PERAHU NAPAS
PERAHU NAPAS
Karya: Yustine Juneytalenta
Dewasa ini rasanya jagat kepala makin celaka, gundah dipaksa memutuskan
pilihan sedang masalah kemarin belum usai juga. Gadis wira itu tumbuh sejalan
dengan berbagai pertanyaan yang kian lama bukan kian pudar, justru mengedar.
Palung tanya kian lama kian dalam, bukankah menyeramkan jika tenggelam di
dalamnya? Bantuan dari luar pun tak akan makbul sepertinya.
Jum’at 2 Juni 1961. Surakarta bergeming dari ramai galibnya, tak biasa.
Sedang cuaca cerah, nampak lekuk-lekuk kota berhias gundukan tanah tinggi nun jauh
di sana. Gunung Lawu nampak pasif, hanya awan-awan sekitarnya yang riuh lantak
bergerak mengikut cuaca apa yang datang hari itu juga. Karena cerah, awan-awan
itu pergi pada ketiadaan sehingga lekuk ujung gunung itu nampak begitu jelas.
Bangunan di seberang jalan sana, bangunan yang ripuh akan tulisan tak
berestetika namun manakala dapat mengugah semangat pelik di dada pembacanya.
“Lebih baik mandi darah daripada dijajah”, “Vaan Mook, No! Soekarno, Yes!”,
“Indonesia for Indonesian.” Pun juga di tempat tersebut tumbuh legenda,
konon katanya di tiap denting jam pukul 11 malam akan nampak sesosok manusia
dengan kepala tanpa rupa dengan tinggi 3 kali tinggi pemuda pada umumnya. Tak
ada yang tahu tepat satuannya tingginya, terlampau gerun untuk mencoba.
“Itu adalah arwah serdadu Jepang yang tak terima atas kemerdekaan
Indonesia!” Ucap seorang anak laki-laki murid dari SMT sekitar bangunan
tersebut.
Entah memang itu adalah delusi yang timbul karena gelora euforia
berlebih bahwa kini Indonesia bukan merupakan daerah jajahan bangsa asing, atau
memang begitu adanya. Barangkali anak laki-laki tersebut telah melakukan
diskusi panjang melebihi diskusi perjanjian Renville untuk menguak identitas
sesungguhnya sang makhluk tanpa rupa.
Jalan raya kala itu makin ramai dirasa, banyak orang di tepi jalan
tersebut mendongakkan kepala. Mencari-cari sesuatu di atas sana. Nampak
iring-iringan pesawat asing melalui kota kecil itu. Pesawat asing itu
berformasi terbang menuju arah selatan, kalau pesawat tersebut bermatlamat untuk
membumi di Indonesia, pastilah Yogyakarta tujuannya.
Para kerumunan menduga-duga apa yang terjadi. Beradu asumsi satu sama
lain akan hal penting apa yang sedang terjadi. Pesawat tersebut mengudara cukup
dekat, berarti sebentar lagi pesawat itu akan benar-benar membumi di Yogyakarta
sana.
“Mungkin Soekarno sebentar lagi akan berhasil merebut Papua!” Seru
seseorang di kerumunan tersebut.
Apa yang dikatakan orang tersebut tak sepenuhnya keliru, pesawat udara
asing yang melintas langit Surakarta menit lalu ialah hasil perundingan dagang
Jenderal A. H. Nasution dengan Uni Soviet. Demi terwujudnya diplomasi
pembebasan daerah Papua untuk dijadikan boneka oleh Belanda, fakta bahwa dengan
digemakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan berarti seluruh Hindia-Belanda
telah bebas tak terelakkan. Namun, usaha para pahlawan untuk kebebasan mutlak
Indonesia dari jajahan masih berlangsung. Maka diadakan Tri Komando Rakyat di
alun-alun Yogyakarta ini agar sang saka dapat melambai bebas di tanah Papua.
Harga yang disepakati oleh Uni Soviet dan Indonesia pun membuat hampir
semua rakyat jelata menerima imbasnya. Negara yang lahir kemarin sore seperti
Indonesia tentu belum memiliki perekonomian yang stabil, akibatnya, kemiskinan
semakin meronta di tiap daerahnya. Memang bagi para priyayi tak ada bedanya,
daging masih menjadi sarapan mereka tiap harinya sedang para rakyat jelata
mengemis pada Tuhan untuk sesuap nasi sebagai entah itu sarapan, makan siang,
maupun makan malam, yang terpenting dalam sehari itu setidaknya sesuap nasi
dapat ditelan.
“Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tak akan membiarkan bawahannya
menderita sekalipun selama ia menjabat, tak ada dalil bahwa seorang pemimpin
harus menambah kuantitas bawahannya selama ia menjabat,” seseorang dari
kerumunan tersebut berkata.
Tersita atensi beberapa orang pada perkataan tersebut, terlebih mereka
yang berpikir bahwa apa yang mereka rasakan saat ini sepadan dengan apa yang
akan mereka dapatkan kelak. “Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan, Soekarno
bukan orang dengan pikiran sebutut itu hingga sengaja membiarkan kita kelaparan
tiap harinya. Ia orang hebat! Tak sepadan dengan kau dan omong kosongmu yang
seolah-olah kau bisa mencais negara ini dalam kepalan tanganmu sendiri!”
Keributan terjadi, pro dan kontra bertikaian satu sama lain di tanah
yang sama. Para wanita berlarian membawa bayi dan anaknya menjauh dari hantaman
fisik para massa yang sedang murka akan perbedaan pendapat yang ada. Surakarta
makin suram meski terik matahari sedang ganas-ganasnya, tigaribu matahari tak
akan mampu mengusir sebam Surakarta yang sedang mengamuk massanya.
“Tuhan membisikkan damai pada telinga umatnya, maka celakalah bagi
mereka yang menyangkal pun menentang firman-Nya.”
“Napas itu ibarat perahu yang hanya dapat ditumpangi oleh satu orang,
orang yang memiliki bahtera itu sendiri. Sedang nahkodanya pun harus sang
pemilik itu sendiri, begitulah dalil kehidupan yang sebenar-benarnya. Manusia
hidup harus dalam kendalinya sendiri, satu-satunya yang boleh mengendalikannya
ialah yang Maha Suci Tuhan, bukan manusia lainnya. Jangan pernah menjadikan
dirimu sendiri seorang budak akan manusia lain yang lebih tinggi kuasanya
darimu.”
Monolognya, seorang gadis wira yang tumbuh dewasa beriringan dengan berbagai
pertanyaan tentang dirinya sendiri. Apakah ada hal yang lebih buruk dari tidak
mengetahui siapa orang tua kandungnya sendiri? Jangankan rupa, asma saja ia tak
tahu. Gadis wira dengan nama Pitaloka Nusantari itu kini sudah menginjak kepala
dua, menjadi mahasiswi yang harus membagi waktunya untuk memikirkan tugas dosen
dan berbagai pertanyaan mengenai orang tuanya itu tidak mudah. Selain pikiran,
batin pun terkuras dibuatnya. Perasaan mengapa ia harus lahir sebegitu
malangnya ibarat hantu yang enggan pergi.
Kepada siapa ia harus menjejalkan semua rasa tanya yang melahapnya
perlahan-lahan ini? Sanak kerabatnya yang masih tersisa tinggal lah kakek dan
neneknya. Sang nenek sudah lama hilang kemampuan untuk sekadar berdiri dari
ranjangnya, sedang kakeknya tak lebih sangat baik dari sang nenek, setidaknya
masih bisa berjalan. Mengurus dua orang lansia sedang di sisi lain ia juga
seorang mahasiswi bukanlah hal yang remeh. Terlebih sumber harta yang mereka
punya satu-satunya berasal dari pensiunan kakek sebagai tentara sebelum
kemerdekaan digemakan di seluruh pelosok Hindia-Belanda.
Tari sejak kecil dirawat oleh kakek dan neneknya, dewasa di lengan
orang yang tidak melahirkannya sungguh pelik rasanya. Kemana perginya Bapak dan
Ibunya? Apakah mereka enggan menjadikan Tari bagian dari hidupnya? Atau kedua
orang tuanya telah direnggut nyawanya jauh sebelum Tari lahir?
Tari kecil tak pernah menanyakan kebenaran mengenai orang tuanya,
baginya, hidup di dekapan Nenek dan Kakek itu tak buruk juga. Hingga akhirnya
Tari dewasa dan pengasuhnya jatuh sakit. Hanya buku tebal nan lebar berisi
foto-foto ketika Nenek dan Kakeknya masih muda, serta Ibunya yang masih berusia
belasan itu yang tersisa. Bahkan foto-foto tersebut mulai pudar dari warnanya,
rupa-rupa di dalam foto tersebut tak lagi nampak. Tari hanya tahu raga siapa
yang tertangkap foto itu karena Neneknya memberi tahunya saat ia kecil dulu.
Gadis wira itu kembali membuka lembaran demi lembaran kertas kuning
kecokelatan album foto tersebut, memoar yang tak memberi banyak jawaban atas
perkaranya ini setidaknya sedikit memberinya kehangatan pelik. Meski dipeluk
orang tua hanyalah mimpi di tiap tidurnya.
Dari foto monokrom tersebut pula nampak dua buku aneh dengan rona
benderang, Tari pernah menanyakan kedua pengasuhnya buku apa yang dipegang
sosok Ibunya ketika muda ini.
“Ibukmu seneng maca, seneng banget karo seng jenenge buku. Nang
endi-endi nggawani buku.”
Namun ketika Tari bertanya buku apa yang ibunya pegang di sela
jemarinya ini, Kakek dan Neneknya akan menggelengkan kepala menandakan ketidak
tahuan.
Hari ini, seusai membantu Nenek dan Kakeknya membersihkan diri dan
sarapan, Tari berangkat kuliah. Kakeknya sempat memberinya pesan untuk mampir
ke toko terbengkalai yang mereka miliki di pasar sekitar Surakarta, Pasar
Triwindu. Sang Kakek dan Neneknya memberinya kendali penuh atas toko tersebut
untuk dikelola, sebenarnya hal ini sendiri merupakan sebuah isyarat agar Tari
memiliki sendang duitnya sendiri. Karena dalam waktu dekat, perahu napas sang
Kakek dan Neneknya pasti akan berhenti berlayar, segera.
Pasar Triwindu berada cukup intim dengan jantung kota Surakarta, toko
milik Kakek dan Neneknya berada di tepi jalan raya, tak perlu menjelajah ke
dalam pasar untuk menemukannya. Tempat yang cukup strategis, mengingat toko
tersebut dekat dengan gedung para priyayi yang kerap mampir ke sekitar ketika
sedang rehat bekerja. Sepertinya gerai makanan dan minuman saja sudah cukup
memberi cuan bagi pekerja toko tersebut.
Surya hari ini tak begitu terik seperti lazimnya di musim kemarau,
justru awan pirau yang terlihat di dirgantara Surakarta. Tari sedikit lega akan
hal ini meski besar kemungkinan ia terjebak di toko ini lantaran hujan,
setidaknya ia hanya akan berpeluh karena lelah membereskan kekacauan di dalam
toko tersebut, bukan juga karena terik panas sang surya.
Toko benar-benar kacau isinya, banyak kain-kain cacat di makan rayap.
Alat-alat dari besi telah berkarat karena suhu di dalam toko yang cukup lembab
lantaran atap toko yang bocor di beberapa titiknya. Setidaknya masih ada
sedikit alat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan gerai baru yang akan
dibukanya.
Tari membereskan keruwetan toko ini seorang diri, kecuali untuk
menambal atap toko. Ia meminta tolong tetangga rumahnya yang biasa membantu
keluarganya ketika ada atap rumah yang bocor, tentu saja Tari memberi upah
kepadanya selain secangkir kopi dan rokok.
Ah, Tari jadi teringat istri dari tetangganya ini yang tempo hari lalu
mengeluhkan suaminya yang benar-benar kecanduan rokok. Kansas, rokok lokal
pertama yang memang sedang naik daun pada masa itu memang berhasil menggaet
banyak peminat. Sudah mahal, bea cukai rokok pada masa itu juga sedang
melonjak. Perekonomian mereka yang terhitung biasa saja jadi terbanting karena
hobi baru sang suami itu. Uang yang bisa digunakan untuk membeli keperluan sang
anak yang masih balita itu malah dipakai untuk memuaskan kecanduan rokok sang
suami.
Tari tak tahu apakah permasalahan suami istri itu telah khatam atau
belum, namun ada suatu malam Tari mendengar suara piring pecah dan alat masak
seperti panci yang jatuh berhamburan disusul dengan suara teriakan perempuan
dari rumah mereka. Tak terdengar jelas apa yang diteriakkan sang istri, namun
setelah itu Tari jarang melihat tetangganya ini merokok. Yah, kadang masih
melihat sih ketika istrinya sedang pergi.
Seminggu setelah pertama kali kedatangan Tari, toko itu sudah nampak
bersih dan layak untuk dipakai. Gadis wira itu telah mendiskusikan rencananya
untuk membuka kedai makanan di ruko tersebut, Nenek dan Kakek menyetujuinya.
Memberinya satu kunci lagi, kunci yang berbeda dari kunci yang dipakai untuk
membuka toko tersebut.
Usut punya usut, ternyata masih ada satu lagi ruang di toko tersebut.
Tari kira, pintu tersebut merupakan batas dengan toko lain. Ruang tersebut
nampak seperti kamar, dan ruang kecil di dalam kamar tersebut ialah kamar
mandi. Dengan dibersihkannya ruang ini sepertinya Tari akan lebih sering
menghabiskan waktunya di toko. Toh, jarak toko dan tempat ia berkuliah juga tak
memakan waktu lama, paling tidak 15 menit jika menaiki sepeda.
Tari memandangi ruang tersebut sebelum mulai memilah barang mana yang
akan ia buang, jual kepada pengepul, maupun ia pakai kembali. Tak banyak barang
yang ada di dalam ruang sempit tak berjendela itu. Hanya seonggok kasur yang jelas
tak layak pakai lagi, almari kecil berisi buku yang kebanyakan telah dimakan
rayap isinya.
“Tentang Tikus dan Manusia”, “Mata Mereka Mengawasi Tuhan”, “Dunia Baru
yang Berani”, dan yang terakhir “Bumi yang Baik.” Buku-buku masyhur pada eranya
itu menyisakan dua saja yang cukup mampu dibaca, yaitu “Bumi yang Baik” dan
“Mata Mereka Mengawasi Tuhan.” Tari membersihkan buku-buku tersebut dari debu
dan beberapa hewan melata lainnya, lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Dua buku
tersebut akan ia baca ketika ia sampai rumah.
Dalam kurun waktu tiga hari, ruangan tersebut nampak bersih dan layak
dipakai kembali. Tari duduk bersandar pada dinding bata toko tersebut. Membuka
satu per satu buku yang ditemunya, tiga buku yang ditemunya hanya dapat dibaca
duapuluh sampai empatpuluh halaman saja. Sementara dua buku yang lain hanya dua
sampai delapan halaman saja yang rusak, cukup pelik padahal mereka ditempatkan
di rak yang sama.
Bumi yang Baik sendiri merupakan hasil terjemahan dari buku “The
Good Earth” oleh Pearl S. Buck, dan “Their Eyes Were Watching God”
yang mana merupakan karangan dari Zora Neale Hurston. Kedua karya tersebut
merupakan karangan sastrawan asing yang diterjemahkan, terbit di atas tahun
1930-an dan cukup sukar ditemukan di era sekarang terlebih versi terjemahannya.
Dengan segala kesibukan yang ada, Tari berhasil menyelesaikan dua buku
tersebut dalam waktu lima hari. Dan dalam lima hari itu pula ia mulai menyadari
kejanggalan yang ada di dalam buku tersebut, di buku “The Good Earth”
halaman yang separuhnya dimakan rayap hanyalah halaman dua dan tiga yang masih
satu kertas, serta halaman enam dan tujuh yang juga masih satu kertas. Semua
kertas yang dimakan rayap tersebut masing-masingnya masih satu halaman. Dan di
buku “Their Eyes Were Watching God” pada kata pengantarnya terdapat
kalimat “R A K” yang ditulis menggunakan tinta agak pudar.
Tari segera pulang dari toko tersebut, mendadak atmosfir sekitar toko
terasa runyam. Ia ingat bahwa di kamar Neneknya, terdapat rak cukup besar
berisi buku-buku lain yang terkadang Nenek dan Kakeknya baca ketika senggang.
Rak tersebut berisi buku sekurang-kurangnya ialah 50 buku.
Tari mulai menghitung buku nomor duapuluh enam, dan tigapuluh tujuh
dari pojok kanan atas, pojok kanan bawah, pojok kiri atas, dan pojok kiri
bawah. Gadis itu menemukan beberapa buku, dibukanya satu persatu buku yang
telah diambilnya. Dan ada salah satu buku yang ketika dibuka banyak kertas
usang kuning kecokelatan di dalamnya, kertas tersebut telah dilipat-lipat dan
dijejalkan di sela-sela halaman bukunya.
Kota tak pernah jauh dari penyakitnya, penderitaan itu benar
sekaligus mutlak adanya. Perjanjian Linggarjati sebagi markahnya. Jepang
benar-benar ingin memangku Hindia-Belanda baik segara maupun persil, segalanya
diraup tanpa sisa di jemarinya. Orang-orang mungkin girang dengan
kalimat-kalimat cantik Jepang bahwa merekalah sang penyelamat, lupakah mereka
memang seperti itulah matlumat para pencuri. Luka mereka oleh Belanda ibarat
surut akan kedatangan segerombol pencuri yang menamai diri mereka “Cahaya
Asia.” Jepang ingin menjadi penggembala sedang Hindia-Belanda ialah kambing
gembalanya.
Surat dengan kebencian akan Jepang yang membeludak itu cukup membuat
bulu kuduk pembacanya berdiri, surat ini sepertinya dicipta oleh saksi dari
kejadian yang diceritakan itu sendiri.
Pencuri itu membawaku paksa ke interneringskamp, mereka menemukan
surat berisi tafsiranku atas dosa yang telah mereka perbuat selama ini. Mereka
menduga aku mendukung Belanda untuk kembali berpijak di bumantara ini, selain
pencuri, mereka juga anti-kritik dan terlalu cepat menyimpulkan. Sepertinya
otak mereka sudah jatuh ke lutut lantaran terlalu sering berdansa riang
merayakan kemenangannya dalam merebut Hindia-Belanda.
Interneringskamp, kamp konsentrasi buatan Jepang untuk menampung orang
Belanda maupun orang yang dianggap pro Belanda. Namun tak jarang orang Indo
dengan fisik hampir menyerupai orang Belanda dimasukkan ke dalam kamp tersebut,
Jepang benar-benar amblas dalam melahap sisa-sisa Belanda.
Pagi itu datang kertas propaganda untuk para wanita bekerja, tak
jelas apa yang akan dikerjakan. Namun para wanita kamp itu bersorak sorai,
menaruh harap bahwa mereka akan keluar segera dari sepetak tanah penderitaan
ini segera. Hampir seluruh warga dari kamp tersebut berebut untuk mendaftarkan
diri pada sekretariat kantor, akupun menjadi bagian dari kerumunan tersebut.
Aku tak akan bekerja, aku hanya akan lari ketika ada celah.
Tari membaca surat lain secara berurutan menurut tanggal yang ditulis
dari yang terlama menuju yang terbaru.
JEPANG KEPARAT!!!!!!
Pekerjaan yang mereka maksud ialah untuk menjadi seorang jugun
ianfu!!!!!! Budak wanita yang bertugas untuk menjadi pemuas hasrat para serdadu
Jepang!!! Aku tak ingin hidup menjadi seorang gundik, maupun seorang Nyai.
Mengandung anak ras asing bukanlah suatu kebanggan bagiku, terlebih aku tak mau
mengandung bayi buah dari orang selain suamiku yang sah secara hukum!
Aku berhasil kabur kala seorang serdadu gemuk hampir menodaiku,
dengan badan segempal itu ia tak akan mengejar kecepatan badan mungilku ini.
aku sempat berpikir, jika mengejarku saja tak mampu lantas apa fungsinya ia
menjadi serdadu di tanah jajahan negaranya.
Nasib baik aku dapat lari dari kemalangan ini, aku tak dapat
membayangkan teman-temanku di interneringskamp yang gagal kabur dari hasrat
hina para serdadu itu yang seketika melupakan rupa istri dan anaknya di kampung
halaman mereka, menangis di tiap malamnya, merindukan, pun menerka kapan sang
Ayah mereka yang bajingan ini pulang.
Pada masa penjajahan Jepang, tak sedikit seorang gundik (Nyai) yang
dicampakkan setelah dinodai oleh para serdadu. Kecil kemungkinan seorang Nyai
dapat merasakan harta melimpah milik sang serdadu, Jepang itu hanya ingin
mengambil senangnya saja. Habis manis sepah dibuang, peribahasa yang tepat
untuk mengibaratkan perilaku hina itu.
Hari itu aku kembali ke rumah, kulihat Bapak sedang berbincang di
teras dengan lelaki pribumi berpakaian rapih seperti seorang priyayi. Namanya
Samiadji, setelah mengobrol singkat dengannya sore itu di rumah, aku merasakan
kejolak aneh di dalam diriku. Kami sama-sama mengutuk Jepang maupun Belanda
atas kebengisan mereka, tak ada yang lebih baik dalam hal penderitaan.
Rupanya Samiadji ini anggota dari perkumpulan ternama, Budi Oetomo.
Tak jarang mereka mendiskusikan kapan dan bagaimana penjajahan oleh bangsa
asing ini usai, dan kapan setiap jengkal Hindia-Belanda merasakan kemerdekaan
mutlak. Samiadji terlihat sumringah menceritakan impiannya untuk melihat dunia
tanpa penjajahan baik kolonialis maupun imperialis.
Aku pun ikut senang dibuatnya, entah mengapa aku tiba-tiba melupakan
luka yang tertanam lalu karena hendak dijadikan budak hasrat oleh serdadu
Jepang yang nampak gemuk berlebihan itu. Tari tertawa ketika membacanya,
“itu tandanya kau sedang jatuh cinta, bodoh!”
Samiadji sering menyempatkan diri untuk datang ke rumah, seusai
berundingan dengan Bapak mengenai suatu hal yang aku sendiri tak tahu apa. Dia
akan menanyakan kepada Bapak di mana aku berada, dan Bapak akan memanggilku
untuk keluar dari kamar. Akhir cerita, aku dan Samiadji akan bertukar imajinasi
mengenai dunia tanpa perampasan paksa seperti ini.
Namun hari itu berbeda, di pertemuan ketujuh kami, Samiadji
membawakanku buku tebal. Buku untukku membaca ketika ia sedang jauh dan tak
sempat kemari, katanya. Waktu itu Samiadji membawakanku dua buku berjudul “Bumi
yang Baik” dan “Mata Mereka Mengawasi Tuhan.”
Beruntung aku menamatkan pendidikanku di MULO dengan baik, jadi aku
tak memiliki kendala dalam mengeja rentetan kata dan kalimat ini. Nampaknya,
hari-hariku akan kuhabiskan dengan membaca buku pemberian Samiadji ini.
Tari bergeming, buku yang disebutkan sang penulis sama dengan buku yang
ia temukan di gerai bekas milik Kakek dan Neneknya.
Jepang menemukanku lagi, mereka menangkapku ketika aku sedang
berbelanja di pasar dekat rumahku. Mereka melacak penulis dari tulisan singkat
berjudul “Jepang dan Hasratnya Untuk Menjadi Penggembala” yang dimuat di salah
satu koran beberapa hari lalu.
Mereka membawaku pada penjara di bawah gedung megah bernama Lawang
Sewu. Aku ditempatkan di salah satu sel dengan tinggi yang tak dapat
kuperkirakan pendeknya, yang mana aku sendiri harus jongkok
sejongkok-jongkoknya ketika berada di dalam. Bahkan ada waktu di mana para
serdadu itu mengiringku ke dalam ruangan yang lebih sempit lagi, dan mengisi
ruangan tersebut dengan air setinggi leherku. Dengan sengaja membuatku mati di
antara 2 sebab, kedinginan atau kekurangan oksigen.
Surat ini kutulis semasa aku berada di kamp lain setelah penyiksaan
tersebut, penderitaanku di dalam penjara tersebut telah usai. Saatnya menanti
penyiksaan yang lain.
Jepang memang bengis tiada tara dalam perkara menyiksa tahanannya,
orang yang dianggap kontra akan kedaulatannya. Mereka menaruh trauma mendalam
agar orang-orang tersebut berhenti membelot. Namun mereka salah, mati satu
tumbuh seribu. Ketika mereka berhasil membunuh satu pembelot kedaulatan mereka,
akan tumbuh seribu pembelot lain di waktu yang sama.
Aku berhasil keluar dari kamp tersebut, Samiadji dengan ajaibnya
menemukan diriku di kamp tersebut. Tak ada petugas kamp yang mencegah Samiadji,
ketika kutanya kenapa, Samiadji menjawab ia telah melakukan perundingan dengan
kepala kamp untuk membebaskanku. Gejolak aneh ini kembali menggelora.
Samiadji membawaku pulang ke rumah dengan mobilnya, kusadari ia
bukan priyayi biasa lantaran sedikit orang bahkan priyayi yang memiliki mobil
kala itu. Samiadji menepikan mobilnya, ia hanya diam ketika kutanya ada apa.
Samiadji hanya mengambil sesuatu di bangku belakang kami, sebuah kotak dengan
cincin di dalamnya.
“Ayu, menikahlah denganku.”
“Ayu dan Samiadji…” Tari kembali membuka lipatan kertas yang lain.
Aku dan Samiadji benar-benar menikah, aku sempat mengatakan apa yang
telah kulalui untuk menunjukkan apakah ia benar-benar ingin menikahi wanita
sehina aku. Wanita sekotor aku.
Samiadji menggeleng, “aku mencintaimu apa adanya, tak peduli sehina
apa bagimu dirimu sendiri itu. Aku selalu menerimanya, kau tak sekotor itu. Tak
ada wanita yang hina dan kotor, mereka tanpa terkecuali berhak merasakan
rasanya dicintai. Termasuk kamu, Ayu. Aku sudah tahu apa saja yang terjadi
padamu, bahkan hal yang kamu sembunyikan dari kedua orang tuamu sekalipun. Aku
menghabiskan tiap malamku dan disela pekerjaanku untuk mencari tahu di mana dan
sedang apa dirimu ini.”
Aku tak pernah membayangkan Samiadji akan menaruh rasa padaku juga,
rasanya utopis. Aku, tak tahu apakah ini delusiku saja atau memang ini nyata.
Tari membuka surat selanjutnya.
2 Februari 1941, aku dan Samiadji menikah. Kami legal sebagai suami
istri baik secara agama maupun hukum. Pertemuan singkat di pelataran rumahku
ini membawaku kepada sebuah takdir besar yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya, pernikahan.
Kertas tersebut hilang wujudnya setelah paragraf tersebut, mungkin
dimakan rayap seperti buku-buku yang lain.
1943, dua tahun tahun setelah pernikahan kami, Tuhan menganugerahi
kami seorang anak. Kami menamainya Pitaloka Nusantari, bakal gadis gigih kami.
Aku dan Samiadji sangat menantikan untuk melihat rupa gadis yang kuyakin
rupawan ini.
Satu dari sekian harapanku pada anakku ini, aku ingin dia menempuh
kuliah jurusan sastra Indonesia. Sebenarnya aku pernah berkeinginan untuk
kuliah terlebih di jurusan sastra Indonesia, menjadi lulusan MULO yang tak
pernah mengenyam pendidikan tingkat AMS ini menjadi halangan.
Setidaknya, seorang lulusan MULO dapat menulis tak hanya sekali
tulisan yang berhasil membangkitkan semangat pembacanya sehingga Jepang
berunding untuk menangkapnya. Cukup membanggakan, bukan?
Tari masih bergeming, kini terungkap sudah Ayu dan Samiadji adalah nama
dari kedua orang tuanya. Namun masih ada dua buah kertas tersisa, gadis itu tak
dapat menerka pesan apalagi yang ditinggalkan Ibunya.
Aku mulai aktif menulis untuk mengisi waktu luangku kala Samiadji
sedang pergi bekerja. Aku kembali menulis kritikanku pada Jepang yang bertajuk
“Hukum Jepang ialah Hukum Terburuk dari Neraka.” Percetakan yang pernah
menerbitkan karyaku untuk pertama kalinya setelah aku menikah, menerbitkan lagi
tulisanku.
Namun, entah mengapa firasat buruk mengepungku tiba-tiba setelah
koran dengan tulisanku di salah satu halamannya itu diterbitkan. Berhari-hari
hingga seorang Pitaloka Nusantari lahir, belum ada hal buruk terjadi. Tetapi,
aku masih belum bisa bernapas lega.
Aku berdoa di tiap malamnya semoga tak ada hal buruk terjadi pada
anakku dan suamiku kelak.
Tersisa satu lagi kertas, Tari membukanya sedang jemarinya bergetar
hebat. Menyebut nama Tuhan serta berdoa tak ada hal buruk terjadi pada orang
tuanya.
Surat ini kutulis ketika aku dibawa kembali untuk tinggal di kamp
buatan Jepang sialan itu. aku sempat bertanya pada seorang laki-laki yang juga
dibawa paksa ke dalam kamp tersebut bahwa kita akan diberi siksaan macam apa.
Ia menunjuk ke arah Barat.
“Kita akan menaiki kapal neraka menuju ke Sumatera untuk dipaksa
bekerja membangun rel kereta,” katanya dengan gemetar.
Maka, jika hal ini nyata. Kepada siapapun pembaca dari surat ini,
tolong katakan pada suamiku, Samiadji bahwa aku mencintainya. Katakan pula pada
anakku, Pitaloka Nusantari bahwa cintaku akan selalu bersamanya. Kasih sayangku
akan selalu bersama mereka berdua meskipun tidak dengan ragaku, aku akan selalu
memeluk mereka melalui deru angin yang menerpa. Entah kapan aku akan kembali
berjumpa dengan suamiku dan anakku yang baru empat bulan lalu lahir, semoga
saja Tuhan selalu memberkati segala aktivitas mereka. Sampai jumpa di lain
kesempatan, Samiadji dan Pitaloka. Ibu menyayangi kalian, selalu.
Junyo Maru, kapal neraka yang mengangkut para budak dari segala ras
(tentu saja pribumi mayoritas budaknya) untuk dipekerjakan tanpa henti pada
projek rel kereta api di Sumatera. Ada yang mengatakan bahwa kapal tersebut
diserang dengan terpedo oleh kapal selam milik angkatan laut Inggris ketika
sedang berlayar di Samudera Hindia, daerah kekuasaannya. Mereka tak mengetahui
apa isi dari bahtera tersebut, namun ketika nampak berkibar berdera Hinomaru
melambai, kapal selam tersebut langsung melancarkan serangan.
Tak hanya itu alasan Junyo Maru disebut kapal neraka, bahtera buatan
negara yang kaya ini memiliki fasilitas yang buruk. Bahkan rakit dan jaket
pelampung pun hanya tersedia untuk para kelasi dan perwira Jepang di bahtera
tersebut saja. Banyak penyakit terutama malaria diderita oleh para budak yang
diangkutnya, lantaran tak tersedianya toilet di dalam bahtera maut tersebut.
Hanya disebar beberapa kotak untuk dijadikan tempat mereka buang air besar
maupun kecil, belum lagi mereka harus berdesak-desakan untuk sekedar duduk. Ranjang
susun di kapal tersebut diisi oleh mereka yang lemah dan tak berdaya akan
kesengsaraan tersebut.
Kapal dengan panjang kira-kira 405 kaki dan lebar 53 kaki tersebut
diisi oleh perwira Jepang yang bengis pada budaknya. Penderitaan secara fisik
dan psikis tersebut membuat tak sedikit penumpangnya menjadi gila dan meninggal
perlahan. Namun, apalah arti nyawa para budak bagi mereka.
Hingga pada akhirnya, tanggal 18 September 1944. Bahtera maut bak
neraka tersebut tenggelam di perairan Samudera Hindia, lebih tepatnya Barat
Daya pulau Sumatera, dekat dengan Mukomuko, Bengkulu. Satu dari sekian tragedi
maritim terburuk yang pernah terjadi.
Tari lega kini ia setidaknya tahu siapa orang tuanya, bagaimana sesosok
Ibu dan Bapaknya, serta kejelasan apakah Ibunya masih bernapas, atau sudah
tiada. Kertas tersebut ditulis pada tanggal 17 September 1944, tertanda kecil
di pojok kertasnya. Tak ada kertas lain, besar kemungkinan bahwa Ibunya
benar-benar ikut tenggelam bersama bahtera tersebut.
Perahu napas Ibunya, Ayu, telah tenggelam dan karam di sagara nun luas
di sana. Dan Jepang, menjadi subjek yang menenggelamkan perahu napas milik
Ibunya. Seribu sumpah serapah rasanya tak ada gunanya dilontarkan, apa yang
terjadi tak dapat diulang kembali. Waktu hanya bisa berjalan, ia tak bisa
diapa-apakan lagi selain dibuat berlari.
“Tiada nasib baik yang akan datang pada mereka yang sepenuh hidupnya
dikendalikan oleh entitas lain selain Tuhan yang Maha Kuasa.”
Tidak ada komentar: