PERJUANGAN DAN PENGORBANAN

Rabu, Januari 03, 2024

PERJUANGAN DAN PENGORBANAN

Karya: Mahendra Ghani

 

Di tengah teriknya sinar matahari yang memancar, terlihat seorang anak muda sedang bernaung di bawah pohon beringin yang rindang dekat sekolah Kota Tua Semarang, seolah-olah mereka hendak melindungi dirinya dari panas yang memancar bak panasnya api neraka. Seorang anak laki-laki muda, yang kira-kira berumur 18 tahun, Memakai pakaian dengan jas putih nan elegan dan celana pendek berwarna hitam serta berkancing di ujungnya, lalu menggunakan sepatu berwarna hitam tinggi yang disambung ke atas dengan kaus kaki sutera hitam sampai pada betisnya. Tak lupa dengan barang ikonik sekolah yang sering dipakai yaitu topi rumput putih yang mengerecut ke depan, yang biasa dipakai oleh warga sekolah tersebut.



Di tangan kirinya ada beberapa kitab dengan sebuah buku sejarah dunia yang fenomenal dan dibagian tangan kanannya pula memegang sebuah lipatan peta bumi yang akan ia teliti di kelas. Jika dipandang dari jauh, mulai dari gaya berpakaiannya tentulah orang akan menyangka, anak ini seorang anak kaya raya keturunan Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatanya ia tidak memiliki darah bangsa Eropa sekalipun, karena kulitnya kuning seperti kulit langsat, rambut dan matanya hitam bak pribumi pada umumnya. Di bawah dahinya pun juga lebar dan tinggi, sangat terlihat nyata alis matanya yang tebal dan hitam pula. Anak ini bernama Harto, ia merupakan salah satu anak yang pintar dan rajin dikelas, kesukaaanya akan membaca membuat ia sangat sering mendapatkan peringkat 3 besar di angkatan. Tetapi sayangnya, ia merupakan sosok yang dikenal dingin, egois dan tidak peduli terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya, tak dipungkuri ada beberapa teman-teman kelasnya yang tidak menyukai sikapnya itu. Hal ini dibuktikan saat temannya ditindas oleh anak-anak para petinggi sekolah, ia hanya diam saja dan tidak peduli sampai mendapatkan teguran dari orang lain.

Sekolah yang ditempati oleh Harto ini memang dikenal sebagai sekolah yang elite, tetapi dibalik kemegahan bangunannya tersebut sekolah ini ternyata memiliki kisah yang mengenaskan yaitu banyak sekali siswa yang memiliki kasta rendah, dimana mereka sering di caci maki, ditindas, dibully oleh siswa dari kalangan elite atau tinggi, sebenarnya banyak siswa yang tidak terima atas perlakuan tidak adil seperti itu, tapi mereka semua takut kalau mereka dilaporkan kepada guru dan malah dikeluarkan dari sekolah, karena kebanyakan para siswa berkasta tinggi ini ialah anak dari pengusaha-pengusaha terkenal yang memberikan banyak donasinya ke sekolah, jadi apapun yang diinginkan para petinggi sekolah langsung dikabulkan oleh pihak sekolah. Seperti contohnya pada waktu jam istirahat tepatnya dikantin sekolah, ada salah satu siswa yang mendapatkan perlakuan tidak baik oleh segerombolan siswa yang merupakan anak dengan kasta tinggi atau orang tuanya merupakan seorang pendonatur tertinggi disana. Siswa-siswa lain banyak yang melihat kejadian tersebut, mereka ingin sekali membantu anak tersebut, tetapi mereka tidak berani. Harto yang ternyata juga berada dikantin sedang membaca buku dan makan sangat acuh sekali, ia tidak mau berusaha dan tidak ada insiatif untuk menolong anak itu, sampai ada teman disampingnya menepuk bahunya sambil mengatakan,

“Harto, lihatlah anak itu kasihan, apakah kamu tidak mau untuk membantunya. Kamu kan pasti berani melawan mereka.”

Harto menjawab dengan santai, “Tidak, aku sedang tidak mau mengotori tanganku ini.”

Kemudian dia melihat sebentar anak itu lalu meninggalkan kantin sambil menghela nafas dan berganti tempat untuk membaca buku. Sebenarnya Harto mampu mencegah pembulian yang ada di sekolahnya itu, namun karena sifat tidak kepeduliannya, sehingga Harto sering mengacuhkan kasus pembulian yang ada di sekolahnya tersebut.

Harto memang dikenal sebagai anak yang memiliki sifat egois dan rendah akan kepekaan sosial disekitarnya, terutama ketika dia berada diingkungan sekolah dan berada disekitar teman-temannya. Hal tersebut yang menyebabkan Harto tidak memiliki banyak teman atau hanya sedikit yang ingin menjadi temannya. Ia tidak merasa terganggu jikalau benar tidak ada yang ingin berteman dengannya karena tujuannya ingin menimba ilmu, dan mendapatkan teman adalah bonus, begitu pikirnya.

Beberapa minggu setelah kejadian dikantin tersebut, Harto mendapatkan kejadian yang sangat aneh dan menakjubkan. Waktu itu pada hari minggu 22 Juni 2004, biasanya Harto mengisi hari minggunya dengan berkunjung ke suatu tempat bersama keluarganya, tetapi hari itu ia hanya menghabiskan waktunya dengan dirumah saja karena ia tidak memiliki kegiatan di sekolah atau agenda bermain bersama keluarga. Entah kenapa harto sangat merasa bosan di rumah sendirian dan tidak bersemangat untuk membaca buku-buku koleksinya itu, akhirnya ia berfikir dan tiba-tiba memutuskan untuk pergi berkunjung ke perpustakaan pusat yang menurut dia bagus dan ia belum pernah berkunjung kesana sebelumnya. Perpustakaan pusat yang didatangi Harto ternyata tidak begitu jauh dari rumahnya, dan sesampainya di perpustakaan pusat yang besar tersebut ia mengamati bahwa keadaan perpustakaan sangat sepi pada hari itu dan hal ini membuat Harto semakin bersemangat untuk berkunjung ke perpustakaan karena ia sangat menyukai susana yang sunyi dan sangat tenang. Kemudian ia bertanya ke petugas perpustakan bahwa dimana letak buku sejarah di letakkan, dan si petugas perpustakaan menjawab letak buku sejarah ada di pojok belakang dekat buku-buku matematika, setelah mendapat informasi tersebut. Harto langsung mencari keberadaan buku sejarah yang ia cari, tak sampai 5 menit mencari rak bagian buku-buku sejarah ditemukan olehnya.

Setelah mengambil satu buku yang menurutnya bagus, tiba-tiba penglihatan Harto beralih ke pintu kecil di balik rak buku sejarah karena terdapat cahaya kecil disana. Ia penasaran dengan apa yang ada dibalik pintu itu, dalam hati ia ingin sekali masuk dan menulusuri apa yang ada di dalam ruangan tersebut, tetapi rasa ingin tahu Harto sirna karena di atas pintu itu terdapat tulisan pertanda dilarang masuk, karena terlanjur penasaran dan Harto memiliki perasangka baik bahwa di dalam pasti disana banyak sekali buku-buku lain yang lebih menarik daripada yang ada di luar sini terutama buku-buku sejarah yang ia sukai, ia kemudain nekat untuk masuk kedalam ruangan tersebut, dan ketika ia sudah mendekati pintu itu, alangkah beruntungnya Harto karena saat itu pintu tidak dikunci dan hanya di ganjal oleh sebuah kursi yang ada di belakangnya. Sebelum memasuki ruangan Harto melihat sekeliling apakah keadaan disana aman dan tidak ada petugas yang sedang berkeliling perpustakaan, ketika melihat sudah aman Harto bergegas untuk masuk. Saat ia sudah masuk, ia terpana dan terdiam dengan keindahan dari semua buku yang tertata sangat rapi di atas rak, walau banyak sekali debu dan sarang laba-laba yang hinggap di ruangan tersebut, tidak menghilangkan keindahan tempat tersebut dan tak menyurutkan semangat Harto untuk menyusuri buku-buku di ruangan itu yang ternyata banyak judul-judul yang sangat menarik dan belum pernah Harto baca.

Saat tengah asiknya berjalan-jalan menyusuri ruangan sambil mencari asal cahaya yang dia lihat dari luar ruangan tersebut tadi, tiba-tiba ia menemukan dan melihat ada yang bersinar dari balik rak nomor 2, karena Harto sangat penasaran ia memberanikan diri untuk melangkah ke arah sumber cahaya tersebut. Sesampainya disana ia terkejut karena dalam rak yang hanya terdapat 1 buku dan sangat bersinar dengan indahnya sampai menyilaukan mata milik Harto, kemudian ia menghampirinya dan mengambil buku tersebut. Dibukanya buku itu dan ternyata buku yang bersinar itu ialah buku sejarah Indonesia tahun 1850 yang berjudul “Tanam Paksa”. Harto memang sangat suka sekali membaca buku sejarah, tetapi buku yang ia baca lebih banyak bertemakan sejarah yang ada diluar negeri dan tidak pernah membaca buku sejarah tentang sejarah Indonesia, ia beranggapan bahwa sejarah di indonesia itu tidak seru, dan tidak ada unsur menarik-menariknya sama sekali. Tetapi ketika melihat pertama kali dan membaca judul buku ini, Harto merasa tertarik karena logat-logat tulisannya sangat otentik seperti zaman dulu dan menurutnya isi dari buku ini sangat memberikan kesan yang berbeda serta memberikan makna serta kisah yang menarik. Halaman demi halaman Harto baca dengan cermat dan teliti, ia sangat tertarik sampai-sampai tidak mau melewatkan satu halaman sekalipun. Harto yang membaca cerita dibuku tersebut dibuat takjub sampai-sampai tidak percaya apakah benar kejadian tersebut terjadi, karena menurutnya itu sangat sadis dan tanam paksa itu terjadi di Indonesia, yang merupakan tempat kelahirannya sendiri.

“Apakah benar ini terjadi dinegaraku? Tidak mungkin, kenapa orang-orang luar negeri kejam sekali kepada rakyat Indonesia ya, apa salah mereka sampai mereka mendapatkan perlakuan keji seperti itu?”, Ucap Harto geram.

Harto berfikir bahwa tidak mungkin pada zaman dahulu terdapat penindasan sesadis dan sekejam ini. Ia tidak akan percaya kalau ia tidak melihat sendiri kejadian itu.

“Andai saja, aku bisa melihat langsung kejadian dan kesadisan tanam paksa yang dilakukan kepada rakyat Indonesia, karena aku sama sekali kurang percaya dengan kejadian ini”. Ucap Harto.

Tiba-tiba ketika dia akan mengganti halaman selanjutnya ia terkejut karena halaman sebaliknya kosong dan tidak ada lanjutan cerita dari halaman sebelumnya. Harto bingung dan mengatakan bahwa kenapa halaman dibuku itu kosong padahal buku itu masih tebal. Ketika membuka halaman berikutnya, Harto terkejut karena muncul tulisan otentik jaman dulu seperti pada halaman sebelum-sebelumnya tetapi bukan berisi tentang lanjutan cerita, tetapi bertulisakan,

"Apakah kamu penasaran apa yang terjadi dimasa lalu saat bangsamu mengalami penindasan?"

"Jika kamu penasaran, aku akan memberitahumu."

"Maukah kamu melihatnya?"

Tulisan yang muncul tersebut membuatnya terdiam, takut dan ingin pergi meninggalkan buku dan ruangan itu. Tetap tak lama berselang, ia mendengar suara langkah kaki penjaga perpustakaan yang akan masuk ke dalam ruangan. Ia tersadar bahwa ia lupa menutup pintunya. Karena takut ketahuan ia kemudian spontan berkata ke buku tersebut.

"Ya, aku mau", dan tiba-tiba tubuhnya melebur dan tersedot masuk kedalam buku.

Setelah masuk kedalam buku tersebut, harto kemudian muncul ke sebuah ruangan di dalam gedung pemerintahan jaman dulu. Ia melihat area disekitarnya dan ia terkejut saat melihat kalender yang bertanggalkan 18 Juni 1856, merasa bingung, ia kemudian bertanya kepada seseorang berwajah Eropa yang tengah duduk sambil menulis dimejanya dengan berbusana bangsawan, layaknya orang penting.

"Hai, maaf permisi, apa kau tau ini dimana dan tahun kapan ini?".

Namun orang tersebut hanya diam saja dan tidak menatapnya. Harto pun sampai melambai-lambaikan tangannya dan orang tersebut masih tidak merespon, seakan-akan orang tersebut tidak mendengar dan melihat harto. Orang tersebut kemudian berdiri dan berjalan sambil memegang catatan. Saat menuju pintu, harto berusaha menyentuhnya, namun tangannya menembus tubuh orang tersebut. Harto tersadar bahwa dirinya adalah sebuah hologram tembus pandang yang dimana orang-orang tak bisa melihat dan mendengarnya. Harto pun mengikuti orang tersebut. Ditengah lorong gedung, muncul seorang berwajah Eropa lainnya yang memakai pakaian militer bak perwira menyapa bangsawan tersebut.

"Goedemiddag meneer generaal Van Den Bosch".

Mendengar nama yang perwira sebutkan tersebut, Harto terkejut setengah mati karena ia menyadari bahwa bangsawan tersebut ialah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Van Den Bosch. Gubernur Jenderal tersebutlah yang memulai sistem tanam paksa di Indonesia seperti yang dibaca Harto dalam buku tadi.

"Ternyata aku datang dimasa Van Den Bosch memerintah dan melakukan Sistem Tanam Paksa di Negaraku, itu berarti ini sekitar tahun 1830an, astaga jauh sekali dari masaku." Ucap Harto setengah kaget.

“Oh ternyata ini wajah dari sosok pemulai kejadian tanam paksa, perasaan ngga ada seram-seramnya dah ni orang, kok di buku tadi diceritain sosok Van Den Bosch itu kejam, ga punya hati ya, padahal tadi saat disapa dia ramah dah.”

“Au ah, ga bener ni emang buku satu ini, tapi aku masih penasaran bagaimana ya kelanjutan permasalahan yang ada dikisah ini dan apa benar yang dijelaskan di buku itu benar terjadi di masa lampau, atau cuman khayalan penciptanya saja?” Ucap Harto dalam hati.

Harto kembali melanjutkan perjalanan nya untuk mencari jalan keluar dari dunia antah barantah itu, tetapi saat di tengah perjalanan ia mendengar suara teriakan lantang dari suatu ruangan, tanpa pikir panjang ia langsung menghampiri sumber arah teriakan tersebut. Sesampainya di ruangan ia terkejut atas apa yang ia lihat, Harto melihat ada sebuah perempuan paruh baya mengenakan pakaian kebaya hitam coklat nuansa khas rakyat pribumi yang penuh dengan gumpalan tanah di semua bagian pakaiannya dan baunya masam yang disebabkan oleh air keringat yang bercucuran di sekujur badan perempuan itu. Perempuan yang sangat lemah dan tidak berdaya tersebut terlihat dicaci maki oleh Van Den Bosch dan para anggotanya, hal itu dilakukan karena Perempuan paru baya itu tidak mau menjual hasil panen dan lahannya untuk dijual kepada Van Den Bosch. Ia tetap kukuh dengan pendiriannya, alhasil perempuan tersebut semakin disiksa sampai menangis.

Perempuan itu menyela dan mengatakan kepada Van Den Bosch untuk berhenti menyiksanya dan dia akan bersedia memberikan lahannya, akan tetapi dengan beberapa syarat. Mendengar hal itu Van Bosch malah tertawa dan malah mengatakan bahwa tidak ada syarat yang harus kalian sebagai pribumi inginkan kepada kami, kami hanya ingin lahan kalian dan kalian sebagai pekerja kami. Kemudian perempuan itu disiksa kembali dan penyiksaanya semakin kejam. Karena semakin merintih kesakitan dan menangis, perempuan itu akhirnya bersedia untuk menjual lahannya kepada Van Den Bosch. Akhirnya Van Den Bosch menyuruh perempuan itu untuk memberikan surat lahan dan menyuruhnya keluar dari ruangannya serta mengatakan,

Kamu itu terlalu lama mengatakan iya, kalau kau segera mengatakan setuju aku tak akan menyiksamu seperti ini. Membuang tenaga dan waktuku saja!!”.”

Harto yang melihat kejadian itu merasa miris dan marah,

“Kenapa semua ini bisa terjadi, kenapa Van Den Bosch yang diawal aku kira baik ternyata memiliki sifat yang keji dan suka menindas rakyat kecil terutama rakyat pribumi di Indonesia. Mereka memanfaatkan rakyat Indonesia karena memiliki kekayaan yang sangat melimpah, sungguh tidak adil!! Kok ada ya orang seperti dia ini.”

Karena penasaran dengan apa yang ia lihat ini seperti di bukunya, ia mengikuti perempuan paruh baya itu untuk membuktikan apakah kisah yang ada di buku itu benar-benar terjadi, ia mengikuti arah demi arah yang dilewati oleh perempuan itu, Sembari berjalan dan mengikuti perempuan tersebut, Harto berbicara sendiri dengan dirinya,

“Ternyata apa yang diceritakan dibukumemang benar adanya, aku semakin penasaran apakah apa yang ada dibuku selanjutnya sama dengan yang ada disini. Aku juga penasaran dengan halaman yang kosong tadi. Kira-kira apa ya?”

Tak lama ia berjalan mengikuti sang perempuan tersebut, akhirnya ia sampai di sebuah gubuk kecil berdindingkan kayu pring, pencahayaan yang masih pakai obor dan lilin. Setelah masuk kedalam rumah perempuan itu bertemu dengan keluarganya, yang ternyata hanya tinggal dengan anak dan cucunya. Melihat orang tuanya merintih kesakitan dan menangis, sang anak menanyakan kepadanya,

“Ibu kenapa menangis? Ada apa bu? Apakah ada masalah diladang? Sang anak bertanya pada perempuan yang merupakan ibunya itu.

“Tidak nak, hanya saja ibu ada kabar menyedihkan untuk kita. Tadi ibu dihadang oleh pasukan Van Den Bosch dan dibawa ke kantornya. Ibu dipaksa untuk menjual lahan kita dan hasilnya diberikan kepada Van Den Bosch.”

“Kemudian, apakah ibu menerimanya?”

“Sebenarnya ibu menolak, tetapi ibu malah semakin disiksa olehnya. Jadi ibu terpaksa mengiyakan dan menjual lahan kita kepada mereka. Maafkan ibu!”, perempuan itu menjelaskan kepada anaknya sambil menangis.

Melihat hal itu, Harto merasa iba karena ibu dan anaknya menangis dan pasrah akan apa yang sudah mereka alami hari itu. Tak lama kemudian, terdengar sebuah pengumuman kepada warga pribumi mengenai sistem baru tanam paksa yang akan oleh dilakukan Van Den Bosch di Indonesia yang mana wajib untuk rakyat pribumi Indonesia patuhi dan laksanakan. Dalam pidatonya, Van Den Bosch mengatakan bahwa petani harus menyediakan 20% luas tanah miliknya untuk digunakan dalam tanam paksa, tak hanya itu ia juga mengatakan bahwa apabila hasil panen menghasilkan kurang dari ketetapan semula, itu adalah tanggung jawab pemerintah belanda dan apabila terdapat hasil sisa panen atau kelebihan dari ketetapan yang diberikan, akan dikembalikan ke petani dan belanda tidak ikut campur.

Mendengar pidato yang dibicarakan oleh Van Den Bosch, para petani bingung harus senang atau sedih. Senang karena hasil panen mereka bisa diperjualkan oleh orang luar, tetapi mereka sedih dengan harga yang diberikan dan mereka juga disuruh bekerja dengan paksa kepada orang luar ditanah milik mereka sendiri. Setelah itu Van Den Bosch menyuruh mereka untuk mengambil seluruh sertifikat lahan guna tanda bukti bahwa sudah menyerahkan lahannya kepada pihak Belanda dan kembali ke lahan mereka untuk megosongkan lahan dengan cara mengambil seluruh hasil panen yang mana harus dijual kepada kolonial Belanda, setelah itu mereka harus segera bekerja menanami tanaman yang sudah ditentukan yaitu kopi, jahe, tebu dilahan mereka karena setelah 3 bulan tanaman itu semua harus sudah disetorkan kepada pihak Belanda. Bagi warga yang tidak memiliki lahan, Van Den Bosch menyuruh mereka untuk menjadi tukang pengangkut barang hasil panen dan membantu menjadi buruh tanam dilahan tersebut.

Dalam hal ini, Harto masih setia mengikuti dan mengamati kisah dari cerita ini dan menyambungkan dengan buku yang dia baca yang ternyata masih sama. Ketika perjalanan akan pulang dari pertemuan tadi, ada beberapa rakyat pribumi yang saling tidak terima dan merasa kesal dengan cara yang dilakukan Van Den Bosch, ternyata apa yang diucapkan warga pribumi tersebut terdengar oleh pasukan Belanda dan orang pribumi tersebut langsung diseret dan dibawa menghadap pimpinan dan kemudian disiksa.

Harto yang melihat kejadian tersebut merasa tidak terima dan ingin melawan pasukan Belanda dengan kemampun bela diri yang ia punya, tetapi ia sadar bahwa ia hanya hologram yang tidak bisa leluasa melakukan aktivitas yang ingin ia lakukan. Harto kembali melanjutkan perjalannya mengikuti perempuan paruh baya itu, perempuan tadi pulang ke gubuk tuanya untuk mengambil sertifikat tanah, ia melanjutkan perjalananya ke sebuah lahan pertanian yang tidak seberapa, ia melihat perempuan paruh baya itu sedang memanen hasil pertaniannya yang akan disetorkan ke para kompeni Belanda, perempuan itu bekerja dibawah terik panas matahari tanpa ada bantuan sedikitpun, naasnya saat ia memotong tebu dengan sebuah celurit yang sudah ia asah sebelumnya, tangannya tergores lebar karena menyabit arit terlalu kencang sehingga malah mengenai tangannya. Melihat kejadian mengenaskan itu, Harto reflek langsung ingin membantu sang perempuan itu, tetapi ketika ingin memberikan air dan kain untuk mengobati luka sang perempuan, dia tersadar kembali kalau dia hanya seorang hologram, dan itu membuatnya sangat kesal dan kecewa pada dirinya sendiri.

Setelah itu, perempuan paruh baya tersebut membawa hasil panennya ke kantor Van Den Bosch dengan tangan terbalut kain yang dia temukan tadi. Sesampainya disana, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi sang ibu, hasil panen yang diberikan kepada Belanda tenyata dirampas semua dan tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya yang mana apabila hasil panen kelebihan dari ketetapan awal maka diberikan kembali kepada rakyat Indonesia. Perempuan itu tidak terima dan marah kepada Van Den Bosch dan mengatakan apa yang dikatakannya itu hanya bualan atau kebohongan. Tidak terima dikatakan seperti itu, Van Den Bosch kemudian menyuruh anggotanya untuk menyiksa perempuan tu karena sudah berani melawannya, akhirnya perempuan itu tak berdaya dicambuki oleh para kompeni Belanda, sampai-sampai menimbulkan luka di sekujur badannya.

Saat perjalanan pulang, mata Harto ternodai dengan semua kejadian yang ia lihat, banyak sekali kaum pribumi yang dicambuki, ditendang, bahkan ada juga yang diludahi, semua itu bukan tiada sebab, mereka lelet dan lambat dalam melaksanakan perintah dari para kompeni, tak hanya itu ada beberapa petani yang dicambuk karena hasil panen nya kurang dari ketetapan awal, petani tersebut tidak terima di cambuki gara-gara sesuatu hal yang sepele itu.

 

12 MARET 1857

Hari demi hari sudah dilewati Harto, tak terasa ia sudah berada di dunia antah-barantah itu selama 21 bulan, setiap hari ia hanya melihat perempuan paruh baya itu, dan para petani yang lain hanya disiksa sepanjang waktu, menanam disiksa menanam disiksa dan menanam disiksa, itulah keseharian para pribumi selama kompeni mulai datang. Bulan kelipatan 3 (Bulan ke-21), tandanya waktu panen, semua petani bergegas menuju kantor milik Van Den Bosch guna menyetorkan hasil panennya, mereka beranggapan bahwa ada kebijakan baru bahwa ada upah untuk para petani walaupun cuma 10 perak, mereka menginginkan sekali diberikan upah karena kerja kerasnya, sebab mereka belum menerima upah sepeserpun dari hasil lahannya itu.

Semua petani pun sudah sampai di gedung milik Van Den Bosch, satu persatu petani dipanggil oleh para kompeni guna menimbang hasil taninya, Harto yang setia mengikuti perempuan paruh baya itu melihat semua hal yang dilakukan kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia, satu persatu rakyat pribumi dipanggil dan mengantri untuk memberikan hasil panen mereka. Pada saat itu, seorang pemuda mendapat giliran untuk menyetorkan hasil panennya, namun yang terjadi adalah Van Den Bosch tidak merasa senang karena yang disetorkan tidak sesuai dengan kesepakatan, akhirnya dia dibawa oleh pasukan belanda keluar dan menyiksanya hingga puas. Antrian berikutnya adalah seorang bapak-bapak tua yang sedikit sekali membawa hasil panennya dan otomatis langsung mendapat siksa kejam dari pasukan Van Den Bosch. Kini giliran ibu tua yang menyetorkan panennya kepada mereka, dan bersyukurnya ibu itu tidak mendapat siksaan dan dipersilahkan pergi, sebelum ibu itu pergi, ia mau berbicara tentang pemberian upah, tetapi baru mau ngomong, ia sudah disuruh pergi oleh anak buah Van Den Bosch, tak mau disiksa seperti petani yang lin, ibu itu menuruti apa yang dikatakan oleh kolonial Belanda itu. Harto yang melihat kejadian itu merasa terheran-heran, ia bergumam dalam hati, lah kok dia dibebaskan, gimana caranya. Harto yang penasaran akan ibu itu, ia mengikutinya dan sampai di rumah kecil berdindingkan rotan.

Ibu itu pulang kerumah, ternyata tanpa diketahui oleh pihak belanda hasil panennya tahun ini melimpah dan ia menyisakan panennya untuk dibawa pulang untuk bisa dimakan bersama keluarga dan dijual, untuk sisanya dia setorkan tadi kepada pihak belanda yang mana sebelumnya sudah dia takar sesuai perjanjian. Ketika ibu itu hendak pergi kepasar dan menjual sedikit hasil panennya, tidak sengaja pasukan belanda lewat dan melihat ibu itu. Pasukan belanda merasa curiga, kenapa ibu itu pergi ke pasar padahal ia sudah menyetorkan semua hasil panennya kepada belanda. Tak berselang lama, ternyata ibu itu menjual hasil panennya kepada orang lain tanpa sepengetahuan Van Den Bosch, pasukan belanda yang melihat itu langsung bergegas mendatangi Van Den Bosch dan melaporkan hal itu. Mendengarkan informasi itu, Van Den Bosch murka dan mendatangi ibu itu.

Didobraklah rumah pintu ibu itu dan tak lama Van Den Bosch menyuruh pasukannya untuk menyiksa sadis ibu tua itu didepan anak cucunya, dan karena sudah tidak kuat menahan rasa sakit akhirnya ibu itu meninggal. Melihat kejadian itu Harto perasaannya tercampur aduk, dia marah, kesal, dan merasa bersalah karena tidak bisa membantu ibu tua dan keluarganya itu.

Harto kemudian kembali ke kantor belanda mengharap masih ada rakyat pribumi yang berada disana, namun ternyata mereka sudah tidak ada. Ketika Harto akan pergi, ia melihat seorang rakyat pribumi yang berpakaian rapi masuk kedalam gedung Belanda milik Van Den Bosch, Harto mengikut pemuda itu dan akhirnya ia terhenti di sebuah ruangan

“Lah, itu kan ruangan nya Van den bosch yang laknat itu, untuk apa pribumi masuk ke ruangan Van Den Bosch?”.

Kemudian, Harto melihat dan mendengar percakapan antara pemuda pribumi itu dan Van Den Bosch yang sedang mengobrol serta pemuda itu diberikan secarik amplop tebal yang mana membuat Harto terkejut terheran-heran.

“Wah Selamat pagi Mr. Gubernur Indonesia, kau datang tepat waktu. Ini upah untuk para petani bulan ini, tolong berikan pada mereka. Dan ini ada sedikit tambahan komisi untukmu seperti biasa. Kerjamu sangat epic dalam mempengaruhi rakyatmu untuk menjual lahan dan hasil panennya kepadaku” ucap Van Den Bosch.

“Terima kasih Tuan.” Kata pemuda itu dengan senyuman

“Loh, ternyata itu Gubernur Indonesia, kenapa ia dikasih secarik amplop berisi uang? Sedangkan para petani yang lain tidak dikasih apa-apa oleh para kolonial Belanda.” Heran Harto atas semua yang ia lihat.

“Wah seperti biasa, Van Den Bosch memang benar-benar baik. Dan seperti biasa akan ku simpan uang ini dan tidak aku berikan kepada rakyat”. Lagak ketawa Gubernur tersebut.

Mendengar itu, Harto sangat marah dan mengatakan, “Jadi…. Selama ini?? Kejam sekali orang itu kepada rakyatnya. Padahal rakyatnya sudah mati-matian bertahan hidup, tetapi gubernur itu malah memanfaatkan keadaan mereka. Sungguh kejam!!”.

Harto ingin sekali melaporkan kejadian tersebut agar rakyat bisa bertindak dan tidak senngsara lagi, tetapi dia sangat menyadari bahwa dia tidak bisa melakukannya.

 

17 APRIL 1858

Suara tangis perempuan itu terdengar sampai luar, Harto yang mendengar suara tangisan itu langsung masuk melihat ke dalam, Harto terkejut ternyata anak dari perempuan paruh baya itu yang menangis, ia menangis karena kelaparan tidak makan 1 bulan, keluarga perempuan paruh baya itu memang jarang makan sekarang, mereka tidak mendapatkan upah sepeserpun dari hasil kerja mereka. Tak lama kemudian, suara tangis itu pecah, anak yang menangis itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya akibat kelaparan. Harto yang melihat kejadian itu merasa ingin memberitahu keluarga tersebut bahwa selama ini upah yang seharusnya diberikan ke rakyat pribumi malah di korupsi oleh gubernurnya sendiri.

Kasus penilapan uang upah petani oleh gubernur itu belum diketahui oleh para petani sampai sekarang, banyak para petani, dan keluarganya yang kelaparan akibat ulah gubernur dan kolonial Belanda itu, banyak rakyat yang terdampak wabah penyakit, mereka tidak memiliki uang sepeserpun buat berobat di klinik milik kolonial Belanda.

 

19 DESEMBER 1860

Gubuk tua, saksi dimana Harto meratapi nasib selama 4 tahun 3 bulan menjalani hidup di abad-18, Harto setiap hari dibikin pusing gimana caranya keluar dari dunia ini, dan mengingat-ingat kalimat per kalimat yang ada di buku ajaib itu, barangkali ada kalimat yang dapat membantunya keluar dari sini. Disah yang sudah ia baca, ia tidak menemukan kalima apapun yang menunjukkan clue untuk keluar dari sini.

Tak sampai di situ, Harto malah dibuat penasaran dengan kelanjutan kisah ini, yang dia fikirkan dan ingat ternyata dihalaman akhir sebelum kosong, terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa akan datang seseorang tokoh yang akan mengembalikan keadaan Indonesia menjadi normal kembali, ia berfikir sejenak

“Apa halaman kosong itu ada sangkut pautnya dengan tokoh itu ya? Atau beda kisah lagi? Hmmmm…. Jadi penasaran dah.”

Ketika ia berjalan sambil merenungi isi buku selanjutnya, ia tak sengaja bertemu dengan seseorang yang memiliki paras menawan khas orang Belanda dan berpakaian sangat rapi sedang menaiki kereta kuda, tetapi Harto acuh terhadap orang itu karena ia tidak mengenali siapa orang itu, ternyata pemuda gagah tersebut turun di belakang Harto berdiri, Harto spontan menoleh kebelakang dan mengikuti pemuda itu karena penasaran apa yang ia lakukan.

“Pemuda Belanda baru, pasti ia mau menyiksa rakyat pribumi lagi, dasar biadab!! Kerjaannya cuman menindas.” Gumam Harto dalam hati.

Harto membututi kemana perginya pemuda itu, dan pada akhirnya perjalanannya terhenti di sebuah gedung tua, Harto kaget atas apa yang pemuda itu lakukan. Ia melihat banyak sekali rakyat pribumi yang menunggu keberadaan pemuda itu.

“Loh, loh. Dia kan salah satu kompeni Belanda, lah kok rakyat indonesia malah senang ya melihat keberadannya, kok nggak kabur ya, lah apakah aku ini mimpi?”

“Woi, kabur woi, dia orang Belanda. Dia akan menyiksa kalian satu persatu, please… dengarkan aku!!!”

Harto terkejut dengan apa yang dia lihat, ia berusaha berbicara dan mengajak warga untuk keluar tetapi semua perbuatan yang ia lakukan itu semua sia-sia dan tidak membuahkan hasil apa-apa, ia ditambah kaget setelah mengetahui maksut dan tujuan pemuda itu, ternyata pemuda itu menyampaikan pidato yang berisi tentang keberatannya terhadap sistem tanam paksa yang dilakukan di Indonesia, ia prihatin kepada rakyat Indonesia yang sudah sengsara akibat ulah kompeni Belanda, pemuda itu mengajak rakyat Indonesia untuk bersatu mengusir Van Den Bosch dan bawahannya dari Indonesia.

“Ternyata spekulasiku tentang pemuda Belanda itu salah, tak semua orang Belanda itu hitam hatinya seperti Van Den Bosch sialan itu, syukurlah ada yang membantu rakyat pribumi ini, jika tidak ada tokoh yang membela aku tidak habis pikir gimana nasib negeri tercintaku ini.” Ucap Harto dalam hati.

Setelah mendengar pidato yang disampaikan pemuda itu, Harto penasaran dengan keseharian pemuda itu, alhasil ia mengikuti kemana pemuda itu pergi lagi. Dengan menaiki kuda putih, pemuda itu terlihat gagah dari kejauhan, akhirnya pemuda itu berhenti di sebuah jalan, alangkah terkejutnya ternyata pemuda itu menempelkan secarik kertas yang bertuliskan "Goh, Hollandse klootzakken. Verstoor het leven van de inheemse bevolking niet." Yang artinya “Pergilah kau, para bajingan Belanda. Jangan kau ganggu kehidupan para rakyat pribumi”. Harto yang melihat tulisan yang ditempel pemuda itu merasa kaget setengah mati.

“Wow, dia rela menjelek-jelekan ras nya sendiri dihadapan rakyat jajahannya demi melihat kebahagiaan. Sungguh mulia apa yang dilakukannya ini.” Kagum Harto.

Ia mengikuti setiap kegiatan yang pemuda itu lakukan, mulai dari pidato di berbagai tempat dan menempelkan sindiran kepada kompeni Belanda. Hari menjelang malam, Harto masih saja mengikuti pemuda itu, ia melihat pemuda itu menulis di sebuah buku antik. Ia penasaran dengan apa yang ditulisnya,

“Sepertinya dia sedang membuat karya, mending aku ke sana aja dah dari pada menduga-duga yang belum tentu benar juga.” Gumam Harto sambil berjalan menuju meja belajar milik sang pemuda.

“Kan, benar, dia sedang menulis sebuah karya, judulnya apa ya?” Ucap Harto sambil menutup buku itu.

“Max Havelaar” judul yang bagus, kira-kira ia menulis tentang apa ya?”

Setelah Harto melihat judul buku itu, ia membaca sedikit-sedikit isi cerita buku yang berjudul “Max Havelar itu.

“Dibalik keuntungan yang didapat Belanda ada penderitaan yang harus ditimpa Jutaan rakyat asli Indonesia, mereka tertindas oleh bangsa kita, bahkan para petani di Indonesia banyak yang sakit, sehingga timbul kematian di berbagai daerah, bukankah itu hal yang memalukan? Pikirkan jika kejadian itu menimpa kalian dan sanak keluarga kalian!!! Sangat tidak berperikemanusiaan!!!”, arti secuil kata yang dapat Harto pahami dari buku yang berbahasa Belanda itu, ia langsung sadar bahwa buku yang ia baca itu ialah buku tentang sistem tanam paksa yang sedang berlangsung di negerinya. Selagi masih ada kesempatan, Harto langsung mencari nama dari seorang pemuda yang ia buntuti itu, dan ternyata ia bernama “Douwes Dekker”. Tak hanya itu, Harto juga melihat-lihat isi kertas dan buku yang berada di meja belajar, dan ia menemukan surat yang berisikan tentang aduan Douwes Dekker mengenai sistem tanam paksa yang sudah menyeleweng dari ketentuan awal, mulai dari lahan tanam, upah, dan sisa tanam paksa yang berbeda jauh dari sistem awal yang sudah direncanakan oleh pemerintah Belanda, surat ini akan dikirim ke pemerintah Belanda agar mereka semua tahu bahwa sistem tanam paksa ini mengakibatkan banyak rakyat yang menderita, selain surat, buku yang berjudul “Max Havelaar” itu akan di dipasarkan ke khalayak ramai di Belanda guna menyadarkan para masyarakat Belanda bahwa perbuatan ini merupakan perbuatan yang sangat salah.

Sebelumnya pada hari selasa tanggal 27 April 1860, dimana saat itu awal penderitaan rakyat Indonesia mulai berkurang, banyak tokoh yang mulai berdatangan untuk membela Indonesia keluar dari kesengsaraan dari tanam paksa ini yaitu Baron Van Hoevel, Fransen Van De Putte dan masih banyak lagi, mereka bekerja sama dengan Douwes Dekker seperti nama yang Harto baca tadi, mereka mampu dan berhasil merubah kehidupan rakyat Indonesia secara drastis. Setelah melihat semua surat, buku, dan perlakuan yang diberikan Douwes Dekker satu persatu kepada rakyat Pribumi, ia menjadi terkesima atas semua yang dilakukan oleh si Douwes Dekker, Harto tiba-tiba mengidolakan sosok Douwes Dekker karena sikap dan kepribadiannya tersebut.

Melihat hal tersebut, Harto merasa senang dan lega akhirnya penderitaan rakyat Indonesia berakhir. Tak lama kemudian, ketika asyik berjalan. Harto terkejut karena dirinya seperti akan menghilang bak hologram yang kehabisan baterai, ia takut dan mengatakan,

“Apa yang terjadi padaku, kenapa aku memudar seperti akan hilang”, Ucap Harto dengan rasa takut.

“Tuhan, aku masih ingin di dunia ini dan mengetahui kelanjutan apa yang akan terjadi di cerita ini.”

Tak lama ketika ia menutup dan membuka matanya, ia sudah kembali ke perpustakaan itu kembali. Ia kaget saat matanya melihat jam dinding, ia menjumpai waktu masih pukul 14:23, artinya waktu di dunia Harto tidak berubah dan tetap sama, menyadari hal itu ia langsung panik saat melihat pintu terbuka dan jejak penjaga, Harto bersembunyi di bawah meja guna bersembunyi dari sosok penjaga, alangkah jengkelnya Harto ketia melihat penjaga itu cuman menutup pintu dan tidak masuk ke ruangan.

Menyadari hal itu, Harto tidak pikir panjang, ia langsung mencari buku ajaib itu dan membacanya kembali, ia terkejut bak disambar petir, ia kaget dikarenakan ia melihat buku itu sudah terisi dan tidak kosong seperti sebelumnya. Setelah mengetahui halaman itu tidak kosong lagi, Harto tidak sabar melihat cerita selanjutnya, dan firasatnya tentang kelanjutan buku itu benar bahwa halaman itu menceritakan keberanian sosok Edward Douwes Deker dari awal sampai akhir. Diakhir halamannya Harto membaca, benar bahwasannya ketika Douwes Dekker datang ke Indonesia, seketika sistem tanam paksa mampu mulai terhapus, mulai dari tanaman lada dihapus pada 1862, teh dihapus pada 1865, disusul tembakau pada tahun 1866, tebu tahun 1870 dan terakhir kopi dihapus pada 1917, secara resmi sistem tanam paksa dihapus pada tahun 1870 dan diganti dengan sistem ekonomi liberal, dan rakyat Indonesia bisa mendapatkan lahan mereka kembali serta kesengsaraan rakyat Indonesia mulai berkurang.

“Tinggal dua lembar lagi, huh… sangat melelahkan kisah dibuku ini.”

Ketika akan membuka halaman selanjutnya, terkejutlah ia karena halaman itu kosong. Tak lama muncul tulisan,

“Bagaimana, sekarang kamu percaya kan bahwa cerita yang terjadi di negara kita itu benar adanya.”

“Jangan jadikan cerita ini sebagai ingatan mu yang hilang begitu saja, tapi ambil baiknya, dan buang buruknya. Aplikasikan ke dalam kehidupanmu di sekolah, tegakkan kebenaran dan buang kejahtan.”

Saat menutup buku ajaib itu, Harto terkaget dengan penulis buku itu, yang tidak bukan ialah idolanya sendiri Douwes Dekker, saat mengetahui semua itu.

“Jadi, selama ini aku membaca buku dari idolaku sendiri?? Wow, tidak habis pikir lagi!” Ucap Harto terheran-heran

“Tamat. Ternyata cerita di buku dan kisah ini sangat-sangat menyadarkanku, bahwa jaman dahulu rakyat Indonesia diperlakukan tidak adil dan haknya dirampas oleh orang luar, dan juga tidak ada sekalipun orang yang membantu termasuk orang Indonesia yang memiliki pangkat sekalipun.” Gumam Harto

Harto seketika tersadar dan menyadari bahwa selama ini ia sudah berbuat tidak baik kepada dirinya sendiri dan sikap nya ke teman-teman yang rakyat kecil itu salah. Keesokan harinya Harto mulai bersikap berbeda dan kini banyak yang mau berteman baik dengannya, ia pun juga membela teman-teman yang menjadi bahan bully-an disekolah.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.