Children’s Story
Children’s Story
“Grow and Develop in any
environment”
Penulis : Azizah Kafka
Kota S,
SRAGEN 2020
“Aku
berada di ruang gelap, mampu mendegar tak sanggup menatap. Hanya rindu sang
pengepul harap, dalam cerita yang siap mendekap.”.
“Baru
saja aku berbicara pada dunia, dia berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi
aku tidak mudah percaya karena hidupku sia-sia. Aku tidak perduli dengan apapun
dan siapapun kata diriku. Aku sebenarnya peduli dengan apapun dan siapapun kata
diriku.” Beberapa hari lagi masa pengenalan lingkungan sekolah akan diadakan.
Setiap siswa wajib memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan
pemeritah pada era ini. Salah satunya mengikuti serangkaian pemeriksaan
kesehatan rutin yang dapat memastikan bahwa mereka sehat dan bisa beraktivitas
normal seperti biasa. Namun, apabila terdapat siswa yang terjangkit penyakit
atau virus, maka ia harus bersedia dibawa oleh petugas untuk langkah
penyembuhan. Ya, terdengar biasa memang. Tapi, ini belum yang lebih mengerikan
dari yang akan kuceritakan.
Tidak dengan makhluk satu ini, yang
berbeda dengan anak kecil berusia satu tahun yang lalu. Manusia yang tidak
khawatir dengan keadaan di dunia atau tidak mengetahui hal apa yang akan
dilakukan untuk dunia. Manusia era sinting yang disebut dengan postmodernisme yang memahami kepercayaan
menuju kebenaran relatife, paham yang menolak anggapan tentang realitas,
kebenaran, dan pemikiran universalisme pengetahuan yang terus meluas tentang dunia
manusia.
Aku termasuk di antara manusia sinting
itu.
Elok cahaya kuning dari ufuk timur
disertai embun pada daun, kuraih tangan ayah dan ibu untuk mencium punggung
tangannya. Selama mungkin, meski suara dehaman seorang pria yang akan menutup
pintu gerbang sekolah yang terdengar tidak sabar. Barulah ibu mencium kedua
pipi dan dahiku, berkali-kali, seperti memperlakukanku semasa kanak-kanak dulu.
Alih-alih mereka segera berbalik badan, melenggang perlahan ke arah kendaraan.
Dan tinggallah aku masuk di tempat
ramai ini. Tiada seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam kecuali telah
memeriksa suhu badan di alat yang menyebalkan. Di tengah keramaian ini aku sempat
memikirkan sembagi arutala di
senandika. Napasnya mengalun perlahan, teratur, seirama dengan degup
jantungnya. Lalu dalam sekali hentakan, bunyi bel pertama terdengar diikuti
oleh bel lain memberondong yang berasal dari ruang guru.
Tepukan dan sorak-sorai riuh terdengar
di sepanjang lorong kelas yang tengah melontarkan ucapan salam kenal. Mata yang
berbinar-binar serta penuh kegembiraan ketika bertemu “carya” yang berarti
teman. Teman-teman yang saling menghargai, menghormati dan tidak atau belum
terpengaruh omongan orang lain.
Waktu terus berjalan, aku yang belum
terlalu serius dalam pendidikanku hanya
suka bermain dan bermain, entah itu gadget atau dengan orang di sekitar.
Alhasil nilai yang keluar sangatlah standar. Aku tidak tau apa yang harus aku
lakukan sampai-sampai tugas banyak pun aku lalaikan, seperti tidak ada hal
apapun yang menjadi tanggung jawabku. Kini berbaringlah aku di atas hammock. Titik-titik putih berkilau di
langit tertutupi sekelompok daun, meski dapat kulihat beberapa di antara mereka
yang mengintip di balik warna hijau gelap sana. Perlu waktu bagiku beradaptasi,
sehingga aku tak perlu bergelung seperti kucing gendut yang bermalas-malasan di
depan perapian. Aku anak yang beruntung sebab kedua orangtua ku tidak menuntut
nilai ku harus tinggi dan sempurna. Ia selalu menemaniku, membimbingku saat hal
apapun yang terjadi padaku.
“Bagaimana sekolahmu, Za ?” Ibu
bertanya padaku di meja makan ketika kami sedang menikmati makan malam
bersama-sama seperti biasa.
“ Baik Bu, cuma nilaiku tidak sebagus
teman-temanku”
Aku mengamati makananku dengan tatapan
jemu. Sepotong paha ayam di atas piring tipis dengan hiasan berupa kol dan
bayam. Aku menaikkan sebelah alis, mulai membelah paha ayam itu menggunakan
sendok menjadi dua.
Jarum jam pendek di ruang makan
menunjukkan angka delapan tepat. Aku terbiasa hidup dengan jadwal-jadwal
terstruktur. Maka setelah menyelesaikan makan malam, aku memundurkan kursi dan
berpamitan belajar di kamar.
“ Oh Sayang, jangan lupa jadwal tidurmu
diperhatikan,” ucapan ibu menghentikan langkahku.
“Tentu Bu, aku tidak akan tidur terlalut
malam, besok ada pertandingan jeda di sekolah.”
“Bagus.” Ibu tersenyum, lantas berlalu
bersama ayah.
Aku menghabiskan malam itu dengan
belajar seperti biasa untuk menghadapi pelajaran yang akan datang di sekolah.
Menghidupkan komputer, aku mulai membuka-buka buku dan mengerjakan latihan
soal. Jemariku ketak-ketik pada keyboard virtual
di atas meja belajar, menciptakan kelap-kelip. Pandanganku lurus menuju pada
layar transparan berukuran sedang yang memuat lembar kerja. Baru aku mengerjakan
beberapa kalimat.
Mendengar keyboard masih berbunyi, ayah bergegas masuk ke kamarku, ia
menyemangatiku dan menasehati agar tidak terlalu memikirkan terus jika nilai
yang aku dapat tidak tinggi.
“Ayah tidak menuntut nilai harus bagus,
terus kejar apa yang Adek inginkan, ayah dan ibu membantu dibelakangmu.” Ucap
Ayah sambil menepuk bahuku.
“Iyaa Yah, tapi kenapa dahulu Ayah
tidak mengizinkanku melanjutkan pendidikan di SMKN 8 Surakarta setelah aku
lulus SMP? Padahal, sekolah itu sangat mendukung cita-citaku menjadi seniman!”
“Ayah dan ibu mengerti itu cita-citamu
ketika Kamu terjun di dunia tari sejak tahun 2018. Tapi apakah nantinya kamu
tetap menyukai pekerjaannya? yang belum pasti kamu mendpatkan job terus selamanya. Tidak melarang kamu
untuk berekspresi sedemikian rupa, kamu anak tunggal ayah dan ibu, kami harus
memastikan kamu hidup layak dan terjamin, sesuai hak-hak anak.
Mendengar pernyataan ayah, tidak heran
jika orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Memang anak itu sering
berubah-ubah pilihan yang berarti tidak konsisten, bahkan jika ia mendapat
tugas banyak pun dia tetap merasa bosan, sebab tidak melakukan hal yang ia
sukai. Mengangguk-angguk sambil mematikan komputer dan bergegas menarik selimut
di bawahnya.
Cahaya ufuk timur dikombinasikan
senyuman ayah dan ibu yang selalu menyertaiku dimanapun dan kapanpun. Ban motor
besar yang selalu mengantarku pergi sekolah. Derajat celsius di sebuah wadah
yang dilindungi oleh plastik tebal. Seratus lima puluh juta derajat celsius!
Hampir mendekati sepuluh kali panas inti matahari. Mataku melebar diikuti
cebikan bibir Pak Penjaga sekolah.
“Sudah tak perlu heran, memang alat itu
dari awal sudah menyebalkan!!” Aku mengelus dadaku.
“GOLLLL!!!”
Terdengar suara serentak yang mengarah
ke telingaku seakan jiwaku tercengang, sahutan para penonton yang menyaksikan
pertandingan futsal yang diadakan sekolah sebagai jeda setiap semester,
terdengar riuh dan sangat panas ketika team
A merebut bola team B. Aku
berdiri dari tempat dudukku, bertepuk tangan ketika team yang berhasil memasukkan bola ke gawang lawan.
Indra
pendengaranku menangkap suara kresekan
daun kasar, seperti ada yang berjalan menghampiriku. Mataku spontan terbuka
dengan suara hentakan jantung seakan melompat keluar dari rongga dada. Begitu
menoleh ke samping, kutemukan Nagara yang melewatiku. Tatapan yang tajam,
hingga aku tak melihat senyum yang terhalang oleh selembar kain putih untuk
melindunginya dari paparan virus. Dia yang pernah aku jumpai satu tahun
sebelumnya yang merupakan kakak kelasku sewaktu di sekolah dasar. Aku lumayan
mengikutinya, tetapi aku tidak terlalu mengamatinya, aku mengenalnya hanya
sekedar kakak kelas yang mengikuti kejuaran olimpiade waktu SD.
Aku baru saja mengingat, jika rumah tempat
ia tinggal tidak jauh dari rumahku, dan tanpa disadari kita sudah saling
bertukar no telephone sejak kala itu.
Sejak aku mengikuti lomba poster digital jeda. Anyway mempunyai kontaknya tetapi tidak di fungsikan dengan baik,
lantas untuk apa ?.
Tak berselang lama team B dari kelasku, tidak berhasil meraih kejuaraan perlombaan
semi futsal, dibawanya baskom berisi es batu yang akan dikompreskan luka di
area lutut dan siku. Sangat disayangkan mereka sudah berlatih sampai bercucuran
keringat. Apa boleh buat memang semua sudah takdir dan rezeki masing-masing.
Aku hanya menatap teman-temanku yang saling menyemangati dan terus berpikir
positif.
Aku kembali ke meja serta menyilangkan
kakiku. Aku berpikir dan bertanya-tanya, mengapa Kak Sawid, kakak kelasku dulu
dan saat ini, berjalan sangat cepat?. Orang seperti dia apa yang dipikirkan
setiap harinya. Selang waktu aku merasa bosan dengan hidupku yang sangat flat,
tidak ada sensasi tantangan yang membuatku menarik untuk mengikutinya. Dan
tentu saja, takdir yang telah tersusun sedemikian rupa, Kak Sasa memajang
sebuah postingan di social media yang bertuliskan “Open Recruitment Forum Anak
Sukowati Gen 8”. Aku terpukau dan merasa tertarik dengan hal tersebut.
Alis yang perlahan mendekat, mata yang
melotot memandangi unggahan poster itu. Dialiri rasa penasaran yang tiada henti
aku memberanikan diri bertanya Kak Sasa melalui media sosial. Aku anak yang
tidak pernah megikuti organisasi internal di sekolah, aku tidak paham apa itu
Forum Anak dan perannya, walaupun sudah dijabarkan panjang lebar dengannya, aku
tetap tidak paham apa yang dimaksud dengan ucapannya. Kak Pure selaku pengurus
Forum Anak Sukowati juga sudah menjelaskan apa yang dimaksud, tetapi memang aku
nya saja yang tidak paham jika belum melakuka kegiatan yang biasa disebut
Pelopor dan Pelapor.
Aliran air yang setiap aku pegang
terasa sangat hangat dan menyejukkan hatiku, kedua tangan yang menadah jika aku
bingung serta bimbang ketika mengambil sebuah keputusan. Tanpa berlama-lama
lagi, aku bergegas menemui ayah dan
bertanya mengenai poster tersebut. Jawaban di luar dugaan, ternyata ayah
sudah tidak asing dengan kegiatan yang diselenggarakan.
“Coba saja kalau memang Kamu mau,
jangan sia-sia kan kesempatan yang ada.” Ucap ayah sambil memandang poster Open Recruitment.
“Bagaimana jika aku gagal, Yah?”
Danggahku dengan penuh kegelisahan.
“Gagal itu hal normal, takut mencoba
itu hal yang akan membuatmu gagal. Kamu harus teguh dalam pendirianmu. Seperti
tokoh Wayang Yudhistira yang dikenal dengan sebutan Dharmaraja karena tokoh
tersebut selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya. Kamu tidak harus
sempurna tapi kamu harus membawa perubahan yang besar di sini dan di sana
nantinya. Forum Anak sudah lama berkontribusi dalam kegiatan, salah satunya
pemenuhan identitas bagi anak yang belum terdaftar di kantor ayah bekerja,
dimana kegiatan tersebut masuk dalam klaster satu yaitu hak sipil dan
kebebasan.
Suara angin malam meresap di telingaku,
memandangi poster itu, telunjukku bergegas memencet link yang tersedia dan aku menuliskan biodata sesuai persyaratan. Tak
disadari kontak telepon-ku dimasukan ke dalam Grub yang diberi nama “FORASI
2020/2022” dan “FORASI ANGKATAN 8”.
Setelah virus Covid-19 mulai berkurang,
entah mengapa hatiku berdetak begitu kencang. Pada hari Kamis forum anak
mengadakan optimalisasi dan itu job desk
serta dispensasi pertamaku saat menduduki bangku kelas satu sekolah menengah
pertama dan pertama kali juga aku bertemu pengurus Forum Anak, bunda serta Kak
Yuli yang menyampaikan materi “optimalisasi” dari Yayasan Setara.
“Hallo, pasti pengurus Forum Anak
Sukowati, sudah kenal saya.” Sorak Kak yuli sebelum menyampaikan materi.
Tempat duduk bergeseran membentuk
lingkaran, putaran music anak-anak
dimulai, mikrofon mulai diputar dan berhenti setelah music dihentikan. Mic tersebut jatuh di tanganku, setiap
pemegang terakhir mic akan diberi pertanyaan sesuai materi optimalisasi isu-isu
di sekitar kita.
“Sesuai materi kita tadi, apa sih
dampak anak yang sekarang sudah bermain gadget?” Tanya Kak Yuli sambil mengelap
keringatnya dengan slayer batik.
“Banyak anak-anak di bawah umur yang
saat ini sudah menggunakan gadget untuk bermain, dampak dari bermain gadget
adalah dampak fisik dan psikis, dampak fisik anak dapat terjadinya gangguan
mata yang terkena sinar negatif dari gadget. Dampak psikis, anak susah
berkomunikasi kepada orangtua dan masyarakat, lebih fokus ke gadget tidak ke
sosial.” Jawabku dengan tangan yang berkeringat, serta ucapan yang
terbata-bata. Aku tidak menjawab sendiri, tetapi ada Kak Sasa yang membantuku. Kami
telah menyelesaikan materi dan permainan edukasi yang menyenangkan dan menambah
ilmu, sebelum pulang kami di fasilitasi oleh pemerintah uang saku dan makan
siang.
“Zah sini foto bareng.” Ucap kak Sasa
bersama angkatannya di sekolah.”.
Jepretan layar gawai yang mengarah ke
wajah kami dan langit, langit yang dihiasi oleh pelangi dan awan cerah membuat
kita saling mengenal satu sama lain, itu adalah pertama kali wajahku ada di
handphonnya.
Kegiatan Optimalisasi berlangsung
selama dua hari, kami berlima membuat grub Forasi
Spensa, di ruang chat membahas keseruan yang diadakan di Gedung Korpri
Kabupaten Sragen, yang merupakan kantor pemerintahan federal di Sragen, Jawa
Tengah.
“Relasi”
“Ilmu”
“Mental”
“Aspirasi dan partisipasi”
“Anak Sukowati”
Kota S, SRAGEN 2021
Awan cerah terganti oleh bulan yang
tertutupi setengah awan hitam. Aku dan teman-teman diminta untuk rapat Forum Anak yang diselenggarakan pukul
delapan Google Meeting. Menyampaikan
isu-isu yang terjadi dan persiapan penggalangan dana untuk korban bencana di
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat. Penggalangan dana tentunya harus
mempersiapkan poster informasi kepada masyarakat di sosial media.
“Gimana Azizah mau buat posternya?”
ucap Kak Pure terdengar di haeadphone.
“Euummmm,, jadi Kak. Nanti mau aku coba
dulu.” Ucapku takut ketika hasil poster tidak
sesuai ekspetasi teman-teman.
Setelah aku membuat dan telah direvisi
juga dengan teman-teman. Aku mendapat bagian menerima dan menyampaikan saldo
dari anak-anak di Sragen ke teman-teman dan juga bunda. Kami senang jika
anak-anak di Kabupaten Sragen ikut berpartisipasi dalam membantu program galang
dana bersama Forasi. Tidak di media sosial saja, kami juga menggalang di lalu
lintas saat lampu merah. Tenang saja kami tidak mengganggu masyarakat
berkendara.
Tetesan keringat yang bercucuran
terkena angina saat berkendara menuju kediaman yang disetir oleh ayahanda, pada
belokan jalan, terlihat pohon-pohon serta sawah penduduk. Masyarakat di desaku
memiliki produksi batu-bata serta lahan pertanian. Setiap menuju rumah terdapat
anak-anak di bawah usia anak sudah bermain dengan lawan jenisnya, apakah
masyarakat serta keluarga tidak takut jika terjadi kecelakaan?.
“Masa ini, bukanlah masa seperti dulu Zah,
masa yang mengerikan, banyak perkawinan dibawah usia anak, eksploitasi, KBG,
anak yang merokok dan beredarnya hoax.
Kamu generasi muda harus tau serta mengimplementasikan pelopor, mencontohkan
hal-hal yang baik kepada masyarakat dan anak-anak dan pelapor, melaporkan
hal-hal yang kurang mengenang atau melanggar aturan kepada pemerintah agar
segera ditindak lanjuti.”
“YEAHHH.. apakah semua harus dilaporkan
Yah?”
“Waduh, kalau semua dilaporkan hoax yang beredar juga dilaporkan itu
tidak menyelesaikan malah memperuet keadaan, jadi Kamu sudah besar harus tau
mana yang benar dan mana yang salah. Memang sangatlah sulit membenarkan atau
mempersalahkan keadaan atau seseorang, sudut pandang semua orang berbeda-beda,
jadi Kamu harus berhati-hati terhadap semua orang meskipun itu sahabatmu
sendiri.” Ucap ayah sambil menutup pintu
kendaraan.
Kota S, SRAGEN 2022
Terbangun di lorong yang gelap, redup, taka da
cahaya sedikitpun yang menyelip, orang-orang mentapku dengan tatapan
penghindaran. Tidak menyadari suatu hal apa yang terjadi padanya. Bibir yang
tertutup rapat tidak ingin terbuka sekalipun, hati yang berbunga- bunga seakan
telah habis madu yang dihisap. Rasa pahit seakan menjalur kedarah daging serta
sel-sel tubuhnya. Tibalah pemikiran serta hati individualism, menerima sendiri,
bekerja sendiri, menyemangati sendiri.
Aku sudah tak sering mengikuti
rangkaian kegiatan yang dilaksanakan, aku bimbang dan putus asa. Setiap ada
kegiatan aku selalu membatalkan keputusanku. Hanya bermalas-malasan, tidur di
kegelapan, bermain dengan handphone,
jauh dari masyarakat dan sulit untuk merasakan.
Terakhir kali aku berkumpul saat rapat
internal dengan bunda Dan malam keakraban yang dilaksanakan di desaku,
kebetulan aku satu desa dengan salah satu pengurus Forum Anak. Teman-teman
mengajak-ku mendatangi undangan optimalisasi, tetapi aku sering menolaknya
dengan alasan yang tidak logis. Aku hanya mementingkan diriku saja dan tidak
mementingkan Forum Anak kedepannya, lebih tepat aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan, aku hanya sendiri memandangi langit yang dihiasi oleh bintang-bintang
yang menggerombol dan ada satu bintang kelap-kelip menyendiri di samping bulan.
Saat itu aku menduduki bangku sekolah
menengah pertama kelas delapan. Aku menjadi anggota majelis perwakilan kelas
saat itu, namun organisasi tersebut tidak mendapatkan izin dari sekolah,
akibatnya hampir tidak ada kumpul wajib
setiap minggunya.
Mendung seolah menjelma menjadi
sekutuku esok paginya. Langit petang dating, menyembunyikan sinar benderang
matahari, lebih gulita daripada mendung sebelumnya. Dari balik jendela kulihat
gumpalan awan berarak saling mendahului. Namun tiada petir maupun suara gerimis
pertanda hujan turun. Hanya udara dan angina dingin yang menyentuhku melalui
daun jendela kamar yang terkuak. Jika aku tidak pandai mengenali situasi di
sekitarku, sudah dari kemarin aku melarikan diri dengan melompat keluar jendela.
SRAGEN 2023
“Bagaimana sekolahmu, Zah?” Ibu
bertanya padaku di meja makan ketika kami sedang menikmati makan pagi
bersama-sama seperti biasa.
Aku hanya terdiam, menyuap sesendok
nasi ke mulutku.
“Baik, Bu. Biasa saja tidak ada yang
berubah,” jawabku mulai mengunyah suapan pertama.
Ayah berdeham kecil. Diraihnya segelas
air putih di dekatnya tangannya dan memandangku setelah itu. “Tidak ada yang
mengganggumu, kan?”
Aku menggeleng. “Tidak ada, Yah. Aku
baik-baik saja di sekolah, seperti biasa.” Dalam waktu singkat saja aku sudah
menyelesaikan makanku. Entah mengapa aku jadi gugup. Gigiku terbenam pada
permukaan bibir bawah kuat-kuat. Pikiranku melalang-buana, mengembara selama
yang ia bisa, berputar-putar, berkeliling, melompat, tak mau kembali ke batas
kesadaran.
Sungguh tak asing jika
bayangan-bayangan hitam menjauh dariku. Sebelumnya aku tak siap untuk menjalani
semua ini. Aku duduk dalam diam mengamati teman-teman yang mulai asyik
berbincang, seperti tiada aku di dunia ini. Menghela napas panjang hatiku
berkata bahwa “Apakah ada tempat yang bisa mengerti aku selain orangtuaku”
ucapku dengan tatapan kosong. Terdapat suara bisikan aneh yang keluar dari
dalam kaca.
“Nona, suatu saat nanti pasti ada yang
mempertanyakan keanehan Nona. Setiap hal yang berbeda pastilah disingkirkana
dari tempat ini,”
“Jika aku tersingkirkan, Anda akan
membiarkannya?”
Suara dalam kaca itu bergetar. “Saya
tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Nona.”
“Tapi
aku berbeda. Aku tidak seperti ayah dan ibu.”
“Karena Nona sangat special, itulah mengapa Nona berbeda
dengan mereka.”
Ayunan disamping kaca digerakkan oleh
si gadis kecil. Tidak kncang, cukup pelan mengikuti desisan angin yang menerbangkan
rambutnya ke belakang. Iaberhenti lagi, memandang kaca.
“Aku takut”
“Takut apa, Nona?”
“Takut lantaran berbeda.”
“Sudah saya katakan, menjadi berbeda
itu unik. Taka ada yang perlu ditakutkan. Justru, menjadi orang yang normal itu
membosankann. Atau mungkin… Nonalah yang normal sedangkan mereka tidak normal.
Seperti yang Nona katakana tadi.”
“Bukan Kamu yang bermasalah, tetapi
sudut pandang mereka yang memiliki masalah, satu anak bisa menyebabkan timbulnya
rasa tidak suka kepada sekitarnya yang memang satu lingkup pertemanan, circle.”
Aku sengaja membiarkan beberapa orang
berpikir keliru. Aku diam sebenarnya bukan karena takut atau tidak berdaya.
Melainkan hasil dari pengendalian diri.
Aku ingat bagaimana aku dibicarakan,
aku juga memahami dengan baik bagaimana aku diperlakukan.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa
lebih sulit tidak membalas ketimbang membalas. Lebih tangguh tidak goyah
daripada terpancing marah.
Ilmu tenang itu mahal, datangnya dari
badai yang hebat. Tidak semua orang mampu memilikinya.
Banyak anak-anak yang menganggap
dirinya sendiri, broken home, broken heart, dan ada juga istilah Generasi Strawberry yang merujuk pada
generasi muda, terutama anak-anak remaja yang dianggap mudah terpengaruh,
sensitif, serta kurang tangguh menghadapi tekanan dan tantangan. Lingkungan
masyarakat dan pengasuhan orangtua menimbulkan impact yang sangat besar kepada
anaknya. Anak-anak harus lebih responsive mengetahui kondisi era sekarang. Strawberry memanglah indah dan cantik,
tetapi mudah hancur jika diinjak serta mudah busuk.
Aku sudah tidak takut lagi jika akan
kehilangan orang sekitar yang berkedok atas nama teman. Aku yakin aku bisa
melewati hari-hariku dengan istimewa. Sontak aku menoleh ke kaca, melontarkan
pandangan rasa. Mulai melawan rasa kegelisahan, kegundahan hati aku melanjutkan
dan mau mendatangi undangan optimalisasi Forum Anak.
Dia mengajakku kembali lagi ke mari.
Tempat yang membawa kebahagiaan, memberi rasa nyaman dan aman. Dia Forum Anak
tempat yang paling aku dambakan. Dia yang membuatku bangkit kembali dalam
kegelapan.
Alhamdulillah,
bulan kelahiranku untuk berumur enambelas tahun, aku bisa berkesempatan
mengikuti Konferensi Forum Anak Jawa Tengah 20203 yang bertepatan pada bulan
lahirku, dan juga aku dan empat orang teman-temanku Forum Anak dapat
berkesempatan beraudiensi bersama UNICEF
Belanda.
Selamat tinggal di sini untuk
kegelapan, aku mulai disibukkan dengan aktivitasku yang lama telah kembali
dalam versi terbaikku. Bahkan aku mulai menciptakan karya seni lukis baruku,
mulai mengolah nada-nada music di gitar kesayanganku yang pernah aku lupakan.
Terkadang aku datang ke tempat ini (Sekertariatan Forum Anak Sukowati), bergonta-ganti
kesibukan sesuai dengan keinginanku. Keberagaman di tempat ini yang sukses
membawaku lebih betah untuk tinggal.
Ternyata aku cuman tenggelam di lautan
kenangan menyebalkan itu. Aku yang salah, mengambil keputusan untuk tetap
berada di dasar lautan itu. Padahal kalau dari awal aku punya niat untuk
menarik diri kelua, mungkin aku sudah lama sembuh.
Ternyata aku cuma butuh ketemu banyak people dengan berbagai macam karakter
untuk sampai ditahap “oh ternyata yang kemaren ga ada apa-apanya, masih banyak
manusia yang baik, untuk bilang bahwa perlakuan dia selama itu ya basic as human aja.”.
Terus ciptakan lingkungan yang aman
serta nyaman bagi anak-anak, karena itulah yang saat ini yang mereka dan kita
butuhkan. Rangkul satu sama lain agar
terciptanya Kabupaten Layak Anak, yang terbebas dari Bullying, kekerasan
seksual terhadap anak, perkawinan di bawah usia anak, kawasan terbebas rokok.
Semoga
anak-anak di Kabupaten Sragen dan anak-anak diseluruh dunia dapat
berpartisipasi menyampaikan aspirasi serta partisipasi yang berperan sebagai
2p. Pelopor dan Pelapor.
“Sekian bersambunglah cerita. Saya tidak
ingin cerita saya tamat atau selesai, aku menginginkan anak-anak bangsa
merangkul satu sama lain untuk mewujudkan lingkungan yang aman serta nyaman.”
Ketik Azizah Kafka Ayodya dengan laptop yang dilukis menggunakan cat minyak.”
“Steps
to Grow make 2p happen”
Tidak ada komentar: