banyak rakyat yang terdampak wabah penyakit, mereka tidak
memiliki uang sepeserpun buat berobat di klinik milik kolonial Belanda.
19
DESEMBER 1860
Gubuk tua, saksi dimana
Harto meratapi nasib selama 4 tahun 3 bulan menjalani hidup di abad-18, Harto
setiap hari dibikin pusing gimana caranya keluar dari dunia ini, dan
mengingat-ingat kalimat per kalimat yang ada di buku ajaib itu, barangkali ada
kalimat yang dapat membantunya keluar dari sini. Disah yang sudah ia baca, ia
tidak menemukan kalima apapun yang menunjukkan clue untuk keluar dari
sini.
Tak sampai di situ, Harto
malah dibuat penasaran dengan kelanjutan kisah ini, yang dia fikirkan dan ingat
ternyata dihalaman akhir sebelum kosong, terdapat kalimat yang menjelaskan
bahwa akan datang seseorang tokoh yang akan mengembalikan keadaan Indonesia
menjadi normal kembali, ia berfikir sejenak
“Apa halaman kosong itu
ada sangkut pautnya dengan tokoh itu ya? Atau beda kisah lagi? Hmmmm…. Jadi
penasaran dah.”
Ketika ia berjalan sambil
merenungi isi buku selanjutnya, ia tak sengaja bertemu dengan seseorang yang
memiliki paras menawan khas orang Belanda dan berpakaian sangat rapi sedang
menaiki kereta kuda, tetapi Harto acuh terhadap orang itu karena ia tidak
mengenali siapa orang itu, ternyata pemuda gagah tersebut turun di belakang
Harto berdiri, Harto spontan menoleh kebelakang dan mengikuti pemuda itu karena
penasaran apa yang ia lakukan.
“Pemuda Belanda baru,
pasti ia mau menyiksa rakyat pribumi lagi, dasar biadab!! Kerjaannya cuman
menindas.” Gumam Harto dalam hati.
Harto membututi kemana
perginya pemuda itu, dan pada akhirnya perjalanannya terhenti di sebuah gedung
tua, Harto kaget atas apa yang pemuda itu lakukan. Ia melihat banyak sekali
rakyat pribumi yang menunggu keberadaan pemuda itu.
“Loh, loh. Dia kan salah
satu kompeni Belanda, lah kok rakyat indonesia malah senang ya melihat
keberadannya, kok nggak kabur ya, lah apakah aku ini mimpi?”
“Woi, kabur woi, dia orang
Belanda. Dia akan menyiksa kalian satu persatu, please… dengarkan aku!!!”
Harto terkejut dengan apa
yang dia lihat, ia berusaha berbicara dan mengajak warga untuk keluar tetapi
semua perbuatan yang ia lakukan itu semua sia-sia dan tidak membuahkan hasil
apa-apa, ia ditambah kaget setelah mengetahui maksut dan tujuan pemuda itu,
ternyata pemuda itu menyampaikan pidato yang berisi tentang keberatannya
terhadap sistem tanam paksa yang dilakukan di Indonesia, ia prihatin kepada
rakyat Indonesia yang sudah sengsara akibat ulah kompeni Belanda, pemuda itu
mengajak rakyat Indonesia untuk bersatu mengusir Van Den Bosch dan bawahannya
dari Indonesia.
“Ternyata spekulasiku
tentang pemuda Belanda itu salah, tak semua orang Belanda itu hitam hatinya
seperti Van Den Bosch sialan itu, syukurlah ada yang membantu rakyat pribumi
ini, jika tidak ada tokoh yang membela aku tidak habis pikir gimana nasib
negeri tercintaku ini.” Ucap Harto dalam hati.
Setelah mendengar pidato
yang disampaikan pemuda itu, Harto penasaran dengan keseharian pemuda itu,
alhasil ia mengikuti kemana pemuda itu pergi lagi. Dengan menaiki kuda putih,
pemuda itu terlihat gagah dari kejauhan, akhirnya pemuda itu berhenti di sebuah
jalan, alangkah terkejutnya ternyata pemuda itu menempelkan secarik kertas yang
bertuliskan "Goh, Hollandse klootzakken. Verstoor het leven van de
inheemse bevolking niet." Yang artinya “Pergilah kau, para bajingan
Belanda. Jangan kau ganggu kehidupan para rakyat pribumi”. Harto yang melihat
tulisan yang ditempel pemuda itu merasa kaget setengah mati.
“Wow, dia rela
menjelek-jelekan ras nya sendiri dihadapan rakyat jajahannya demi melihat
kebahagiaan. Sungguh mulia apa yang dilakukannya ini.” Kagum Harto.
Ia mengikuti setiap
kegiatan yang pemuda itu lakukan, mulai dari pidato di berbagai tempat dan
menempelkan sindiran kepada kompeni Belanda. Hari menjelang malam, Harto masih
saja mengikuti pemuda itu, ia melihat pemuda itu menulis di sebuah buku antik.
Ia penasaran dengan apa yang ditulisnya,
“Sepertinya dia sedang
membuat karya, mending aku ke sana aja dah dari pada menduga-duga yang belum
tentu benar juga.” Gumam Harto sambil berjalan menuju meja belajar milik sang
pemuda.
“Kan, benar, dia sedang
menulis sebuah karya, judulnya apa ya?” Ucap Harto sambil menutup buku itu.
“Max Havelaar” judul yang
bagus, kira-kira ia menulis tentang apa ya?”
Setelah Harto melihat
judul buku itu, ia membaca sedikit-sedikit isi cerita buku yang berjudul “Max
Havelar itu.
“Dibalik keuntungan yang
didapat Belanda ada penderitaan yang harus ditimpa Jutaan rakyat asli
Indonesia, mereka tertindas oleh bangsa kita, bahkan para petani di Indonesia
banyak yang sakit, sehingga timbul kematian di berbagai daerah, bukankah itu
hal yang memalukan? Pikirkan jika kejadian itu menimpa kalian dan sanak
keluarga kalian!!! Sangat tidak berperikemanusiaan!!!”, arti secuil kata yang
dapat Harto pahami dari buku yang berbahasa Belanda itu, ia langsung sadar
bahwa buku yang ia baca itu ialah buku tentang sistem tanam paksa yang sedang
berlangsung di negerinya. Selagi masih ada kesempatan, Harto langsung mencari
nama dari seorang pemuda yang ia buntuti itu, dan ternyata ia bernama “Douwes
Dekker”. Tak hanya itu, Harto juga melihat-lihat isi kertas dan buku yang
berada di meja belajar, dan ia menemukan surat yang berisikan tentang aduan
Douwes Dekker mengenai sistem tanam paksa yang sudah menyeleweng dari ketentuan
awal, mulai dari lahan tanam, upah, dan sisa tanam paksa yang berbeda jauh dari
sistem awal yang sudah direncanakan oleh pemerintah Belanda, surat ini akan
dikirim ke pemerintah Belanda agar mereka semua tahu bahwa sistem tanam paksa
ini mengakibatkan banyak rakyat yang menderita, selain surat, buku yang
berjudul “Max Havelaar” itu akan di dipasarkan ke khalayak ramai di Belanda
guna menyadarkan para masyarakat Belanda bahwa perbuatan ini merupakan
perbuatan yang sangat salah.
Sebelumnya pada hari
selasa tanggal 27 April 1860, dimana saat itu awal penderitaan rakyat Indonesia
mulai berkurang, banyak tokoh yang mulai berdatangan untuk membela Indonesia
keluar dari kesengsaraan dari tanam paksa ini yaitu Baron Van Hoevel, Fransen
Van De Putte dan masih banyak lagi, mereka bekerja sama dengan Douwes Dekker
seperti nama yang Harto baca tadi, mereka mampu dan berhasil merubah kehidupan
rakyat Indonesia secara drastis. Setelah melihat semua surat, buku, dan
perlakuan yang diberikan Douwes Dekker satu persatu kepada rakyat Pribumi, ia
menjadi terkesima atas semua yang dilakukan oleh si Douwes Dekker, Harto
tiba-tiba mengidolakan sosok Douwes Dekker karena sikap dan kepribadiannya
tersebut.
Melihat hal tersebut,
Harto merasa senang dan lega akhirnya penderitaan rakyat Indonesia berakhir.
Tak lama kemudian, ketika asyik berjalan. Harto terkejut karena dirinya seperti
akan menghilang bak hologram yang kehabisan baterai, ia takut dan mengatakan,
“Apa yang terjadi padaku,
kenapa aku memudar seperti akan hilang”, Ucap Harto dengan rasa takut.
“Tuhan, aku masih ingin di
dunia ini dan mengetahui kelanjutan apa yang akan terjadi di cerita ini.”
Tak lama ketika ia menutup
dan membuka matanya, ia sudah kembali ke perpustakaan itu kembali. Ia kaget
saat matanya melihat jam dinding, ia menjumpai waktu masih pukul 14:23, artinya
waktu di dunia Harto tidak berubah dan tetap sama, menyadari hal itu ia
langsung panik saat melihat pintu terbuka dan jejak penjaga, Harto bersembunyi
di bawah meja guna bersembunyi dari sosok penjaga, alangkah jengkelnya Harto
ketia melihat penjaga itu cuman menutup pintu dan tidak masuk ke ruangan.
Menyadari hal itu, Harto
tidak pikir panjang, ia langsung mencari buku ajaib itu dan membacanya kembali,
ia terkejut bak disambar petir, ia kaget dikarenakan ia melihat buku itu sudah
terisi dan tidak kosong seperti sebelumnya. Setelah mengetahui halaman itu
tidak kosong lagi, Harto tidak sabar melihat cerita selanjutnya, dan firasatnya
tentang kelanjutan buku itu benar bahwa halaman itu menceritakan keberanian
sosok Edward Douwes Deker dari awal sampai akhir. Diakhir halamannya Harto
membaca, benar bahwasannya ketika Douwes Dekker datang ke Indonesia, seketika
sistem tanam paksa mampu mulai terhapus, mulai dari tanaman lada dihapus pada
1862, teh dihapus pada 1865, disusul tembakau pada tahun 1866, tebu tahun 1870
dan terakhir kopi dihapus pada 1917, secara resmi sistem tanam paksa dihapus pada
tahun 1870 dan diganti dengan sistem ekonomi liberal, dan rakyat Indonesia bisa
mendapatkan lahan mereka kembali serta kesengsaraan rakyat Indonesia mulai
berkurang.
“Tinggal dua lembar lagi,
huh… sangat melelahkan kisah dibuku ini.”
Ketika akan membuka
halaman selanjutnya, terkejutlah ia karena halaman itu kosong. Tak lama muncul
tulisan,
“Bagaimana, sekarang kamu
percaya kan bahwa cerita yang terjadi di negara kita itu benar adanya.”
“Jangan jadikan cerita ini
sebagai ingatan mu yang hilang begitu saja, tapi ambil baiknya, dan buang
buruknya. Aplikasikan ke dalam kehidupanmu di sekolah, tegakkan kebenaran dan
buang kejahtan.”
Saat menutup buku ajaib
itu, Harto terkaget dengan penulis buku itu, yang tidak bukan ialah idolanya
sendiri Douwes Dekker, saat mengetahui semua itu.
“Jadi, selama ini aku
membaca buku dari idolaku sendiri?? Wow, tidak habis pikir lagi!” Ucap Harto
terheran-heran
“Tamat. Ternyata cerita di
buku dan kisah ini sangat-sangat menyadarkanku, bahwa jaman dahulu rakyat
Indonesia diperlakukan tidak adil dan haknya dirampas oleh orang luar, dan juga
tidak ada sekalipun orang yang membantu termasuk orang Indonesia yang memiliki
pangkat sekalipun.” Gumam Harto
Harto seketika tersadar
dan menyadari bahwa selama ini ia sudah berbuat tidak baik kepada dirinya
sendiri dan sikap nya ke teman-teman yang rakyat kecil itu salah. Keesokan
harinya Harto mulai bersikap berbeda dan kini banyak yang mau berteman baik
dengannya, ia pun juga membela teman-teman yang menjadi bahan bully-an
disekolah.
Tidak ada komentar: