Children’s Story

Senin, Januari 15, 2024

 Children’s Story

“Grow and Develop in any environment”


Penulis : Azizah Kafka




 Kota S, SRAGEN 2020

         “Aku berada di ruang gelap, mampu mendegar tak sanggup menatap. Hanya rindu sang pengepul harap, dalam cerita yang siap mendekap.”.

         “Baru saja aku berbicara pada dunia, dia berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi aku tidak mudah percaya karena hidupku sia-sia. Aku tidak perduli dengan apapun dan siapapun kata diriku. Aku sebenarnya peduli dengan apapun dan siapapun kata diriku.” Beberapa hari lagi masa pengenalan lingkungan sekolah akan diadakan. Setiap siswa wajib memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan pemeritah pada era ini. Salah satunya mengikuti serangkaian pemeriksaan kesehatan rutin yang dapat memastikan bahwa mereka sehat dan bisa beraktivitas normal seperti biasa. Namun, apabila terdapat siswa yang terjangkit penyakit atau virus, maka ia harus bersedia dibawa oleh petugas untuk langkah penyembuhan. Ya, terdengar biasa memang. Tapi, ini belum yang lebih mengerikan dari yang akan kuceritakan.

        Tidak dengan makhluk satu ini, yang berbeda dengan anak kecil berusia satu tahun yang lalu. Manusia yang tidak khawatir dengan keadaan di dunia atau tidak mengetahui hal apa yang akan dilakukan untuk dunia. Manusia era sinting yang disebut dengan postmodernisme yang memahami kepercayaan menuju kebenaran relatife, paham yang menolak anggapan tentang realitas, kebenaran, dan pemikiran universalisme pengetahuan yang terus meluas tentang dunia manusia.

        Aku termasuk di antara manusia sinting itu.

        Elok cahaya kuning dari ufuk timur disertai embun pada daun, kuraih tangan ayah dan ibu untuk mencium punggung tangannya. Selama mungkin, meski suara dehaman seorang pria yang akan menutup pintu gerbang sekolah yang terdengar tidak sabar. Barulah ibu mencium kedua pipi dan dahiku, berkali-kali, seperti memperlakukanku semasa kanak-kanak dulu. Alih-alih mereka segera berbalik badan, melenggang perlahan ke arah kendaraan.

        Dan tinggallah aku masuk di tempat ramai ini. Tiada seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam kecuali telah memeriksa suhu badan di alat yang menyebalkan. Di tengah keramaian ini aku sempat memikirkan sembagi arutala di senandika. Napasnya mengalun perlahan, teratur, seirama dengan degup jantungnya. Lalu dalam sekali hentakan, bunyi bel pertama terdengar diikuti oleh bel lain memberondong yang berasal dari ruang guru.

        Tepukan dan sorak-sorai riuh terdengar di sepanjang lorong kelas yang tengah melontarkan ucapan salam kenal. Mata yang berbinar-binar serta penuh kegembiraan ketika bertemu “carya” yang berarti teman. Teman-teman yang saling menghargai, menghormati dan tidak atau belum terpengaruh omongan orang lain.

        Waktu terus berjalan, aku yang belum terlalu serius dalam pendidikanku  hanya suka bermain dan bermain, entah itu gadget atau dengan orang di sekitar. Alhasil nilai yang keluar sangatlah standar. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sampai-sampai tugas banyak pun aku lalaikan, seperti tidak ada hal apapun yang menjadi tanggung jawabku. Kini berbaringlah aku di atas hammock. Titik-titik putih berkilau di langit tertutupi sekelompok daun, meski dapat kulihat beberapa di antara mereka yang mengintip di balik warna hijau gelap sana. Perlu waktu bagiku beradaptasi, sehingga aku tak perlu bergelung seperti kucing gendut yang bermalas-malasan di depan perapian. Aku anak yang beruntung sebab kedua orangtua ku tidak menuntut nilai ku harus tinggi dan sempurna. Ia selalu menemaniku, membimbingku saat hal apapun yang terjadi padaku.

        “Bagaimana sekolahmu, Za ?” Ibu bertanya padaku di meja makan ketika kami sedang menikmati makan malam bersama-sama seperti biasa.

        “ Baik Bu, cuma nilaiku tidak sebagus teman-temanku”

        Aku mengamati makananku dengan tatapan jemu. Sepotong paha ayam di atas piring tipis dengan hiasan berupa kol dan bayam. Aku menaikkan sebelah alis, mulai membelah paha ayam itu menggunakan sendok menjadi dua.

        Jarum jam pendek di ruang makan menunjukkan angka delapan tepat. Aku terbiasa hidup dengan jadwal-jadwal terstruktur. Maka setelah menyelesaikan makan malam, aku memundurkan kursi dan berpamitan belajar di kamar.

        “ Oh Sayang, jangan lupa jadwal tidurmu diperhatikan,” ucapan ibu menghentikan langkahku.

        “Tentu Bu, aku tidak akan tidur terlalut malam, besok ada pertandingan jeda di sekolah.”

        “Bagus.” Ibu tersenyum, lantas berlalu bersama ayah.

        Aku menghabiskan malam itu dengan belajar seperti biasa untuk menghadapi pelajaran yang akan datang di sekolah. Menghidupkan komputer, aku mulai membuka-buka buku dan mengerjakan latihan soal. Jemariku ketak-ketik pada keyboard virtual di atas meja belajar, menciptakan kelap-kelip. Pandanganku lurus menuju pada layar transparan berukuran sedang yang memuat lembar kerja. Baru aku mengerjakan beberapa kalimat.

        Mendengar keyboard masih berbunyi, ayah bergegas masuk ke kamarku, ia menyemangatiku dan menasehati agar tidak terlalu memikirkan terus jika nilai yang aku dapat tidak tinggi.

        “Ayah tidak menuntut nilai harus bagus, terus kejar apa yang Adek inginkan, ayah dan ibu membantu dibelakangmu.” Ucap Ayah sambil menepuk bahuku.

        “Iyaa Yah, tapi kenapa dahulu Ayah tidak mengizinkanku melanjutkan pendidikan di SMKN 8 Surakarta setelah aku lulus SMP? Padahal, sekolah itu sangat mendukung cita-citaku menjadi seniman!”

         “Ayah dan ibu mengerti itu cita-citamu ketika Kamu terjun di dunia tari sejak tahun 2018. Tapi apakah nantinya kamu tetap menyukai pekerjaannya? yang belum pasti kamu mendpatkan job terus selamanya. Tidak melarang kamu untuk berekspresi sedemikian rupa, kamu anak tunggal ayah dan ibu, kami harus memastikan kamu hidup layak dan terjamin, sesuai hak-hak anak.

        Mendengar pernyataan ayah, tidak heran jika orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Memang anak itu sering berubah-ubah pilihan yang berarti tidak konsisten, bahkan jika ia mendapat tugas banyak pun dia tetap merasa bosan, sebab tidak melakukan hal yang ia sukai. Mengangguk-angguk sambil mematikan komputer dan bergegas menarik selimut di bawahnya.

        Cahaya ufuk timur dikombinasikan senyuman ayah dan ibu yang selalu menyertaiku dimanapun dan kapanpun. Ban motor besar yang selalu mengantarku pergi sekolah. Derajat celsius di sebuah wadah yang dilindungi oleh plastik tebal. Seratus lima puluh juta derajat celsius! Hampir mendekati sepuluh kali panas inti matahari. Mataku melebar diikuti cebikan bibir Pak Penjaga sekolah.

        “Sudah tak perlu heran, memang alat itu dari awal sudah menyebalkan!!” Aku mengelus dadaku.

        GOLLLL!!!”

        Terdengar suara serentak yang mengarah ke telingaku seakan jiwaku tercengang, sahutan para penonton yang menyaksikan pertandingan futsal yang diadakan sekolah sebagai jeda setiap semester, terdengar riuh dan sangat panas ketika team A merebut bola team B. Aku berdiri dari tempat dudukku, bertepuk tangan ketika team yang berhasil memasukkan bola ke gawang lawan.

         Indra pendengaranku menangkap suara kresekan daun kasar, seperti ada yang berjalan menghampiriku. Mataku spontan terbuka dengan suara hentakan jantung seakan melompat keluar dari rongga dada. Begitu menoleh ke samping, kutemukan Nagara yang melewatiku. Tatapan yang tajam, hingga aku tak melihat senyum yang terhalang oleh selembar kain putih untuk melindunginya dari paparan virus. Dia yang pernah aku jumpai satu tahun sebelumnya yang merupakan kakak kelasku sewaktu di sekolah dasar. Aku lumayan mengikutinya, tetapi aku tidak terlalu mengamatinya, aku mengenalnya hanya sekedar kakak kelas yang mengikuti kejuaran olimpiade waktu SD.

        Aku baru saja mengingat, jika rumah tempat ia tinggal tidak jauh dari rumahku, dan tanpa disadari kita sudah saling bertukar no telephone sejak kala itu. Sejak aku mengikuti lomba poster digital jeda. Anyway mempunyai kontaknya tetapi tidak di fungsikan dengan baik, lantas untuk apa ?.

        Tak berselang lama team B dari kelasku, tidak berhasil meraih kejuaraan perlombaan semi futsal, dibawanya baskom berisi es batu yang akan dikompreskan luka di area lutut dan siku. Sangat disayangkan mereka sudah berlatih sampai bercucuran keringat. Apa boleh buat memang semua sudah takdir dan rezeki masing-masing. Aku hanya menatap teman-temanku yang saling menyemangati dan terus berpikir positif.

        Aku kembali ke meja serta menyilangkan kakiku. Aku berpikir dan bertanya-tanya, mengapa Kak Sawid, kakak kelasku dulu dan saat ini, berjalan sangat cepat?. Orang seperti dia apa yang dipikirkan setiap harinya. Selang waktu aku merasa bosan dengan hidupku yang sangat flat, tidak ada sensasi tantangan yang membuatku menarik untuk mengikutinya. Dan tentu saja, takdir yang telah tersusun sedemikian rupa, Kak Sasa memajang sebuah postingan di social media yang bertuliskan “Open Recruitment Forum Anak Sukowati Gen 8”. Aku terpukau dan merasa tertarik dengan hal tersebut.

        Alis yang perlahan mendekat, mata yang melotot memandangi unggahan poster itu. Dialiri rasa penasaran yang tiada henti aku memberanikan diri bertanya Kak Sasa melalui media sosial. Aku anak yang tidak pernah megikuti organisasi internal di sekolah, aku tidak paham apa itu Forum Anak dan perannya, walaupun sudah dijabarkan panjang lebar dengannya, aku tetap tidak paham apa yang dimaksud dengan ucapannya. Kak Pure selaku pengurus Forum Anak Sukowati juga sudah menjelaskan apa yang dimaksud, tetapi memang aku nya saja yang tidak paham jika belum melakuka kegiatan yang biasa disebut Pelopor dan Pelapor.

        Aliran air yang setiap aku pegang terasa sangat hangat dan menyejukkan hatiku, kedua tangan yang menadah jika aku bingung serta bimbang ketika mengambil sebuah keputusan. Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas menemui ayah dan  bertanya mengenai poster tersebut. Jawaban di luar dugaan, ternyata ayah sudah tidak asing dengan kegiatan yang diselenggarakan.

        “Coba saja kalau memang Kamu mau, jangan sia-sia kan kesempatan yang ada.” Ucap ayah sambil memandang poster Open Recruitment.

        “Bagaimana jika aku gagal, Yah?” Danggahku dengan penuh kegelisahan.

        “Gagal itu hal normal, takut mencoba itu hal yang akan membuatmu gagal. Kamu harus teguh dalam pendirianmu. Seperti tokoh Wayang Yudhistira yang dikenal dengan sebutan Dharmaraja karena tokoh tersebut selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya. Kamu tidak harus sempurna tapi kamu harus membawa perubahan yang besar di sini dan di sana nantinya. Forum Anak sudah lama berkontribusi dalam kegiatan, salah satunya pemenuhan identitas bagi anak yang belum terdaftar di kantor ayah bekerja, dimana kegiatan tersebut masuk dalam klaster satu yaitu hak sipil dan kebebasan.

        Suara angin malam meresap di telingaku, memandangi poster itu, telunjukku bergegas memencet link yang tersedia dan aku menuliskan biodata sesuai persyaratan. Tak disadari kontak telepon-ku dimasukan ke dalam Grub yang diberi nama “FORASI 2020/2022” dan “FORASI ANGKATAN 8”.

        Setelah virus Covid-19 mulai berkurang, entah mengapa hatiku berdetak begitu kencang. Pada hari Kamis forum anak mengadakan optimalisasi dan itu job desk serta dispensasi pertamaku saat menduduki bangku kelas satu sekolah menengah pertama dan pertama kali juga aku bertemu pengurus Forum Anak, bunda serta Kak Yuli yang menyampaikan materi “optimalisasi” dari Yayasan Setara.

        “Hallo, pasti pengurus Forum Anak Sukowati, sudah kenal saya.” Sorak Kak yuli sebelum menyampaikan materi.

        Tempat duduk bergeseran membentuk lingkaran, putaran music anak-anak dimulai, mikrofon mulai diputar dan berhenti setelah music dihentikan. Mic tersebut jatuh di tanganku, setiap pemegang terakhir mic akan diberi pertanyaan sesuai materi optimalisasi isu-isu di sekitar kita.

        “Sesuai materi kita tadi, apa sih dampak anak yang sekarang sudah bermain gadget?” Tanya Kak Yuli sambil mengelap keringatnya dengan slayer batik.

        “Banyak anak-anak di bawah umur yang saat ini sudah menggunakan gadget untuk bermain, dampak dari bermain gadget adalah dampak fisik dan psikis, dampak fisik anak dapat terjadinya gangguan mata yang terkena sinar negatif dari gadget. Dampak psikis, anak susah berkomunikasi kepada orangtua dan masyarakat, lebih fokus ke gadget tidak ke sosial.” Jawabku dengan tangan yang berkeringat, serta ucapan yang terbata-bata. Aku tidak menjawab sendiri, tetapi ada Kak Sasa yang membantuku. Kami telah menyelesaikan materi dan permainan edukasi yang menyenangkan dan menambah ilmu, sebelum pulang kami di fasilitasi oleh pemerintah uang saku dan makan siang.

        “Zah sini foto bareng.” Ucap kak Sasa bersama angkatannya di sekolah.”.

        Jepretan layar gawai yang mengarah ke wajah kami dan langit, langit yang dihiasi oleh pelangi dan awan cerah membuat kita saling mengenal satu sama lain, itu adalah pertama kali wajahku ada di handphonnya.

        Kegiatan Optimalisasi berlangsung selama dua hari, kami berlima membuat grub Forasi Spensa, di ruang chat membahas keseruan yang diadakan di Gedung Korpri Kabupaten Sragen, yang merupakan kantor pemerintahan federal di Sragen, Jawa Tengah.

        “Relasi”

        “Ilmu”

        “Mental”

        “Aspirasi dan partisipasi”

        “Anak Sukowati”

Kota S, SRAGEN 2021

        Awan cerah terganti oleh bulan yang tertutupi setengah awan hitam. Aku dan teman-teman diminta untuk  rapat Forum Anak yang diselenggarakan pukul delapan Google Meeting. Menyampaikan isu-isu yang terjadi dan persiapan penggalangan dana untuk korban bencana di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat. Penggalangan dana tentunya harus mempersiapkan poster informasi kepada masyarakat di sosial media.

        “Gimana Azizah mau buat posternya?” ucap Kak Pure terdengar di haeadphone.

        “Euummmm,, jadi Kak. Nanti mau aku coba dulu.” Ucapku takut ketika hasil  poster tidak sesuai ekspetasi teman-teman.

        Setelah aku membuat dan telah direvisi juga dengan teman-teman. Aku mendapat bagian menerima dan menyampaikan saldo dari anak-anak di Sragen ke teman-teman dan juga bunda. Kami senang jika anak-anak di Kabupaten Sragen ikut berpartisipasi dalam membantu program galang dana bersama Forasi. Tidak di media sosial saja, kami juga menggalang di lalu lintas saat lampu merah. Tenang saja kami tidak mengganggu masyarakat berkendara.

        Tetesan keringat yang bercucuran terkena angina saat berkendara menuju kediaman yang disetir oleh ayahanda, pada belokan jalan, terlihat pohon-pohon serta sawah penduduk. Masyarakat di desaku memiliki produksi batu-bata serta lahan pertanian. Setiap menuju rumah terdapat anak-anak di bawah usia anak sudah bermain dengan lawan jenisnya, apakah masyarakat serta keluarga tidak takut jika terjadi kecelakaan?.

        “Masa ini, bukanlah masa seperti dulu Zah, masa yang mengerikan, banyak perkawinan dibawah usia anak, eksploitasi, KBG, anak yang merokok dan beredarnya hoax. Kamu generasi muda harus tau serta mengimplementasikan pelopor, mencontohkan hal-hal yang baik kepada masyarakat dan anak-anak dan pelapor, melaporkan hal-hal yang kurang mengenang atau melanggar aturan kepada pemerintah agar segera ditindak lanjuti.”

        “YEAHHH.. apakah semua harus dilaporkan Yah?”

        “Waduh, kalau semua dilaporkan hoax yang beredar juga dilaporkan itu tidak menyelesaikan malah memperuet keadaan, jadi Kamu sudah besar harus tau mana yang benar dan mana yang salah. Memang sangatlah sulit membenarkan atau mempersalahkan keadaan atau seseorang, sudut pandang semua orang berbeda-beda, jadi Kamu harus berhati-hati terhadap semua orang meskipun itu sahabatmu sendiri.”  Ucap ayah sambil menutup pintu kendaraan.

 

Kota S, SRAGEN 2022

         Terbangun di lorong yang gelap, redup, taka da cahaya sedikitpun yang menyelip, orang-orang mentapku dengan tatapan penghindaran. Tidak menyadari suatu hal apa yang terjadi padanya. Bibir yang tertutup rapat tidak ingin terbuka sekalipun, hati yang berbunga- bunga seakan telah habis madu yang dihisap. Rasa pahit seakan menjalur kedarah daging serta sel-sel tubuhnya. Tibalah pemikiran serta hati individualism, menerima sendiri, bekerja sendiri, menyemangati sendiri. 

        Aku sudah tak sering mengikuti rangkaian kegiatan yang dilaksanakan, aku bimbang dan putus asa. Setiap ada kegiatan aku selalu membatalkan keputusanku. Hanya bermalas-malasan, tidur di kegelapan, bermain dengan handphone, jauh dari masyarakat dan sulit untuk merasakan.

        Terakhir kali aku berkumpul saat rapat internal dengan bunda Dan malam keakraban yang dilaksanakan di desaku, kebetulan aku satu desa dengan salah satu pengurus Forum Anak. Teman-teman mengajak-ku mendatangi undangan optimalisasi, tetapi aku sering menolaknya dengan alasan yang tidak logis. Aku hanya mementingkan diriku saja dan tidak mementingkan Forum Anak kedepannya, lebih tepat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya sendiri memandangi langit yang dihiasi oleh bintang-bintang yang menggerombol dan ada satu bintang kelap-kelip menyendiri di samping bulan.

        Saat itu aku menduduki bangku sekolah menengah pertama kelas delapan. Aku menjadi anggota majelis perwakilan kelas saat itu, namun organisasi tersebut tidak mendapatkan izin dari sekolah, akibatnya  hampir tidak ada kumpul wajib setiap minggunya.

        Mendung seolah menjelma menjadi sekutuku esok paginya. Langit petang dating, menyembunyikan sinar benderang matahari, lebih gulita daripada mendung sebelumnya. Dari balik jendela kulihat gumpalan awan berarak saling mendahului. Namun tiada petir maupun suara gerimis pertanda hujan turun. Hanya udara dan angina dingin yang menyentuhku melalui daun jendela kamar yang terkuak. Jika aku tidak pandai mengenali situasi di sekitarku, sudah dari kemarin aku melarikan diri dengan melompat keluar jendela.

SRAGEN 2023

        “Bagaimana sekolahmu, Zah?” Ibu bertanya padaku di meja makan ketika kami sedang menikmati makan pagi bersama-sama seperti biasa.

        Aku hanya terdiam, menyuap sesendok nasi ke mulutku.

        “Baik, Bu. Biasa saja tidak ada yang berubah,” jawabku mulai mengunyah suapan pertama.

        Ayah berdeham kecil. Diraihnya segelas air putih di dekatnya tangannya dan memandangku setelah itu. “Tidak ada yang mengganggumu, kan?”

        Aku menggeleng. “Tidak ada, Yah. Aku baik-baik saja di sekolah, seperti biasa.” Dalam waktu singkat saja aku sudah menyelesaikan makanku. Entah mengapa aku jadi gugup. Gigiku terbenam pada permukaan bibir bawah kuat-kuat. Pikiranku melalang-buana, mengembara selama yang ia bisa, berputar-putar, berkeliling, melompat, tak mau kembali ke batas kesadaran.

        Sungguh tak asing jika bayangan-bayangan hitam menjauh dariku. Sebelumnya aku tak siap untuk menjalani semua ini. Aku duduk dalam diam mengamati teman-teman yang mulai asyik berbincang, seperti tiada aku di dunia ini. Menghela napas panjang hatiku berkata bahwa “Apakah ada tempat yang bisa mengerti aku selain orangtuaku” ucapku dengan tatapan kosong. Terdapat suara bisikan aneh yang keluar dari dalam kaca.

        “Nona, suatu saat nanti pasti ada yang mempertanyakan keanehan Nona. Setiap hal yang berbeda pastilah disingkirkana dari tempat ini,”

        “Jika aku tersingkirkan, Anda akan membiarkannya?”

        Suara dalam kaca itu bergetar. “Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Nona.”

        “Tapi aku berbeda. Aku tidak seperti ayah dan ibu.”

        “Karena Nona sangat special, itulah mengapa Nona berbeda dengan mereka.”

        Ayunan disamping kaca digerakkan oleh si gadis kecil. Tidak kncang, cukup pelan mengikuti desisan angin yang menerbangkan rambutnya ke belakang. Iaberhenti lagi, memandang kaca.

        “Aku takut”

        “Takut apa, Nona?”

        “Takut lantaran berbeda.”

        “Sudah saya katakan, menjadi berbeda itu unik. Taka ada yang perlu ditakutkan. Justru, menjadi orang yang normal itu membosankann. Atau mungkin… Nonalah yang normal sedangkan mereka tidak normal. Seperti yang Nona katakana tadi.”

        “Bukan Kamu yang bermasalah, tetapi sudut pandang mereka yang memiliki masalah, satu anak bisa menyebabkan timbulnya rasa tidak suka kepada sekitarnya yang memang satu lingkup pertemanan, circle.”

        Aku sengaja membiarkan beberapa orang berpikir keliru. Aku diam sebenarnya bukan karena takut atau tidak berdaya. Melainkan hasil dari pengendalian diri.

        Aku ingat bagaimana aku dibicarakan, aku juga memahami dengan baik bagaimana aku diperlakukan.

        Namun tidak banyak yang tahu bahwa lebih sulit tidak membalas ketimbang membalas. Lebih tangguh tidak goyah daripada terpancing marah.

        Ilmu tenang itu mahal, datangnya dari badai yang hebat. Tidak semua orang mampu memilikinya.

        Banyak anak-anak yang menganggap dirinya sendiri, broken home, broken heart, dan ada juga istilah Generasi Strawberry yang merujuk pada generasi muda, terutama anak-anak remaja yang dianggap mudah terpengaruh, sensitif, serta kurang tangguh menghadapi tekanan dan tantangan. Lingkungan masyarakat dan pengasuhan orangtua menimbulkan impact yang sangat besar kepada anaknya. Anak-anak harus lebih responsive mengetahui kondisi era sekarang. Strawberry memanglah indah dan cantik, tetapi mudah hancur jika diinjak serta mudah busuk.

        Aku sudah tidak takut lagi jika akan kehilangan orang sekitar yang berkedok atas nama teman. Aku yakin aku bisa melewati hari-hariku dengan istimewa. Sontak aku menoleh ke kaca, melontarkan pandangan rasa. Mulai melawan rasa kegelisahan, kegundahan hati aku melanjutkan dan mau mendatangi undangan optimalisasi Forum Anak.

        Dia mengajakku kembali lagi ke mari. Tempat yang membawa kebahagiaan, memberi rasa nyaman dan aman. Dia Forum Anak tempat yang paling aku dambakan. Dia yang membuatku bangkit kembali dalam kegelapan.

Alhamdulillah, bulan kelahiranku untuk berumur enambelas tahun, aku bisa berkesempatan mengikuti Konferensi Forum Anak Jawa Tengah 20203 yang bertepatan pada bulan lahirku, dan juga aku dan empat orang teman-temanku Forum Anak dapat berkesempatan beraudiensi bersama UNICEF Belanda.

        Selamat tinggal di sini untuk kegelapan, aku mulai disibukkan dengan aktivitasku yang lama telah kembali dalam versi terbaikku. Bahkan aku mulai menciptakan karya seni lukis baruku, mulai mengolah nada-nada music di gitar kesayanganku yang pernah aku lupakan. Terkadang aku datang ke tempat ini (Sekertariatan Forum Anak Sukowati), bergonta-ganti kesibukan sesuai dengan keinginanku. Keberagaman di tempat ini yang sukses membawaku lebih betah untuk tinggal.

        Ternyata aku cuman tenggelam di lautan kenangan menyebalkan itu. Aku yang salah, mengambil keputusan untuk tetap berada di dasar lautan itu. Padahal kalau dari awal aku punya niat untuk menarik diri kelua, mungkin aku sudah lama sembuh.

        Ternyata aku cuma butuh ketemu banyak people dengan berbagai macam karakter untuk sampai ditahap “oh ternyata yang kemaren ga ada apa-apanya, masih banyak manusia yang baik, untuk bilang bahwa perlakuan dia selama itu ya basic as human aja.”.

       Terus ciptakan lingkungan yang aman serta nyaman bagi anak-anak, karena itulah yang saat ini yang mereka dan kita butuhkan. Rangkul satu sama lain agar  terciptanya Kabupaten Layak Anak, yang terbebas dari Bullying, kekerasan seksual terhadap anak, perkawinan di bawah usia anak, kawasan terbebas rokok.

        Semoga anak-anak di Kabupaten Sragen dan anak-anak diseluruh dunia dapat berpartisipasi menyampaikan aspirasi serta partisipasi yang berperan sebagai 2p. Pelopor dan Pelapor.

  “Sekian bersambunglah cerita. Saya tidak ingin cerita saya tamat atau selesai, aku menginginkan anak-anak bangsa merangkul satu sama lain untuk mewujudkan lingkungan yang aman serta nyaman.” Ketik Azizah Kafka Ayodya dengan laptop yang dilukis menggunakan cat minyak.”

 

“Steps to Grow make 2p happen”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.