Apa yang Diperjuangkan Lewat Tulisan

Rabu, Januari 10, 2024

 Apa yang Diperjuangkan Lewat Tulisan

Karya : Nabila Ika Damayanti

 


Keputusasaan yang menghimpit bagai jurang kegelapan tanpa sinar terang. Seperti sebatang lilin yang terusik oleh angin, aku menyaksikan dengan kepahitan bagaimana penjajah dengan rakus merampas segala hal, termasuk kebebasan, martabat, serta keinginanku untuk bersuara menentang mereka. Aku hanyalah seorang perempuan biasa yang berprofesi sebagai guru, tetapi tekadku yang tak tergoyahkan adalah membebaskan negeri ini dari belenggu penjajah. Jurnalis, itulah yang menggelora dalam pikiranku saat ini. Jika suaraku tak mampu menghentikan mereka, maka tulisanku akan menjadi senjata tajam yang kuat untuk melawan mereka.

Tahun 1933, aku mengambil keputusan berani untuk meninggalkan profesi sebagai seorang guru tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan kedua orang tuaku. Saat itu, aku bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) dan menjadi salah satu anggota dengan tujuan untuk mengabdikan diri sebagai seorang aktivis kemerdekaan. Setelah mengambil keputusan tersebut, aku pindah ke Bandung untuk mengikuti kursus kader Partindo. Meskipun hanya sebentar, aku pernah tinggal di rumah Inggit, istri pertama Soekarno. Sejak saat itu, hubunganku dengan Bung Karno semakin akrab, dan beliau menjadi guru bagiku. Pada suatu waktu, Bung Karno memintaku untuk menulis majalah Pikiran Rakyat dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan melalui tulisan. Awalnya, aku ragu dan merasa bahwa diriku bukanlah seorang pengarang yang berpengalaman. Namun, Bung Karno terus mendesakku dengan keyakinan bahwa aku bisa melakukannya. Itulah awal perkenalanku dengan dunia jurnalistik, sebuah pintu yang terbuka lebar bagiku.

***

Setelah satu bulan menjalani karir di dunia jurnalistik, aku dengan cepat meraih posisi sebagai Pemimpin Redaksi. Namun, aku dihadapkan pada dilema ketika harus mencantumkan namaku–Surastri Karma Trimurti di bagian depan majalah. Akupun memberitahu Bung Karno bahwa diriku tak mampu mengabadikan namaku sebagai seorang jurnalis.

“Nyuwun sewu Bung, kula mboten lila ingkang nami kula nyetak wonten ngajeng majalah, amarginepun kangge njaga identitas jurnalis kula saking keluarga,” ucapku dengan hati yang gelisah kepada Bung Karno.

“Ngene wae nduk, nggunakake jeneng samaran saka jeneng aslimu wae kaya Karma nek ora Trimurti,” saran bijak Bung Karno padaku yang kala itu sedang dilanda dilema.

Dengan petunjuk yang bijaksana dari Bung Karno, aku memutuskan untuk menyembunyikan nama asliku, Surastri, dan mengadopsi nama samaran Trimurti. Meskipun Trimurti lebih sering aku gunakan, namun aku juga pernah menggunakan nama samaran lain, yaitu Karma, saat mengirimkan artikel ke media lain. Seiring berjalannya waktu, identitasku sebagai seorang jurnalis semakin dikenal dengan nama S.K. Trimurti.

***

Setelah setahun berlalu, ketika aku kembali ke rumah, identitasku sebagai seorang jurnalis terbongkar dan keluargaku mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pilihanku. Dilahirkan di kalangan priyayi, membuatku terjebak dalam aliran kehidupan yang berbeda dengan anak-anak seusiaku. Sejak kecil, aku telah diberi pendidikan yang mengikuti tradisi keraton dengan harapan agar aku menjadi perempuan sejati yang sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Bagi keluargaku, ini adalah gambaran yang wajar dari seorang perempuan, dimana menolak calon suami yang dipilih orang tua dianggap tidak pantas, dan berpartisipasi dalam aktivitas kemerdekaan dianggap sebagai hal yang tabu.

“Sopo sing ngongkon kowe dadi jurnalis?! Bapakmu iki priyayi, disegani karo wong pribumi. Pokokmen bapak ora setuju yen kowe melok dadi aktivis, gunane opo toh! Kowe ki wadon, ora patut yen disawang wong liya,” Bapak berteriak keras yang menyeruak indera pendengaranku. Nyaliku yang tadinya mengalir seperti lautan, tiba-tiba menyusut menjadi sekecil seutas benang.

“Bapak pancen priyayi, nanging darahku iki darah wong pribumi. Atiku nglakoni ibu pertiwi, lan nganti aku mati, ragaku ora bakal pernah mandheg berjuang kanggo merdekane bangsaku iki,” ucapku dengan penuh keyakinan, memastikan bapak memahami setiap kata yang terucap dari bibirku.

“Ooo... Anakku iki saiki wes wani ngelawan wong tuwa? Sopo sing ngajari kowe dadi kurang ajar?!” pekik Bapak keras, bisa kurasakan nafasnya terengah-engah dengan amarah yang semakin membara.

“Saiki rungokno Bapak. Sak karepmu opo sing dadi kepinginmu. Bapak ora sudi duwe anak jurnalis. Terusno wae pagaweanmu nulis surat-surat sing ora mutu. Nanging ora usah nyeluk aku Bapak, kowe dudu anakku,” ujar Bapak tegas padaku. Sesaat hatiku terasa sesak, mencerna kalimat yang berhasil lepas dari tutur Bapak.

Terhimpit di antara dua pilihan yang menggelayuti hati, antara keluarga yang kucintai atau terus berjuang bersama sajak-sajak yang terperangkap dalam bisu. Namun, tekadku untuk menjadi seorang jurnalis telah bulat sejak awal, sehingga dengan berat hati aku terpaksa meninggalkan rumah. Meskipun keluargaku tidak mendukung pilihan hidupku, aku berharap dapat membuktikan bahwa aku dapat menjalani profesi ini dengan memberikan manfaat bagi masyarakat melalui tulisan-tulisan yang aku hasilkan.

 Aku pun kemudian berlabuh ke Solo, menemukan tempatku di sana, dan terus menggeluti dunia tulis-menulis bersama Sekar Anjani, sahabat seperjuanganku. Kami berdua terjebak dalam takdir yang serupa, di mana keluarga kami menjadi dinding penghalang yang tak mendukung pilihan hidup kami.

“Murti, bagaimana jika kita menerbitkan sebuah majalah sebagai tonggak perjuangan komunikasi gerakan kemerdekaan yang membahas mengenai nasib perempuan di Indonesia?” tanya Anjani padaku dengan semangat yang meluap-luap. Entah dari mana ide itu tiba-tiba menyangkut dalam pikiran Anjani. Tapi jujur saja idenya memang layak mendapatkan pujian.

“Aku juga pernah memikirkan itu Anjani. Tapi aku menunggu waktu yang tepat untuk mendiskusikannya denganmu,” ucapku pada Anjani sembari tersenyum lebar. Mata Anjani langsung berbinar. Ya Tuhan! Bahkan burung-burung akan langsung hinggap kala melihat senyum merekah dari bibirnya. Sahabatku itu benar kabarnya adalah jelmaan putri peri.

Menghilangkan segala ragu yang tersemat dalam benakku, akhirnya aku menganggukkan kepala dengan penuh persetujuan. Menerbitkan majalah bersama Anjani adalah salah satu mimpi yang akhirnya bisa terealisasikan, seakan-akan sebuah keajaiban yang tak terduga telah menyapaku.

Majalah yang kami dirikan semula bernama Bedug, namun karena harus menggunakan bahasa Indonesia dalam penamaan, kami mengubahnya menjadi Terompet. Seperti gemuruh suara bedug yang menggema, majalah Terompet kami akan menggemakan keberanian dan perjuangan perempuan Indonesia. Dalam setiap tulisanku, aku berusaha menggugah semangat dan kesadaran akan hak-hak perempuan, seolah-olah menjadi terompet yang menyuarakan keadilan dan kesetaraan.

Selain itu, kami juga membentuk Barisan Perempuan Wanita yang gigih memperjuangkan nasib para buruh wanita serta aktif dalam Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Dari sinilah aku banyak menulis tentang nasib perempuan Indonesia di majalah Api Kartini, Berita Gerwani, dan Koran Harian Rakyat setiap Kamis.

***

Tahun 1936, pada suatu hari yang tak terduga, ketika usiaku mencapai 25 tahun, tiba-tiba segerombolan tentara muncul di depan pintu rumah yang kutinggali bersama Anjani sembari memasang wajah tegang, senjata mereka menyorot ke kami. Dengan nada serius, salah satu tentara Belanda berkata, “Ikut kami! Kalian ditangkap karena telah menyebarkan pamflet mengenai anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, yang menuding pemerintah Belanda telah berlaku tidak adil!”  Dalam momen itu, suasana tegang dan intimidasi terasa begitu kuat, rasanya seolah-olah aku sedang dikejar oleh bayangan kekuasaan Belanda yang tak terbendung, yang berusaha menekan suara-suara kritik terhadap sistem pemerintahan yang ada.

“Memangnya apa salah kami dengan menggugah sistem pemerintahan saat ini yang menyengsarakan rakyat?! Kami tidak ingin terperangkap dalam penjara yang kelam, di mana suara-suara kebenaran terkekang,” geram Anjani dengan amarah yang memuncak seperti bara api yang tak terpadamkan.

Dalam keadaan genting itu, tangan Anjani menarikku untuk berlari secepat kilat, seolah-olah kita berusaha melarikan diri dari cengkeraman para tentara yang haus darah. Namun, belum sempat kami menjauh, “DORRRR!!!!” suara peluru yang begitu nyaring hingga memekakkan telinga membuatku tiba-tiba menghentikan langkah. Merah... Menyala... Dentuman tembakan yang menggema udara tadi tepat mengenai raga dihadapanku. Aliran darahku hampir berhenti saking terkejutnya. Semua terasa nyata, teriakannya, erangannya, harusnya aku yang terbaring di tanah kala itu. Namun peluru yang seharusnya menembus tubuhku lebih dulu tertangkap oleh raga Anjani, melindungiku dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Segera aku mendekati tubuhnya yang telah berlumuran darah.

Di tengah keheningan yang mencekam, aku mendengar suara Anjani yang teramat lemah, seperti bisikan angin yang hampir tak terdengar, “Murti, cepatlah pergi dari tempat ini! Aku mohon padamu, hanya engkau yang dapat kuharapkan untuk menggugah ketidakadilan yang dilakukan oleh mereka yang kejam dan tanpa belas kasihan,” belum sempat aku menentang permintaannya, suara detak jantungnya sudah lenyap terlebih dulu. Dengan berat hati, aku meninggalkan jasad Anjani dan berlari sekuat tenaga, menghindari kejaran pihak Belanda yang ganas seperti serigala lapar.

Dalam kegelapan yang menghantui, aku melarikan diri dengan langkah yang tergesa-gesa, menyelinap di antara bayangan-bayangan yang mengintai. Nafasku seperti seruling yang terengah-engah di tangan pemain yang terburu-buru, mengalun dengan irama kehidupan yang menciptakan rapuhnya harmoni di tengah kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan. Di kejauhan, terdengar dentingan senjata yang menggema di udara, mengiringi langkah-langkah penjajah yang mendekat. Suara itu seperti serangga-serangga kegelapan yang mengancam untuk menghancurkan segala harapanku. Kurasakan getaran ketakutan yang menggeliat di dalam dadaku, tetapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus terus berlari, terus berusaha untuk melarikan diri dari cengkeraman mereka. Kulihat sebuah lorong sempit yang terbentang di hadapanku, dengan dinding yang menjulang tinggi seperti penjara-penjara pikiran yang ingin mengekang kebebasanku.

 Aku tahu bahwa itu adalah satu-satunya tempat yang aman untuk bersembunyi. Tanpa ragu, aku melompati rintangan-rintangan yang menghadang, seolah-olah aku adalah seekor kijang yang melompati jerat-jerat yang mengintai. Terus berlari melalui lorong sempit itu, dengan langkah-langkah yang cepat dan ringan seperti burung-burung yang terbang di angkasa. Kurasakan angin yang menyapu wajahku, seperti belaian lembut dari sayap kebebasan yang menggoda, mengajakku untuk terbang menjauh dari cengkeraman mereka yang ingin membatasi langkah-langkahku. Aku berdoa agar penjajah tidak menemukanku, berharap bahwa lorong ini bisa menjadi tempat rahasia yang melindungiku.

Namun, takdir berkata lain. Suara tembakan menggema di udara, seperti petir yang menyambar langit malam. Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa menusuk tepat di dadaku, seolah-olah aku adalah bunga yang ditusuk oleh duri-duri kekejaman. Tubuhku tak mampu menopang beban rasa sakit yang melanda, seakan aku adalah pohon yang roboh di tengah badai kehidupan. Aku jatuh ke tanah, merasakan kelemahan yang melanda tubuhku, namun api semangat perjuanganku tetap berkobar, tak pernah pudar oleh hembusan angin keputusasaan.

***

Aku terbangun dari mimpi mengerikan, menemukan diriku yang ternyata masih hidup. Mataku sayup-sayup menelisik sekeliling, tersadar diriku terperangkap di dalam jeruji penjara yang dingin dan tak berbelas kasihan. Seperti burung yang terkurung dalam sangkar besi, aku merasakan kebebasanku terhimpit oleh dinding-dinding yang tak terlihat.

Dalam keadaan yang suram ini, aku menyadari bahwa mimpi itu hanyalah ilusi semu, dan kenyataan pahit menghampiriku dengan kejam seperti pedang yang menusuk hati. Rupanya aku pingsan setelah melihat tubuh Anjani yang jatuh dan tergenang oleh darahnya sendiri, seakan-akan menjadi lambang kehilangan dan kehancuran. Air mataku tiba-tiba menetas seperti hujan deras yang tak terbendung, mengingat hari-hariku bersama Anjani yang penuh perjuangan, menyuarakan suara penderitaan rakyat. Namun, takdir yang kejam memisahkanku dari Anjani tuk selama-lamanya.

Tubuhku yang rapuh terasa terkekang oleh jeruji besi, seolah-olah menjadi tawanan dalam permainan takdir yang kejam. Namun, meskipun terjebak di dalam penjara ini, aku takkan membuat pengorbanan Anjani sia-sia seperti yang kualami dalam mimpi tadi. Sekarang semangatku tak terkalahkan, seakan-akan bara yang tak pernah padam, tekadku untuk mencari kebebasan terus berkobar di dalam dada. Dalam jeruji penjara yang mengurung tubuhku, pikiranku terbang bebas seperti burung yang tak terikat. Aku merenungkan cara-cara untuk melawan para penjajah melalui tulisan-tulisan yang kuat dan berani. Setiap kata yang tercipta dari pena pikiranku adalah senjata yang kuat sehingga mampu mengguncang tirani dan membangkitkan semangat perlawanan.

Dalam pikiranku, aku adalah pahlawan yang tak tergoyahkan, yang menentang segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Aku tahu bahwa kekuatan tulisan dan pemikiran tak bisa dihancurkan oleh jeruji besi atau dinding penjara. Meskipun tubuhku terkurung, semangatku tak terkalahkan. Aku yakin bahwa tulisan-tulisan yang kubuat akan menyebar seperti api yang membara, menyulut semangat perlawanan di hati orang-orang yang membacanya.

***

Tahun 1937, setelah menghabiskan sembilan bulan di balik jeruji penjara, akhirnya aku dibebaskan. Semangat juangku untuk membawa kemerdekaan bagi negeri ini tetap berkobar. Setelah keluar dari penjara, aku memulai karir sebagai seorang wartawati di Harian Sinar Selatan. Di sana, aku bertemu dengan Sayuti Melik, yang kelak akan menjadi suamiku. Kami berdua aktif dalam berbagai diskusi organisasi politik di Yogyakarta. Meskipun kami sering berbeda pendapat, namun kami sama-sama memiliki mimpi untuk merobohkan tirani penjajah yang menguasai negeri ini, hal itu membuat ikatan diantara kami justru semakin kuat. Aku terkadang heran bagaimana kami bisa menjadi pasangan, mengingat perbedaan partai politik dan tidak direstui oleh kedua orang tuaku. Namun, hal-hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap melangsungkan pernikahan, melangkah bersama dalam perjuangan yang tak kenal lelah.

Suatu hari, Sayuti menulis sebuah artikel yang mengajak rakyat Indonesia untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak Belanda dalam menghadapi serangan Jepang. Aku sempat menentang keras menerbitkan artikel tersebut.

“Mas, jangan kamu terbitkan dulu artikel itu. Saat ini, keadaan belum kondusif untuk menerbitkan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan Belanda. Terlebih lagi, aku sedang mengandung buah hati kita,” ucapku yang tengah diliputi oleh perasaan khawatir dan gelisah. Namun, apalah daya kami berdua memang selalu berbeda pendapat dan Sayuti sama keras kepalanya seperti diriku. Meski telah diingatkan untuk berhenti, pasti dia akan tetap melanjutkannya.

“Jangan khawatir Murti, lagipula, aku tak mencantumkan namaku dalam artikel ini,” ujar Sayuti untuk menenangkan hatiku. Kulihat matanya memancarkan harapan yang begitu besar, berharap agar rakyat Indonesia tidak akan memberikan bantuan kepada pihak Belanda. Akhirnya, aku menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan terhadap tekad bulat yang dimiliki oleh Melik.

Tak berapa lama kemudian, artikel yang diterbitkan Sayuti mulai memancing amarah pihak Belanda. Mereka mulai mencari sang penulis dengan gigih, seperti seekor singa yang mencari mangsanya. Hingga suatu hari tiba-tiba pintu rumah kami didobrak dengan kasar, dan mereka menodongkan sebuah pistol kepada kami.

“Kalian tidak dapat menyangkal, telah beredar luas kabar dari masyarakat setempat bahwa kalian telah menerbitkan artikel yang mengajak mereka untuk menolak membantu Belanda saat Jepang menyerang pemerintahan. Siapakah yang memberikan kalian otoritas untuk melakukan tindakan semacam itu, Ha?! Sekarang kalian akan kami tahan di balik jeruji penjara,” ujar salah satu tentara Belanda dengan amarah yang membara seperti bara api.

Kegelisahan yang selama ini terpendam dalam diriku mulai merambat dan menggetarkan tubuhku. Pada saat itu, ingatan tentang peristiwa yang menimpa Anjani tiba-tiba menghampiri pikiranku. Rasa takut akan hal yang serupa terjadi pada Sayuti pun menghantuiku. 

“Dosa itu adalah milikku yang menerbitkan artikel tersebut. Sayuti tidak ada kaitannya dengan tindakan itu. Kalian boleh mengurungku, tetapi tolong bebaskanlah suamiku.” ucapku tanpa ragu, tak ingin kejadian yang Anjani sampai terulang lagi. Bagiku, kehadiran Sayuti lebih dibutuhkan oleh para aktivis pergerakan kemerdekaan, maka lebih baik aku saja yang menyerahkan diri. Sesaat, aku berbalik menghadap Sayuti dengan senyuman di wajahku seolah mengatakan, “Segalanya akan baik-baik saja.” Terlihat sorot mata yang memandangku dengan kesedihan yang dalam, seakan-akan menyiratkan sebuah cerita pilu yang tersembunyi.

Setelah mendengar pengakuanku, pistol yang tadinya mengarah pada kami akhirnya merunduk. Mereka mengikat tangan-tanganku dengan tali dan menyeretku keluar dari rumah, meninggalkan Sayuti sendirian di dalam sana. Mereka mendorong tubuhku ke dalam sel tua yang kelam, sungguh kejam. Diriku terjatuh sambil memeluk perutku, berusaha melindungi anugerah yang telah aku kandung selama tiga bulan. Waktu berlalu begitu cepat, enam bulan terlewati dan aku merasakan rasa sakit yang tak tertahankan seperti duri yang menusuk perutku, menandakan saatnya anakku datang ke dunia ini.

“Oeeee...Oeeee...,” air mataku mengalir seperti hujan saat suara yang telah lama aku harapkan itu memenuhi telingaku, mengisi hatiku dengan kegembiraan yang tak terhingga.

“Anakku sayang, maafkan ibu karena harus melahirkanmu di tempat yang tak layak ini, tapi ibu berjanji akan melindungimu dan menciptakan masa depan di mana kamu akan menikmati kebebasan,” ucapku seraya mencium lembut kening sang buah hati.

Sehari setelah melahirkan, Belanda mengalami kekalahan yang memilukan dalam menghadapi Jepang sehingga pada saat itu pemerintahan diambil alih oleh mereka sepenuhnya. Akhirnya, seperti burung yang dilepas dari sangkar, akupun dibebaskan dari penjara yang telah membelenggu diriku selama ini. Namun, kebebasan itu seperti bunga semu yang hanya mekar sesaat karena Jepang ingin memperoleh simpati atas segala kebaikan yang mereka pura-pura lakukan, seolah-olah tak ada yang mengetahui rencana kelam mereka di masa depan. Sampailah aku di depan rumah yang sudah lama kurindukan, kala itu bertepatan Sayuti sedang membaca sebuah koran di halaman teras. Kuhampiri dia sambil menggendong anakku dengan kegembiraan hati yang meluap-luap.

“Sayuti! Lihatlah ini anak yang sudah kita tunggu-tunggu kehadirannya,” ucapku seraya menahan air mata bahagia. Kulihat Melik yang terkejut melihat kehadiranku sekaligus terharu dan langsung memelukku.

“Maaf Murti, semua ini karena kelalaian diriku yang membuatmu harus mengalami kesulitan seperti ini dan terima kasih atas perjuanganmu melahirkan anak kita,” ujar Sayuti sambil mengelus pucuk kepala sang buah hati. Aku hanya tersenyum sembari melihat nafas anakku yang teratur. Tiba-tiba terlintas sebuah nama di benakku.

“Sayuti, bolehkah aku memberinya nama—Musafir Karma Budiman?” ucapku antusias seolah menemukan nama yang sangat tepat.

“Tentu saja boleh. Nama itu begitu indah, semoga kelak dirinya dapat menjadi sosok laki-laki yang bijaksana seperti namanya,” ujar Sayuti sambil menatap mataku. Tak dapat dipungkiri, dalam matanya sekarang terisi kebahagiaan yang dulunya sempat hilang.

Beberapa bulan kemudian, aku dan Sayuti memulai perjalanan kami dalam merintis sebuah majalah bulanan yang bernama Pesat. Kami berharap majalah ini akan menjadi sumber inspirasi dan semangat perjuangan bagi rakyat Indonesia dalam menggapai kemerdekaan yang gemilang, seperti elang yang melayang bebas di angkasa.

***

Tahun 1942, tiga tahun kemudian, seperti sebuah keajaiban yang tak terduga, aku diberkahi dengan kelahiran seorang anak laki-laki lagi—Heru Baskoro, itulah namanya. Seperti sinar matahari yang menerangi hidupku, kehadirannya memberikan kebahagiaan yang tak terhingga. Namun, tak lama setelah kelahiran putraku yang kedua, datanglah peraturan yang ditetapkan oleh pihak Jepang dengan tegas dan tanpa ampun. Mereka mengharuskan semua jenis barang cetakan, termasuk majalah, untuk memiliki izin publikasi dan izin terbit. Selain itu, mereka juga melarang segala bentuk pergerakan nasionalisme atau anti-Jepang. Majalah-majalah Belanda, majalah Indonesia, bahkan majalah berbahasa Tionghoa, semuanya dilarang untuk terbit dan terkunci dalam belenggu keheningan yang mematikan. Seakan-akan matahari yang terbenam, cahaya informasi dan kebebasan berbicara pun tenggelam dalam gelapnya penindasan.

Dalam keputusan yang tak terelakkan, majalah yang telah kami bangun dengan keringat dan kerja keras juga harus merasakan getir pahitnya nasib. Seperti bunga yang layu karena kekurangan air, majalah kami harus berhenti terbit. Padahal, saat itu majalah Pesat telah menjadi sumber informasi harian yang tak tergantikan bagi masyarakat.

“Sayuti, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku dengan suara penuh kekhawatiran, seakan terdampar di lautan keputusasaan.

Sayuti menatapku dengan tegas, “Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Seperti pahlawan yang tak kenal lelah, kita harus mencari celah dan jalan pintas untuk tetap menyampaikan suara masyarakat, meskipun dalam situasi yang kelam ini,” perkataan Sayuti menggetarkan hatiku, seperti kilat yang menyadarkanku bahwa ini bukanlah pertama kalinya aku berjuang melawan kesulitan. Dalam momen itu, tekadku semakin menggelora, membara seperti bara yang tak terpadamkan, untuk meraih kemerdekaan yang kini semakin dekat.

Kami berdua saling bertatap, penuh keberanian dan semangat yang membara, siap melawan gelombang ketidakadilan yang menghantam. Meskipun majalah Pesat terpaksa harus berhenti terbit, semangat kami untuk memberikan informasi yang bermanfaat dan memperjuangkan kebenaran tidak akan pernah pudar, sebagaimana api yang tetap menyala di tengah kegelapan malam.

Dalam kegelapan yang menyelimuti, suatu keajaiban yang tak terduga melanda hidupku saat Bung Karno meminta diriku untuk bergabung dalam perkumpulan Jawa Hokokai dan Putera. Aku dengan setia menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh beliau, berjuang dengan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih kemerdekaan. Dalam pengawasan yang tajam dari pihak Jepang, aku melangkah dengan hati-hati, menyusup dalam kegelapan, dan menyembunyikan jejak-jejak perjuangan ini, seolah menjadi bayangan yang tak terlihat.

***

Tahun 1945, tepat sebelum sang kemerdekaan menjelang, aku, para pejuang aktivis pergerakan kemerdekaan, termasuk Sayuti, berkumpul di sebuah rumah yang menjadi milik seorang perwira tinggi Jepang yang memiliki kepedulian mendalam terhadap penderitaan rakyat Indonesia—Laksamana Tadashi Maeda. Dalam sekejap, Bung Karno dan Bung Hatta datang menyusul setelah mengalami peristiwa penculikan yang dilakukan oleh golongan muda. Aku dan Sayuti, pada saat itu termasuk dalam golongan muda yang gigih mendesak Bung Karno untuk segera membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah yang menghimpit, sehingga kami turut terlibat dalam penyusunan strategi penculikan tersebut, dengan harapan agar Bung Karno dapat terhindar dari pengaruh Jepang yang menginginkan bantuan untuk melawan pasukan sekutu.

“Silakan melangkah ke dalam, di mana ruangan ini menjadi tempat yang terlindungi dari ancaman Angkatan Darat Jepang. Di sini, kalian dapat mengadakan perbincangan mendalam mengenai proklamasi kemerdekaan, dengan jaminan bahwa keselamatan kalian akan terjaga sepenuhnya,” ujar Laksamana yang ditujukan pada kami, seakan-akan menerangi langkah kami dalam perjalanan menuju kebebasan.

“Dengan sepenuh hati, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kebaikanmu yang tiada tara. Keberanianmu untuk membuka pintu rumah ini bagi kami akan selalu kami kenang dan terpatri dalam ingatan kami,” ujar Bung Karno dengan bijaksana, mewakili kami semua yang hadir di sana.

Malam itu, suasana sunyi dan menegangkan menjadi saksi bisu dari detik-detik bersejarah yang menghampiri, seolah-olah waktu itu berhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi perjuangan yang tak tergoyahkan menuju kemerdekaan yang hakiki. Seperti lukisan yang diwarnai oleh keberanian dan semangat juang, naskah proklamasi itu ditorehkan dengan tangan yang penuh semangat oleh Bung Karno, dan kemudian diabadikan melalui ketikan mesin oleh Sayuti, suamiku yang setia. Seolah jari-jarinya menjadi pena yang mengukir takdir bangsa, mengguratkan harapan dan cita-cita yang tak terhingga, seiring dengan dentingan mesin yang menggema seperti simfoni kebebasan.

Esok harinya, sinar matahari mulai memancar dengan hangat, seakan menyinari langkah-langkah kami yang sibuk menyusun persiapan megah untuk upacara proklamasi kemerdekaan. Sebagai aktivis kemerdekaan yang penuh semangat, kami telah sepakat bahwa naskah proklamasi akan diungkapkan dengan gemilang oleh sosok yang tak tergantikan yaitu Bung Karno. Namun, masih terdapat satu peran yang belum ditentukan, yaitu petugas yang akan mengibarkan bendera merah putih dengan gagah berani.

Tiba-tiba, suara Bung Karno memecah keheningan, “Murti, kowe wae sing dadi petugas pengerek bendera,” ucapnya dengan tegas, menunjuk ke arahku.

Namun, tanpa ragu sedikitpun, aku menolak dengan lembut, “Mboten Bung, miturut kula luwih becik yekti yening Latief ngemban tugas mulia iki. Beliau iku sosok ingkang sampun berjuang ing medan perang minangka anggota PETA,” spontan kata-kata itu meluncur dari bibirku, mengalir dengan keberanian yang tak terduga.

Bagiku, Latief yang telah berjuang dengan penuh dedikasi di medan pertempuran, layak menerima kehormatan sebagai pengibar bendera Indonesia untuk pertama kalinya. Didampingi oleh Suhud Sastrokusumo, Latief maju dengan langkah tegap sebagai sosok yang akan mengibarkan bendera Indonesia dengan kebanggaan yang membara. Namun, tak berhenti sampai disitu, Bung Karno memberikan tugas yang tak kalah penting kepada diriku, sebagai pembawa bendera Indonesia. Dengan rendah hati, aku menerima tugas tersebut, merasa terhormat dan siap untuk melaksanakannya dengan penuh kebanggaan.

Di hadapan para pejuang kemerdekaan Indonesia, serta disaksikan oleh rakyat pribumi yang penuh harap, upacara yang mulia dimulai tepat pada pukul 10.00 WIB. Pelaksanaan pengibaran Sang Saka Merah Putih berlangsung dengan keharmonisan yang begitu memukau, seolah-olah bendera itu sendiri berdansa dengan anggun di atas tiangnya yang gagah.

Tiba saat yang ditunggu-tunggu, ketika Bung Karno dengan suara yang menggelegar, memulai pembacaan proklamasi yang penuh makna. Kata-kata yang terucap dari bibirnya seolah menjadi nyanyian kebebasan yang mengalun merdu di telinga setiap pendengar. Suara lantangnya menggema di seantero negeri, membangkitkan semangat dan kebanggaan dalam dada setiap warga Indonesia.

Dalam momen yang magis ini, seakan waktu berhenti sejenak, dan seluruh hadirin terhipnotis oleh kekuatan kata-kata yang diucapkan oleh Bung Karno. Seperti aliran sungai yang mengalir deras, proklamasi itu menembus batas-batas ruang dan waktu, menggetarkan jiwa dan menyatukan hati setiap individu yang hadir.

“MERDEKA!! MERDEKA!! MERDEKA!!,” seruan rakyat Indonesia atas kemerdekaan yang baru saja dideklarasikan, suara yang mengungkapkan kegembiraan dan semangat juang mereka dalam meraih kemerdekaan.

Aku merasa seperti burung yang terbang bebas di angkasa setelah melalui perjuangan yang panjang, negeri ini akhirnya merdeka dari belenggu penjajah. Tak lupa dalam perjalanan meraih kemerdekaan itu, aku dipertemukan dengan seorang guru, suami, dan sahabat yang tak tergantikan, sosok Bung Karno, Sayuti, dan Anjani. Mereka adalah sumber inspirasi yang memberiku keyakinan untuk terus berani mengekspresikan diri melalui tulisan-tulisan yang aku hasilkan.

Sejak saat itu, aku dianggap sebagai sosok yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak-hak kaum tertindas, terutama perempuan, melalui karya-karya jurnalistik dan pengabdianku sebagai seorang aktivis kemerdekaan. Aku telah membuktikan bahwa sejarah tidak hanya menjadi milik laki-laki semata. Ada keseimbangan yang indah antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Keduanya hadir secara bersamaan, saling melengkapi, dan memberikan kontribusi yang berarti dalam setiap babak sejarah yang terukir.

Seperti aliran sungai yang tak terbendung, tulisan-tulisan dan perjuanganku mengalir dengan kekuatan yang tak terhentikan. Aku menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, mengangkat isu-isu yang terabaikan, dan memperjuangkan hak-hak yang terlupakan. Dalam setiap kata yang terpatri dalam tulisanku, aku mencoba menghidupkan semangat keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.

Dalam perjalanan ini, aku menyadari bahwa tulisan memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti pedang yang tajam, kata-kataku mampu menembus batas-batas yang mengikat dan membuka mata orang-orang terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka. Aku akan lebih berusaha untuk mengubah dunia dengan tulisanku, menginspirasi orang-orang untuk berani berbicara dan bertindak demi perubahan yang lebih baik.

Namun, perjalanan ini tentu tidak akan mudah. Aku harus melawan angin dan gelombang yang menghadang, menghadapi cemoohan dan celaan dari mereka yang tak setuju dengan pandanganku. Namun, aku tidak gentar. Seperti pohon yang teguh berdiri di tengah badai, aku tetap kokoh dalam keyakinanku dan terus melangkah maju.

Dalam setiap kata yang terucap, aku berharap dapat menginspirasi generasi-generasi mendatang untuk terus berjuang demi kebebasan dan kesetaraan. Aku ingin mereka tahu bahwa sejarah tidak hanya tentang peran pria, tetapi juga tentang perempuan yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-haknya. Aku ingin mereka mengerti bahwa tulisan memiliki kekuatan untuk mengubah dunia, dan mereka memiliki kekuatan itu di tangan mereka sendiri.

 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.