Apa yang Diperjuangkan Lewat Tulisan
Apa yang Diperjuangkan Lewat Tulisan
Karya : Nabila Ika Damayanti
Keputusasaan
yang menghimpit bagai jurang kegelapan tanpa sinar terang. Seperti sebatang
lilin yang terusik oleh angin, aku menyaksikan dengan kepahitan bagaimana
penjajah dengan rakus merampas segala hal, termasuk kebebasan, martabat, serta
keinginanku untuk bersuara menentang mereka. Aku hanyalah seorang perempuan
biasa yang berprofesi sebagai guru, tetapi tekadku yang tak tergoyahkan adalah
membebaskan negeri ini dari belenggu penjajah. Jurnalis, itulah yang menggelora
dalam pikiranku saat ini. Jika suaraku tak mampu menghentikan mereka, maka
tulisanku akan menjadi senjata tajam yang kuat untuk melawan mereka.
Tahun 1933, aku mengambil keputusan berani untuk
meninggalkan profesi sebagai seorang guru tanpa berdiskusi terlebih dahulu
dengan kedua orang tuaku. Saat itu, aku bergabung dengan Partai Indonesia
(Partindo) dan menjadi salah satu anggota dengan tujuan untuk mengabdikan diri
sebagai seorang aktivis kemerdekaan. Setelah mengambil keputusan tersebut, aku
pindah ke Bandung untuk mengikuti kursus kader Partindo. Meskipun hanya
sebentar, aku pernah tinggal di rumah Inggit, istri pertama Soekarno. Sejak
saat itu, hubunganku dengan Bung Karno semakin akrab, dan beliau menjadi guru
bagiku. Pada suatu waktu, Bung Karno memintaku untuk menulis majalah Pikiran
Rakyat dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan melalui tulisan. Awalnya,
aku ragu dan merasa bahwa diriku bukanlah seorang pengarang yang berpengalaman.
Namun, Bung Karno terus mendesakku dengan keyakinan bahwa aku bisa melakukannya.
Itulah awal perkenalanku dengan dunia jurnalistik, sebuah pintu yang terbuka
lebar bagiku.
***
Setelah
satu bulan menjalani karir di dunia jurnalistik, aku dengan cepat meraih posisi
sebagai Pemimpin Redaksi. Namun, aku dihadapkan pada dilema ketika harus
mencantumkan namaku–Surastri Karma Trimurti di bagian depan majalah. Akupun
memberitahu Bung Karno bahwa diriku tak mampu mengabadikan namaku sebagai
seorang jurnalis.
“Nyuwun sewu Bung, kula mboten lila ingkang nami
kula nyetak wonten ngajeng majalah, amarginepun kangge njaga identitas jurnalis
kula saking keluarga,” ucapku dengan hati
yang gelisah kepada Bung Karno.
“Ngene wae nduk, nggunakake jeneng samaran saka
jeneng aslimu wae kaya Karma nek ora Trimurti,”
saran bijak Bung Karno padaku yang kala itu sedang dilanda dilema.
Dengan petunjuk yang bijaksana dari Bung Karno, aku
memutuskan untuk menyembunyikan nama asliku, Surastri, dan mengadopsi nama
samaran Trimurti. Meskipun Trimurti lebih sering aku gunakan, namun aku juga
pernah menggunakan nama samaran lain, yaitu Karma, saat mengirimkan artikel ke
media lain. Seiring berjalannya waktu, identitasku sebagai seorang jurnalis
semakin dikenal dengan nama S.K. Trimurti.
***
Setelah
setahun berlalu, ketika aku kembali ke rumah, identitasku sebagai seorang
jurnalis terbongkar dan keluargaku mengekspresikan ketidaksetujuan mereka
terhadap pilihanku. Dilahirkan di kalangan priyayi, membuatku terjebak dalam
aliran kehidupan yang berbeda dengan anak-anak seusiaku. Sejak kecil, aku telah
diberi pendidikan yang mengikuti tradisi keraton dengan harapan agar aku
menjadi perempuan sejati yang sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan.
Bagi keluargaku, ini adalah gambaran yang wajar dari seorang perempuan, dimana
menolak calon suami yang dipilih orang tua dianggap tidak pantas, dan
berpartisipasi dalam aktivitas kemerdekaan dianggap sebagai hal yang tabu.
“Sopo sing ngongkon kowe dadi jurnalis?! Bapakmu iki
priyayi, disegani karo wong pribumi. Pokokmen bapak ora setuju yen kowe melok
dadi aktivis, gunane opo toh! Kowe ki wadon, ora patut yen disawang wong liya,”
Bapak berteriak keras yang menyeruak indera pendengaranku. Nyaliku yang tadinya
mengalir seperti lautan, tiba-tiba menyusut menjadi sekecil seutas benang.
“Bapak pancen priyayi, nanging darahku iki darah
wong pribumi. Atiku nglakoni ibu pertiwi, lan nganti aku mati, ragaku ora bakal
pernah mandheg berjuang kanggo merdekane bangsaku iki,”
ucapku dengan penuh keyakinan, memastikan bapak memahami setiap kata yang
terucap dari bibirku.
“Ooo... Anakku iki saiki wes wani ngelawan wong
tuwa? Sopo sing ngajari kowe dadi kurang ajar?!”
pekik Bapak keras, bisa kurasakan nafasnya terengah-engah dengan amarah yang
semakin membara.
“Saiki rungokno Bapak. Sak karepmu opo sing dadi
kepinginmu. Bapak ora sudi duwe anak jurnalis. Terusno wae pagaweanmu nulis
surat-surat sing ora mutu. Nanging ora usah nyeluk aku Bapak, kowe dudu anakku,”
ujar Bapak tegas padaku. Sesaat hatiku terasa sesak, mencerna kalimat yang
berhasil lepas dari tutur Bapak.
Terhimpit di antara dua pilihan yang menggelayuti
hati, antara keluarga yang kucintai atau terus berjuang bersama sajak-sajak
yang terperangkap dalam bisu. Namun, tekadku untuk menjadi seorang jurnalis
telah bulat sejak awal, sehingga dengan berat hati aku terpaksa meninggalkan rumah.
Meskipun keluargaku tidak mendukung pilihan hidupku, aku berharap dapat
membuktikan bahwa aku dapat menjalani profesi ini dengan memberikan manfaat
bagi masyarakat melalui tulisan-tulisan yang aku hasilkan.
Aku pun
kemudian berlabuh ke Solo, menemukan tempatku di sana, dan terus menggeluti
dunia tulis-menulis bersama Sekar Anjani, sahabat seperjuanganku. Kami berdua
terjebak dalam takdir yang serupa, di mana keluarga kami menjadi dinding
penghalang yang tak mendukung pilihan hidup kami.
“Murti, bagaimana jika kita menerbitkan sebuah majalah
sebagai tonggak perjuangan komunikasi gerakan kemerdekaan yang membahas
mengenai nasib perempuan di Indonesia?” tanya Anjani padaku dengan semangat
yang meluap-luap. Entah dari mana ide itu tiba-tiba menyangkut dalam pikiran
Anjani. Tapi jujur saja idenya memang layak mendapatkan pujian.
“Aku juga pernah memikirkan itu Anjani. Tapi aku
menunggu waktu yang tepat untuk mendiskusikannya denganmu,” ucapku pada Anjani
sembari tersenyum lebar. Mata Anjani langsung berbinar. Ya Tuhan! Bahkan
burung-burung akan langsung hinggap kala melihat senyum merekah dari bibirnya.
Sahabatku itu benar kabarnya adalah jelmaan putri peri.
Menghilangkan segala ragu yang tersemat dalam
benakku, akhirnya aku menganggukkan kepala dengan penuh persetujuan.
Menerbitkan majalah bersama Anjani adalah salah satu mimpi yang akhirnya bisa
terealisasikan, seakan-akan sebuah keajaiban yang tak terduga telah menyapaku.
Majalah yang kami dirikan semula bernama Bedug,
namun karena harus menggunakan bahasa Indonesia dalam penamaan, kami
mengubahnya menjadi Terompet. Seperti gemuruh suara bedug yang menggema,
majalah Terompet kami akan menggemakan keberanian dan perjuangan perempuan
Indonesia. Dalam setiap tulisanku, aku berusaha menggugah semangat dan
kesadaran akan hak-hak perempuan, seolah-olah menjadi terompet yang menyuarakan
keadilan dan kesetaraan.
Selain itu, kami juga membentuk Barisan Perempuan
Wanita yang gigih memperjuangkan nasib para buruh wanita serta aktif dalam
Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Dari sinilah aku banyak menulis tentang nasib
perempuan Indonesia di majalah Api Kartini, Berita Gerwani, dan Koran
Harian Rakyat setiap Kamis.
***
Tahun
1936, pada suatu hari yang tak terduga, ketika usiaku mencapai 25 tahun,
tiba-tiba segerombolan tentara muncul di depan pintu rumah yang kutinggali
bersama Anjani sembari memasang wajah tegang, senjata mereka menyorot ke kami.
Dengan nada serius, salah satu tentara Belanda berkata, “Ikut kami! Kalian
ditangkap karena telah menyebarkan pamflet mengenai anti-imperialisme dan
anti-kapitalisme, yang menuding pemerintah Belanda telah berlaku tidak adil!” Dalam momen itu, suasana tegang dan intimidasi
terasa begitu kuat, rasanya seolah-olah aku sedang dikejar oleh bayangan
kekuasaan Belanda yang tak terbendung, yang berusaha menekan suara-suara kritik
terhadap sistem pemerintahan yang ada.
“Memangnya apa salah kami dengan menggugah sistem
pemerintahan saat ini yang menyengsarakan rakyat?! Kami tidak ingin
terperangkap dalam penjara yang kelam, di mana suara-suara kebenaran
terkekang,” geram Anjani dengan amarah yang memuncak seperti bara api yang tak terpadamkan.
Dalam keadaan genting itu, tangan Anjani menarikku
untuk berlari secepat kilat, seolah-olah kita berusaha melarikan diri dari
cengkeraman para tentara yang haus darah. Namun, belum sempat kami menjauh,
“DORRRR!!!!” suara peluru yang begitu nyaring hingga memekakkan telinga
membuatku tiba-tiba menghentikan langkah. Merah... Menyala... Dentuman tembakan
yang menggema udara tadi tepat mengenai raga dihadapanku. Aliran darahku hampir
berhenti saking terkejutnya. Semua terasa nyata, teriakannya, erangannya,
harusnya aku yang terbaring di tanah kala itu. Namun peluru yang seharusnya
menembus tubuhku lebih dulu tertangkap oleh raga Anjani, melindungiku dengan
keberanian yang tak tergoyahkan. Segera aku mendekati tubuhnya yang telah
berlumuran darah.
Di tengah keheningan yang mencekam, aku mendengar
suara Anjani yang teramat lemah, seperti bisikan angin yang hampir tak
terdengar, “Murti, cepatlah pergi dari tempat ini! Aku mohon padamu, hanya
engkau yang dapat kuharapkan untuk menggugah ketidakadilan yang dilakukan oleh
mereka yang kejam dan tanpa belas kasihan,” belum sempat aku menentang permintaannya,
suara detak jantungnya sudah lenyap terlebih dulu. Dengan berat hati, aku
meninggalkan jasad Anjani dan berlari sekuat tenaga, menghindari kejaran pihak
Belanda yang ganas seperti serigala lapar.
Dalam kegelapan yang menghantui, aku melarikan diri
dengan langkah yang tergesa-gesa, menyelinap di antara bayangan-bayangan yang
mengintai. Nafasku seperti seruling yang terengah-engah di tangan pemain yang
terburu-buru, mengalun dengan irama kehidupan yang menciptakan rapuhnya harmoni
di tengah kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan. Di kejauhan, terdengar
dentingan senjata yang menggema di udara, mengiringi langkah-langkah penjajah
yang mendekat. Suara itu seperti serangga-serangga kegelapan yang mengancam
untuk menghancurkan segala harapanku. Kurasakan getaran ketakutan yang
menggeliat di dalam dadaku, tetapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus terus
berlari, terus berusaha untuk melarikan diri dari cengkeraman mereka. Kulihat
sebuah lorong sempit yang terbentang di hadapanku, dengan dinding yang menjulang
tinggi seperti penjara-penjara pikiran yang ingin mengekang kebebasanku.
Aku tahu
bahwa itu adalah satu-satunya tempat yang aman untuk bersembunyi. Tanpa ragu,
aku melompati rintangan-rintangan yang menghadang, seolah-olah aku adalah
seekor kijang yang melompati jerat-jerat yang mengintai. Terus berlari melalui
lorong sempit itu, dengan langkah-langkah yang cepat dan ringan seperti
burung-burung yang terbang di angkasa. Kurasakan angin yang menyapu wajahku,
seperti belaian lembut dari sayap kebebasan yang menggoda, mengajakku untuk
terbang menjauh dari cengkeraman mereka yang ingin membatasi langkah-langkahku.
Aku berdoa agar penjajah tidak menemukanku, berharap bahwa lorong ini bisa
menjadi tempat rahasia yang melindungiku.
Namun, takdir berkata lain. Suara tembakan menggema
di udara, seperti petir yang menyambar langit malam. Aku merasakan rasa sakit
yang luar biasa menusuk tepat di dadaku, seolah-olah aku adalah bunga yang
ditusuk oleh duri-duri kekejaman. Tubuhku tak mampu menopang beban rasa sakit
yang melanda, seakan aku adalah pohon yang roboh di tengah badai kehidupan. Aku
jatuh ke tanah, merasakan kelemahan yang melanda tubuhku, namun api semangat
perjuanganku tetap berkobar, tak pernah pudar oleh hembusan angin keputusasaan.
***
Aku
terbangun dari mimpi mengerikan, menemukan diriku yang ternyata masih hidup.
Mataku sayup-sayup menelisik sekeliling, tersadar diriku terperangkap di dalam
jeruji penjara yang dingin dan tak berbelas kasihan. Seperti burung yang
terkurung dalam sangkar besi, aku merasakan kebebasanku terhimpit oleh
dinding-dinding yang tak terlihat.
Dalam keadaan yang suram ini, aku menyadari bahwa
mimpi itu hanyalah ilusi semu, dan kenyataan pahit menghampiriku dengan kejam
seperti pedang yang menusuk hati. Rupanya aku pingsan setelah melihat tubuh
Anjani yang jatuh dan tergenang oleh darahnya sendiri, seakan-akan menjadi
lambang kehilangan dan kehancuran. Air mataku tiba-tiba menetas seperti hujan
deras yang tak terbendung, mengingat hari-hariku bersama Anjani yang penuh
perjuangan, menyuarakan suara penderitaan rakyat. Namun, takdir yang kejam
memisahkanku dari Anjani tuk selama-lamanya.
Tubuhku yang rapuh terasa terkekang oleh jeruji
besi, seolah-olah menjadi tawanan dalam permainan takdir yang kejam. Namun,
meskipun terjebak di dalam penjara ini, aku takkan membuat pengorbanan Anjani sia-sia
seperti yang kualami dalam mimpi tadi. Sekarang semangatku tak terkalahkan,
seakan-akan bara yang tak pernah padam, tekadku untuk mencari kebebasan terus
berkobar di dalam dada. Dalam jeruji penjara yang mengurung tubuhku, pikiranku
terbang bebas seperti burung yang tak terikat. Aku merenungkan cara-cara untuk
melawan para penjajah melalui tulisan-tulisan yang kuat dan berani. Setiap kata
yang tercipta dari pena pikiranku adalah senjata yang kuat sehingga mampu
mengguncang tirani dan membangkitkan semangat perlawanan.
Dalam pikiranku, aku adalah pahlawan yang tak
tergoyahkan, yang menentang segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Aku
tahu bahwa kekuatan tulisan dan pemikiran tak bisa dihancurkan oleh jeruji besi
atau dinding penjara. Meskipun tubuhku terkurung, semangatku tak terkalahkan.
Aku yakin bahwa tulisan-tulisan yang kubuat akan menyebar seperti api yang
membara, menyulut semangat perlawanan di hati orang-orang yang membacanya.
***
Tahun
1937, setelah menghabiskan sembilan bulan di balik jeruji penjara, akhirnya aku
dibebaskan. Semangat juangku untuk membawa kemerdekaan bagi negeri ini tetap
berkobar. Setelah keluar dari penjara, aku memulai karir sebagai seorang wartawati
di Harian Sinar Selatan. Di sana, aku bertemu dengan Sayuti Melik, yang
kelak akan menjadi suamiku. Kami berdua aktif dalam berbagai diskusi organisasi
politik di Yogyakarta. Meskipun kami sering berbeda pendapat, namun kami
sama-sama memiliki mimpi untuk merobohkan tirani penjajah yang menguasai negeri
ini, hal itu membuat ikatan diantara kami justru semakin kuat. Aku terkadang
heran bagaimana kami bisa menjadi pasangan, mengingat perbedaan partai politik
dan tidak direstui oleh kedua orang tuaku. Namun, hal-hal tersebut tidak
menjadi penghalang bagi kami untuk tetap melangsungkan pernikahan, melangkah
bersama dalam perjuangan yang tak kenal lelah.
Suatu hari, Sayuti menulis sebuah artikel yang
mengajak rakyat Indonesia untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak Belanda
dalam menghadapi serangan Jepang. Aku sempat menentang keras menerbitkan
artikel tersebut.
“Mas, jangan kamu terbitkan dulu artikel itu. Saat
ini, keadaan belum kondusif untuk menerbitkan sesuatu yang bertentangan dengan
keinginan Belanda. Terlebih lagi, aku sedang mengandung buah hati kita,” ucapku
yang tengah diliputi oleh perasaan khawatir dan gelisah. Namun, apalah daya
kami berdua memang selalu berbeda pendapat dan Sayuti sama keras kepalanya
seperti diriku. Meski telah diingatkan untuk berhenti, pasti dia akan tetap
melanjutkannya.
“Jangan khawatir Murti, lagipula, aku tak
mencantumkan namaku dalam artikel ini,” ujar Sayuti untuk menenangkan hatiku.
Kulihat matanya memancarkan harapan yang begitu besar, berharap agar rakyat
Indonesia tidak akan memberikan bantuan kepada pihak Belanda. Akhirnya, aku
menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan terhadap tekad bulat yang
dimiliki oleh Melik.
Tak berapa lama kemudian, artikel yang diterbitkan
Sayuti mulai memancing amarah pihak Belanda. Mereka mulai mencari sang penulis
dengan gigih, seperti seekor singa yang mencari mangsanya. Hingga suatu hari
tiba-tiba pintu rumah kami didobrak dengan kasar, dan mereka menodongkan sebuah
pistol kepada kami.
“Kalian tidak dapat menyangkal, telah beredar luas
kabar dari masyarakat setempat bahwa kalian telah menerbitkan artikel yang
mengajak mereka untuk menolak membantu Belanda saat Jepang menyerang
pemerintahan. Siapakah yang memberikan kalian otoritas untuk melakukan tindakan
semacam itu, Ha?! Sekarang kalian akan kami tahan di balik jeruji penjara,”
ujar salah satu tentara Belanda dengan amarah yang membara seperti bara api.
Kegelisahan yang selama ini terpendam dalam diriku
mulai merambat dan menggetarkan tubuhku. Pada saat itu, ingatan tentang peristiwa
yang menimpa Anjani tiba-tiba menghampiri pikiranku. Rasa takut akan hal yang
serupa terjadi pada Sayuti pun menghantuiku.
“Dosa itu adalah milikku yang menerbitkan artikel tersebut.
Sayuti tidak ada kaitannya dengan tindakan itu. Kalian boleh mengurungku,
tetapi tolong bebaskanlah suamiku.” ucapku tanpa ragu, tak ingin kejadian yang
Anjani sampai terulang lagi. Bagiku, kehadiran Sayuti lebih dibutuhkan oleh
para aktivis pergerakan kemerdekaan, maka lebih baik aku saja yang menyerahkan
diri. Sesaat, aku berbalik menghadap Sayuti dengan senyuman di wajahku seolah
mengatakan, “Segalanya akan baik-baik saja.” Terlihat sorot mata yang
memandangku dengan kesedihan yang dalam, seakan-akan menyiratkan sebuah cerita
pilu yang tersembunyi.
Setelah mendengar pengakuanku, pistol yang tadinya
mengarah pada kami akhirnya merunduk. Mereka mengikat tangan-tanganku dengan
tali dan menyeretku keluar dari rumah, meninggalkan Sayuti sendirian di dalam
sana. Mereka mendorong tubuhku ke dalam sel tua yang kelam, sungguh kejam.
Diriku terjatuh sambil memeluk perutku, berusaha melindungi anugerah yang telah
aku kandung selama tiga bulan. Waktu berlalu begitu cepat, enam bulan terlewati
dan aku merasakan rasa sakit yang tak tertahankan seperti duri yang menusuk
perutku, menandakan saatnya anakku datang ke dunia ini.
“Oeeee...Oeeee...,” air mataku mengalir seperti
hujan saat suara yang telah lama aku harapkan itu memenuhi telingaku, mengisi
hatiku dengan kegembiraan yang tak terhingga.
“Anakku sayang, maafkan ibu karena harus
melahirkanmu di tempat yang tak layak ini, tapi ibu berjanji akan melindungimu
dan menciptakan masa depan di mana kamu akan menikmati kebebasan,” ucapku
seraya mencium lembut kening sang buah hati.
Sehari setelah melahirkan, Belanda mengalami
kekalahan yang memilukan dalam menghadapi Jepang sehingga pada saat itu
pemerintahan diambil alih oleh mereka sepenuhnya. Akhirnya, seperti burung yang
dilepas dari sangkar, akupun dibebaskan dari penjara yang telah membelenggu
diriku selama ini. Namun, kebebasan itu seperti bunga semu yang hanya mekar
sesaat karena Jepang ingin memperoleh simpati atas segala kebaikan yang mereka
pura-pura lakukan, seolah-olah tak ada yang mengetahui rencana kelam mereka di
masa depan. Sampailah aku di depan rumah yang sudah lama kurindukan, kala itu
bertepatan Sayuti sedang membaca sebuah koran di halaman teras. Kuhampiri dia
sambil menggendong anakku dengan kegembiraan hati yang meluap-luap.
“Sayuti! Lihatlah ini anak yang sudah kita
tunggu-tunggu kehadirannya,” ucapku seraya menahan air mata bahagia. Kulihat
Melik yang terkejut melihat kehadiranku sekaligus terharu dan langsung
memelukku.
“Maaf Murti, semua ini karena kelalaian diriku yang
membuatmu harus mengalami kesulitan seperti ini dan terima kasih atas
perjuanganmu melahirkan anak kita,” ujar Sayuti sambil mengelus pucuk kepala
sang buah hati. Aku hanya tersenyum sembari melihat nafas anakku yang teratur.
Tiba-tiba terlintas sebuah nama di benakku.
“Sayuti, bolehkah aku memberinya nama—Musafir Karma
Budiman?” ucapku antusias seolah menemukan nama yang sangat tepat.
“Tentu saja boleh. Nama itu begitu indah, semoga
kelak dirinya dapat menjadi sosok laki-laki yang bijaksana seperti namanya,”
ujar Sayuti sambil menatap mataku. Tak dapat dipungkiri, dalam matanya sekarang
terisi kebahagiaan yang dulunya sempat hilang.
Beberapa bulan kemudian, aku dan Sayuti memulai
perjalanan kami dalam merintis sebuah majalah bulanan yang bernama Pesat.
Kami berharap majalah ini akan menjadi sumber inspirasi dan semangat perjuangan
bagi rakyat Indonesia dalam menggapai kemerdekaan yang gemilang, seperti elang
yang melayang bebas di angkasa.
***
Tahun
1942, tiga tahun kemudian, seperti sebuah keajaiban yang tak terduga, aku
diberkahi dengan kelahiran seorang anak laki-laki lagi—Heru Baskoro, itulah
namanya. Seperti sinar matahari yang menerangi hidupku, kehadirannya memberikan
kebahagiaan yang tak terhingga. Namun, tak lama setelah kelahiran putraku yang
kedua, datanglah peraturan yang ditetapkan oleh pihak Jepang dengan tegas dan
tanpa ampun. Mereka mengharuskan semua jenis barang cetakan, termasuk majalah,
untuk memiliki izin publikasi dan izin terbit. Selain itu, mereka juga melarang
segala bentuk pergerakan nasionalisme atau anti-Jepang. Majalah-majalah Belanda, majalah
Indonesia, bahkan majalah berbahasa Tionghoa, semuanya dilarang untuk terbit
dan terkunci dalam belenggu keheningan yang mematikan. Seakan-akan matahari
yang terbenam, cahaya informasi dan kebebasan berbicara pun tenggelam dalam
gelapnya penindasan.
Dalam keputusan yang tak terelakkan, majalah yang
telah kami bangun dengan keringat dan kerja keras juga harus merasakan getir
pahitnya nasib. Seperti bunga yang layu karena kekurangan air, majalah kami
harus berhenti terbit. Padahal, saat itu majalah Pesat telah menjadi
sumber informasi harian yang tak tergantikan bagi masyarakat.
“Sayuti, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
tanyaku dengan suara penuh kekhawatiran, seakan terdampar di lautan
keputusasaan.
Sayuti menatapku dengan tegas, “Kita tidak boleh
menyerah begitu saja. Seperti pahlawan yang tak kenal lelah, kita harus mencari
celah dan jalan pintas untuk tetap menyampaikan suara masyarakat, meskipun
dalam situasi yang kelam ini,” perkataan Sayuti menggetarkan hatiku, seperti
kilat yang menyadarkanku bahwa ini bukanlah pertama kalinya aku berjuang
melawan kesulitan. Dalam momen itu, tekadku semakin menggelora, membara seperti
bara yang tak terpadamkan, untuk meraih kemerdekaan yang kini semakin dekat.
Kami berdua saling bertatap, penuh keberanian dan
semangat yang membara, siap melawan gelombang ketidakadilan yang menghantam.
Meskipun majalah Pesat terpaksa harus berhenti terbit, semangat kami
untuk memberikan informasi yang bermanfaat dan memperjuangkan kebenaran tidak
akan pernah pudar, sebagaimana api yang tetap menyala di tengah kegelapan
malam.
Dalam kegelapan yang menyelimuti, suatu keajaiban
yang tak terduga melanda hidupku saat Bung Karno meminta diriku untuk bergabung
dalam perkumpulan Jawa Hokokai dan Putera. Aku dengan setia menjalankan
tugas-tugas yang diberikan oleh beliau, berjuang dengan semangat yang
berkobar-kobar untuk meraih kemerdekaan. Dalam pengawasan yang tajam dari pihak
Jepang, aku melangkah dengan hati-hati, menyusup dalam kegelapan, dan
menyembunyikan jejak-jejak perjuangan ini, seolah menjadi bayangan yang tak
terlihat.
***
Tahun
1945, tepat sebelum sang kemerdekaan menjelang, aku, para pejuang aktivis
pergerakan kemerdekaan, termasuk Sayuti, berkumpul di sebuah rumah yang menjadi
milik seorang perwira tinggi Jepang yang memiliki kepedulian mendalam terhadap
penderitaan rakyat Indonesia—Laksamana Tadashi Maeda. Dalam sekejap, Bung Karno
dan Bung Hatta datang menyusul setelah mengalami peristiwa penculikan yang
dilakukan oleh golongan muda. Aku dan Sayuti, pada saat itu termasuk dalam
golongan muda yang gigih mendesak Bung Karno untuk segera membebaskan Indonesia
dari belenggu penjajah yang menghimpit, sehingga kami turut terlibat dalam
penyusunan strategi penculikan tersebut, dengan harapan agar Bung Karno dapat
terhindar dari pengaruh Jepang yang menginginkan bantuan untuk melawan pasukan
sekutu.
“Silakan melangkah ke dalam, di mana ruangan ini
menjadi tempat yang terlindungi dari ancaman Angkatan Darat Jepang. Di sini,
kalian dapat mengadakan perbincangan mendalam mengenai proklamasi kemerdekaan,
dengan jaminan bahwa keselamatan kalian akan terjaga sepenuhnya,” ujar Laksamana
yang ditujukan pada kami, seakan-akan menerangi langkah kami dalam perjalanan
menuju kebebasan.
“Dengan sepenuh hati, kami mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga atas kebaikanmu yang tiada tara. Keberanianmu untuk membuka
pintu rumah ini bagi kami akan selalu kami kenang dan terpatri dalam ingatan
kami,” ujar Bung Karno dengan bijaksana, mewakili kami semua yang hadir di
sana.
Malam itu, suasana sunyi dan menegangkan menjadi
saksi bisu dari detik-detik bersejarah yang menghampiri, seolah-olah waktu itu berhenti
sejenak untuk memberikan ruang bagi perjuangan yang tak tergoyahkan menuju
kemerdekaan yang hakiki. Seperti lukisan yang diwarnai oleh keberanian dan
semangat juang, naskah proklamasi itu ditorehkan dengan tangan yang penuh
semangat oleh Bung Karno, dan kemudian diabadikan melalui ketikan mesin oleh
Sayuti, suamiku yang setia. Seolah jari-jarinya menjadi pena yang mengukir
takdir bangsa, mengguratkan harapan dan cita-cita yang tak terhingga, seiring
dengan dentingan mesin yang menggema seperti simfoni kebebasan.
Esok harinya, sinar matahari mulai memancar dengan hangat,
seakan menyinari langkah-langkah kami yang sibuk menyusun persiapan megah untuk
upacara proklamasi kemerdekaan. Sebagai aktivis kemerdekaan yang penuh
semangat, kami telah sepakat bahwa naskah proklamasi akan diungkapkan dengan
gemilang oleh sosok yang tak tergantikan yaitu Bung Karno. Namun, masih
terdapat satu peran yang belum ditentukan, yaitu petugas yang akan mengibarkan
bendera merah putih dengan gagah berani.
Tiba-tiba, suara Bung Karno memecah keheningan, “Murti,
kowe wae sing dadi petugas pengerek bendera,” ucapnya dengan tegas,
menunjuk ke arahku.
Namun, tanpa ragu sedikitpun, aku menolak dengan
lembut, “Mboten Bung, miturut kula luwih becik yekti yening Latief ngemban
tugas mulia iki. Beliau iku sosok ingkang sampun berjuang ing medan perang
minangka anggota PETA,” spontan kata-kata itu meluncur dari bibirku,
mengalir dengan keberanian yang tak terduga.
Bagiku, Latief yang telah berjuang dengan penuh
dedikasi di medan pertempuran, layak menerima kehormatan sebagai pengibar
bendera Indonesia untuk pertama kalinya. Didampingi oleh Suhud Sastrokusumo,
Latief maju dengan langkah tegap sebagai sosok yang akan mengibarkan bendera
Indonesia dengan kebanggaan yang membara. Namun, tak berhenti sampai disitu,
Bung Karno memberikan tugas yang tak kalah penting kepada diriku, sebagai
pembawa bendera Indonesia. Dengan rendah hati, aku menerima tugas tersebut,
merasa terhormat dan siap untuk melaksanakannya dengan penuh kebanggaan.
Di hadapan para pejuang kemerdekaan Indonesia, serta
disaksikan oleh rakyat pribumi yang penuh harap, upacara yang mulia dimulai
tepat pada pukul 10.00 WIB. Pelaksanaan pengibaran Sang Saka Merah Putih
berlangsung dengan keharmonisan yang begitu memukau, seolah-olah bendera itu
sendiri berdansa dengan anggun di atas tiangnya yang gagah.
Tiba saat yang ditunggu-tunggu, ketika Bung Karno dengan
suara yang menggelegar, memulai pembacaan proklamasi yang penuh makna.
Kata-kata yang terucap dari bibirnya seolah menjadi nyanyian kebebasan yang
mengalun merdu di telinga setiap pendengar. Suara lantangnya menggema di
seantero negeri, membangkitkan semangat dan kebanggaan dalam dada setiap warga
Indonesia.
Dalam momen yang magis ini, seakan waktu berhenti
sejenak, dan seluruh hadirin terhipnotis oleh kekuatan kata-kata yang diucapkan
oleh Bung Karno. Seperti aliran sungai yang mengalir deras, proklamasi itu
menembus batas-batas ruang dan waktu, menggetarkan jiwa dan menyatukan hati
setiap individu yang hadir.
“MERDEKA!! MERDEKA!! MERDEKA!!,” seruan rakyat
Indonesia atas kemerdekaan yang baru saja dideklarasikan, suara yang
mengungkapkan kegembiraan dan semangat juang mereka dalam meraih kemerdekaan.
Aku merasa seperti burung yang terbang bebas di
angkasa setelah melalui perjuangan yang panjang, negeri ini akhirnya merdeka
dari belenggu penjajah. Tak lupa dalam perjalanan meraih kemerdekaan itu, aku dipertemukan
dengan seorang guru, suami, dan sahabat yang tak tergantikan, sosok Bung Karno,
Sayuti, dan Anjani. Mereka adalah sumber inspirasi yang memberiku keyakinan
untuk terus berani mengekspresikan diri melalui tulisan-tulisan yang aku hasilkan.
Sejak saat itu, aku dianggap sebagai sosok yang tak
kenal lelah dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak-hak kaum
tertindas, terutama perempuan, melalui karya-karya jurnalistik dan pengabdianku
sebagai seorang aktivis kemerdekaan. Aku telah membuktikan bahwa sejarah tidak
hanya menjadi milik laki-laki semata. Ada keseimbangan yang indah antara
laki-laki dan perempuan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Keduanya hadir
secara bersamaan, saling melengkapi, dan memberikan kontribusi yang berarti
dalam setiap babak sejarah yang terukir.
Seperti aliran sungai yang tak terbendung,
tulisan-tulisan dan perjuanganku mengalir dengan kekuatan yang tak terhentikan.
Aku menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, mengangkat isu-isu yang
terabaikan, dan memperjuangkan hak-hak yang terlupakan. Dalam setiap kata yang
terpatri dalam tulisanku, aku mencoba menghidupkan semangat keadilan,
kesetaraan, dan kebebasan.
Dalam perjalanan ini, aku menyadari bahwa tulisan
memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti pedang yang tajam, kata-kataku mampu
menembus batas-batas yang mengikat dan membuka mata orang-orang terhadap
ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka. Aku akan lebih berusaha untuk
mengubah dunia dengan tulisanku, menginspirasi orang-orang untuk berani
berbicara dan bertindak demi perubahan yang lebih baik.
Namun, perjalanan ini tentu tidak akan mudah. Aku
harus melawan angin dan gelombang yang menghadang, menghadapi cemoohan dan
celaan dari mereka yang tak setuju dengan pandanganku. Namun, aku tidak gentar.
Seperti pohon yang teguh berdiri di tengah badai, aku tetap kokoh dalam
keyakinanku dan terus melangkah maju.
Dalam setiap kata yang terucap, aku berharap dapat
menginspirasi generasi-generasi mendatang untuk terus berjuang demi kebebasan
dan kesetaraan. Aku ingin mereka tahu bahwa sejarah tidak hanya tentang peran
pria, tetapi juga tentang perempuan yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan
hak-haknya. Aku ingin mereka mengerti bahwa tulisan memiliki kekuatan untuk
mengubah dunia, dan mereka memiliki kekuatan itu di tangan mereka sendiri.
Tidak ada komentar: