PERAHU NAPAS

Rabu, Januari 03, 2024

PERAHU NAPAS

Karya: Yustine Juneytalenta

 


 

Dewasa ini rasanya jagat kepala makin celaka, gundah dipaksa memutuskan pilihan sedang masalah kemarin belum usai juga. Gadis wira itu tumbuh sejalan dengan berbagai pertanyaan yang kian lama bukan kian pudar, justru mengedar. Palung tanya kian lama kian dalam, bukankah menyeramkan jika tenggelam di dalamnya? Bantuan dari luar pun tak akan makbul sepertinya.

Jum’at 2 Juni 1961. Surakarta bergeming dari ramai galibnya, tak biasa. Sedang cuaca cerah, nampak lekuk-lekuk kota berhias gundukan tanah tinggi nun jauh di sana. Gunung Lawu nampak pasif, hanya awan-awan sekitarnya yang riuh lantak bergerak mengikut cuaca apa yang datang hari itu juga. Karena cerah, awan-awan itu pergi pada ketiadaan sehingga lekuk ujung gunung itu nampak begitu jelas.

Bangunan di seberang jalan sana, bangunan yang ripuh akan tulisan tak berestetika namun manakala dapat mengugah semangat pelik di dada pembacanya. “Lebih baik mandi darah daripada dijajah”, “Vaan Mook, No! Soekarno, Yes!”, “Indonesia for Indonesian.” Pun juga di tempat tersebut tumbuh legenda, konon katanya di tiap denting jam pukul 11 malam akan nampak sesosok manusia dengan kepala tanpa rupa dengan tinggi 3 kali tinggi pemuda pada umumnya. Tak ada yang tahu tepat satuannya tingginya, terlampau gerun untuk mencoba.

“Itu adalah arwah serdadu Jepang yang tak terima atas kemerdekaan Indonesia!” Ucap seorang anak laki-laki murid dari SMT sekitar bangunan tersebut.

Entah memang itu adalah delusi yang timbul karena gelora euforia berlebih bahwa kini Indonesia bukan merupakan daerah jajahan bangsa asing, atau memang begitu adanya. Barangkali anak laki-laki tersebut telah melakukan diskusi panjang melebihi diskusi perjanjian Renville untuk menguak identitas sesungguhnya sang makhluk tanpa rupa.

Jalan raya kala itu makin ramai dirasa, banyak orang di tepi jalan tersebut mendongakkan kepala. Mencari-cari sesuatu di atas sana. Nampak iring-iringan pesawat asing melalui kota kecil itu. Pesawat asing itu berformasi terbang menuju arah selatan, kalau pesawat tersebut bermatlamat untuk membumi di Indonesia, pastilah Yogyakarta tujuannya.

Para kerumunan menduga-duga apa yang terjadi. Beradu asumsi satu sama lain akan hal penting apa yang sedang terjadi. Pesawat tersebut mengudara cukup dekat, berarti sebentar lagi pesawat itu akan benar-benar membumi di Yogyakarta sana.

“Mungkin Soekarno sebentar lagi akan berhasil merebut Papua!” Seru seseorang di kerumunan tersebut.

Apa yang dikatakan orang tersebut tak sepenuhnya keliru, pesawat udara asing yang melintas langit Surakarta menit lalu ialah hasil perundingan dagang Jenderal A. H. Nasution dengan Uni Soviet. Demi terwujudnya diplomasi pembebasan daerah Papua untuk dijadikan boneka oleh Belanda, fakta bahwa dengan digemakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan berarti seluruh Hindia-Belanda telah bebas tak terelakkan. Namun, usaha para pahlawan untuk kebebasan mutlak Indonesia dari jajahan masih berlangsung. Maka diadakan Tri Komando Rakyat di alun-alun Yogyakarta ini agar sang saka dapat melambai bebas di tanah Papua.

Harga yang disepakati oleh Uni Soviet dan Indonesia pun membuat hampir semua rakyat jelata menerima imbasnya. Negara yang lahir kemarin sore seperti Indonesia tentu belum memiliki perekonomian yang stabil, akibatnya, kemiskinan semakin meronta di tiap daerahnya. Memang bagi para priyayi tak ada bedanya, daging masih menjadi sarapan mereka tiap harinya sedang para rakyat jelata mengemis pada Tuhan untuk sesuap nasi sebagai entah itu sarapan, makan siang, maupun makan malam, yang terpenting dalam sehari itu setidaknya sesuap nasi dapat ditelan.

“Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tak akan membiarkan bawahannya menderita sekalipun selama ia menjabat, tak ada dalil bahwa seorang pemimpin harus menambah kuantitas bawahannya selama ia menjabat,” seseorang dari kerumunan tersebut berkata.

Tersita atensi beberapa orang pada perkataan tersebut, terlebih mereka yang berpikir bahwa apa yang mereka rasakan saat ini sepadan dengan apa yang akan mereka dapatkan kelak. “Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan, Soekarno bukan orang dengan pikiran sebutut itu hingga sengaja membiarkan kita kelaparan tiap harinya. Ia orang hebat! Tak sepadan dengan kau dan omong kosongmu yang seolah-olah kau bisa mencais negara ini dalam kepalan tanganmu sendiri!”

Keributan terjadi, pro dan kontra bertikaian satu sama lain di tanah yang sama. Para wanita berlarian membawa bayi dan anaknya menjauh dari hantaman fisik para massa yang sedang murka akan perbedaan pendapat yang ada. Surakarta makin suram meski terik matahari sedang ganas-ganasnya, tigaribu matahari tak akan mampu mengusir sebam Surakarta yang sedang mengamuk massanya.

“Tuhan membisikkan damai pada telinga umatnya, maka celakalah bagi mereka yang menyangkal pun menentang firman-Nya.”

“Napas itu ibarat perahu yang hanya dapat ditumpangi oleh satu orang, orang yang memiliki bahtera itu sendiri. Sedang nahkodanya pun harus sang pemilik itu sendiri, begitulah dalil kehidupan yang sebenar-benarnya. Manusia hidup harus dalam kendalinya sendiri, satu-satunya yang boleh mengendalikannya ialah yang Maha Suci Tuhan, bukan manusia lainnya. Jangan pernah menjadikan dirimu sendiri seorang budak akan manusia lain yang lebih tinggi kuasanya darimu.”

Monolognya, seorang gadis wira yang tumbuh dewasa beriringan dengan berbagai pertanyaan tentang dirinya sendiri. Apakah ada hal yang lebih buruk dari tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya sendiri? Jangankan rupa, asma saja ia tak tahu. Gadis wira dengan nama Pitaloka Nusantari itu kini sudah menginjak kepala dua, menjadi mahasiswi yang harus membagi waktunya untuk memikirkan tugas dosen dan berbagai pertanyaan mengenai orang tuanya itu tidak mudah. Selain pikiran, batin pun terkuras dibuatnya. Perasaan mengapa ia harus lahir sebegitu malangnya ibarat hantu yang enggan pergi.

Kepada siapa ia harus menjejalkan semua rasa tanya yang melahapnya perlahan-lahan ini? Sanak kerabatnya yang masih tersisa tinggal lah kakek dan neneknya. Sang nenek sudah lama hilang kemampuan untuk sekadar berdiri dari ranjangnya, sedang kakeknya tak lebih sangat baik dari sang nenek, setidaknya masih bisa berjalan. Mengurus dua orang lansia sedang di sisi lain ia juga seorang mahasiswi bukanlah hal yang remeh. Terlebih sumber harta yang mereka punya satu-satunya berasal dari pensiunan kakek sebagai tentara sebelum kemerdekaan digemakan di seluruh pelosok Hindia-Belanda.

Tari sejak kecil dirawat oleh kakek dan neneknya, dewasa di lengan orang yang tidak melahirkannya sungguh pelik rasanya. Kemana perginya Bapak dan Ibunya? Apakah mereka enggan menjadikan Tari bagian dari hidupnya? Atau kedua orang tuanya telah direnggut nyawanya jauh sebelum Tari lahir?

Tari kecil tak pernah menanyakan kebenaran mengenai orang tuanya, baginya, hidup di dekapan Nenek dan Kakek itu tak buruk juga. Hingga akhirnya Tari dewasa dan pengasuhnya jatuh sakit. Hanya buku tebal nan lebar berisi foto-foto ketika Nenek dan Kakeknya masih muda, serta Ibunya yang masih berusia belasan itu yang tersisa. Bahkan foto-foto tersebut mulai pudar dari warnanya, rupa-rupa di dalam foto tersebut tak lagi nampak. Tari hanya tahu raga siapa yang tertangkap foto itu karena Neneknya memberi tahunya saat ia kecil dulu.

Gadis wira itu kembali membuka lembaran demi lembaran kertas kuning kecokelatan album foto tersebut, memoar yang tak memberi banyak jawaban atas perkaranya ini setidaknya sedikit memberinya kehangatan pelik. Meski dipeluk orang tua hanyalah mimpi di tiap tidurnya.

Dari foto monokrom tersebut pula nampak dua buku aneh dengan rona benderang, Tari pernah menanyakan kedua pengasuhnya buku apa yang dipegang sosok Ibunya ketika muda ini.

Ibukmu seneng maca, seneng banget karo seng jenenge buku. Nang endi-endi nggawani buku.

Namun ketika Tari bertanya buku apa yang ibunya pegang di sela jemarinya ini, Kakek dan Neneknya akan menggelengkan kepala menandakan ketidak tahuan.

Hari ini, seusai membantu Nenek dan Kakeknya membersihkan diri dan sarapan, Tari berangkat kuliah. Kakeknya sempat memberinya pesan untuk mampir ke toko terbengkalai yang mereka miliki di pasar sekitar Surakarta, Pasar Triwindu. Sang Kakek dan Neneknya memberinya kendali penuh atas toko tersebut untuk dikelola, sebenarnya hal ini sendiri merupakan sebuah isyarat agar Tari memiliki sendang duitnya sendiri. Karena dalam waktu dekat, perahu napas sang Kakek dan Neneknya pasti akan berhenti berlayar, segera.

Pasar Triwindu berada cukup intim dengan jantung kota Surakarta, toko milik Kakek dan Neneknya berada di tepi jalan raya, tak perlu menjelajah ke dalam pasar untuk menemukannya. Tempat yang cukup strategis, mengingat toko tersebut dekat dengan gedung para priyayi yang kerap mampir ke sekitar ketika sedang rehat bekerja. Sepertinya gerai makanan dan minuman saja sudah cukup memberi cuan bagi pekerja toko tersebut.

Surya hari ini tak begitu terik seperti lazimnya di musim kemarau, justru awan pirau yang terlihat di dirgantara Surakarta. Tari sedikit lega akan hal ini meski besar kemungkinan ia terjebak di toko ini lantaran hujan, setidaknya ia hanya akan berpeluh karena lelah membereskan kekacauan di dalam toko tersebut, bukan juga karena terik panas sang surya.

Toko benar-benar kacau isinya, banyak kain-kain cacat di makan rayap. Alat-alat dari besi telah berkarat karena suhu di dalam toko yang cukup lembab lantaran atap toko yang bocor di beberapa titiknya. Setidaknya masih ada sedikit alat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan gerai baru yang akan dibukanya.

Tari membereskan keruwetan toko ini seorang diri, kecuali untuk menambal atap toko. Ia meminta tolong tetangga rumahnya yang biasa membantu keluarganya ketika ada atap rumah yang bocor, tentu saja Tari memberi upah kepadanya selain secangkir kopi dan rokok.

Ah, Tari jadi teringat istri dari tetangganya ini yang tempo hari lalu mengeluhkan suaminya yang benar-benar kecanduan rokok. Kansas, rokok lokal pertama yang memang sedang naik daun pada masa itu memang berhasil menggaet banyak peminat. Sudah mahal, bea cukai rokok pada masa itu juga sedang melonjak. Perekonomian mereka yang terhitung biasa saja jadi terbanting karena hobi baru sang suami itu. Uang yang bisa digunakan untuk membeli keperluan sang anak yang masih balita itu malah dipakai untuk memuaskan kecanduan rokok sang suami.

Tari tak tahu apakah permasalahan suami istri itu telah khatam atau belum, namun ada suatu malam Tari mendengar suara piring pecah dan alat masak seperti panci yang jatuh berhamburan disusul dengan suara teriakan perempuan dari rumah mereka. Tak terdengar jelas apa yang diteriakkan sang istri, namun setelah itu Tari jarang melihat tetangganya ini merokok. Yah, kadang masih melihat sih ketika istrinya sedang pergi.

Seminggu setelah pertama kali kedatangan Tari, toko itu sudah nampak bersih dan layak untuk dipakai. Gadis wira itu telah mendiskusikan rencananya untuk membuka kedai makanan di ruko tersebut, Nenek dan Kakek menyetujuinya. Memberinya satu kunci lagi, kunci yang berbeda dari kunci yang dipakai untuk membuka toko tersebut.

Usut punya usut, ternyata masih ada satu lagi ruang di toko tersebut. Tari kira, pintu tersebut merupakan batas dengan toko lain. Ruang tersebut nampak seperti kamar, dan ruang kecil di dalam kamar tersebut ialah kamar mandi. Dengan dibersihkannya ruang ini sepertinya Tari akan lebih sering menghabiskan waktunya di toko. Toh, jarak toko dan tempat ia berkuliah juga tak memakan waktu lama, paling tidak 15 menit jika menaiki sepeda.

Tari memandangi ruang tersebut sebelum mulai memilah barang mana yang akan ia buang, jual kepada pengepul, maupun ia pakai kembali. Tak banyak barang yang ada di dalam ruang sempit tak berjendela itu. Hanya seonggok kasur yang jelas tak layak pakai lagi, almari kecil berisi buku yang kebanyakan telah dimakan rayap isinya.

“Tentang Tikus dan Manusia”, “Mata Mereka Mengawasi Tuhan”, “Dunia Baru yang Berani”, dan yang terakhir “Bumi yang Baik.” Buku-buku masyhur pada eranya itu menyisakan dua saja yang cukup mampu dibaca, yaitu “Bumi yang Baik” dan “Mata Mereka Mengawasi Tuhan.” Tari membersihkan buku-buku tersebut dari debu dan beberapa hewan melata lainnya, lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Dua buku tersebut akan ia baca ketika ia sampai rumah.

Dalam kurun waktu tiga hari, ruangan tersebut nampak bersih dan layak dipakai kembali. Tari duduk bersandar pada dinding bata toko tersebut. Membuka satu per satu buku yang ditemunya, tiga buku yang ditemunya hanya dapat dibaca duapuluh sampai empatpuluh halaman saja. Sementara dua buku yang lain hanya dua sampai delapan halaman saja yang rusak, cukup pelik padahal mereka ditempatkan di rak yang sama.

Bumi yang Baik sendiri merupakan hasil terjemahan dari buku “The Good Earth” oleh Pearl S. Buck, dan “Their Eyes Were Watching God” yang mana merupakan karangan dari Zora Neale Hurston. Kedua karya tersebut merupakan karangan sastrawan asing yang diterjemahkan, terbit di atas tahun 1930-an dan cukup sukar ditemukan di era sekarang terlebih versi terjemahannya.

Dengan segala kesibukan yang ada, Tari berhasil menyelesaikan dua buku tersebut dalam waktu lima hari. Dan dalam lima hari itu pula ia mulai menyadari kejanggalan yang ada di dalam buku tersebut, di buku “The Good Earth” halaman yang separuhnya dimakan rayap hanyalah halaman dua dan tiga yang masih satu kertas, serta halaman enam dan tujuh yang juga masih satu kertas. Semua kertas yang dimakan rayap tersebut masing-masingnya masih satu halaman. Dan di buku “Their Eyes Were Watching God” pada kata pengantarnya terdapat kalimat “R A K” yang ditulis menggunakan tinta agak pudar.

Tari segera pulang dari toko tersebut, mendadak atmosfir sekitar toko terasa runyam. Ia ingat bahwa di kamar Neneknya, terdapat rak cukup besar berisi buku-buku lain yang terkadang Nenek dan Kakeknya baca ketika senggang. Rak tersebut berisi buku sekurang-kurangnya ialah 50 buku.

Tari mulai menghitung buku nomor duapuluh enam, dan tigapuluh tujuh dari pojok kanan atas, pojok kanan bawah, pojok kiri atas, dan pojok kiri bawah. Gadis itu menemukan beberapa buku, dibukanya satu persatu buku yang telah diambilnya. Dan ada salah satu buku yang ketika dibuka banyak kertas usang kuning kecokelatan di dalamnya, kertas tersebut telah dilipat-lipat dan dijejalkan di sela-sela halaman bukunya.

Kota tak pernah jauh dari penyakitnya, penderitaan itu benar sekaligus mutlak adanya. Perjanjian Linggarjati sebagi markahnya. Jepang benar-benar ingin memangku Hindia-Belanda baik segara maupun persil, segalanya diraup tanpa sisa di jemarinya. Orang-orang mungkin girang dengan kalimat-kalimat cantik Jepang bahwa merekalah sang penyelamat, lupakah mereka memang seperti itulah matlumat para pencuri. Luka mereka oleh Belanda ibarat surut akan kedatangan segerombol pencuri yang menamai diri mereka “Cahaya Asia.” Jepang ingin menjadi penggembala sedang Hindia-Belanda ialah kambing gembalanya.

Surat dengan kebencian akan Jepang yang membeludak itu cukup membuat bulu kuduk pembacanya berdiri, surat ini sepertinya dicipta oleh saksi dari kejadian yang diceritakan itu sendiri.

Pencuri itu membawaku paksa ke interneringskamp, mereka menemukan surat berisi tafsiranku atas dosa yang telah mereka perbuat selama ini. Mereka menduga aku mendukung Belanda untuk kembali berpijak di bumantara ini, selain pencuri, mereka juga anti-kritik dan terlalu cepat menyimpulkan. Sepertinya otak mereka sudah jatuh ke lutut lantaran terlalu sering berdansa riang merayakan kemenangannya dalam merebut Hindia-Belanda.

Interneringskamp, kamp konsentrasi buatan Jepang untuk menampung orang Belanda maupun orang yang dianggap pro Belanda. Namun tak jarang orang Indo dengan fisik hampir menyerupai orang Belanda dimasukkan ke dalam kamp tersebut, Jepang benar-benar amblas dalam melahap sisa-sisa Belanda.

Pagi itu datang kertas propaganda untuk para wanita bekerja, tak jelas apa yang akan dikerjakan. Namun para wanita kamp itu bersorak sorai, menaruh harap bahwa mereka akan keluar segera dari sepetak tanah penderitaan ini segera. Hampir seluruh warga dari kamp tersebut berebut untuk mendaftarkan diri pada sekretariat kantor, akupun menjadi bagian dari kerumunan tersebut. Aku tak akan bekerja, aku hanya akan lari ketika ada celah.

Tari membaca surat lain secara berurutan menurut tanggal yang ditulis dari yang terlama menuju yang terbaru.

JEPANG KEPARAT!!!!!!

Pekerjaan yang mereka maksud ialah untuk menjadi seorang jugun ianfu!!!!!! Budak wanita yang bertugas untuk menjadi pemuas hasrat para serdadu Jepang!!! Aku tak ingin hidup menjadi seorang gundik, maupun seorang Nyai. Mengandung anak ras asing bukanlah suatu kebanggan bagiku, terlebih aku tak mau mengandung bayi buah dari orang selain suamiku yang sah secara hukum!

Aku berhasil kabur kala seorang serdadu gemuk hampir menodaiku, dengan badan segempal itu ia tak akan mengejar kecepatan badan mungilku ini. aku sempat berpikir, jika mengejarku saja tak mampu lantas apa fungsinya ia menjadi serdadu di tanah jajahan negaranya.

Nasib baik aku dapat lari dari kemalangan ini, aku tak dapat membayangkan teman-temanku di interneringskamp yang gagal kabur dari hasrat hina para serdadu itu yang seketika melupakan rupa istri dan anaknya di kampung halaman mereka, menangis di tiap malamnya, merindukan, pun menerka kapan sang Ayah mereka yang bajingan ini pulang.

Pada masa penjajahan Jepang, tak sedikit seorang gundik (Nyai) yang dicampakkan setelah dinodai oleh para serdadu. Kecil kemungkinan seorang Nyai dapat merasakan harta melimpah milik sang serdadu, Jepang itu hanya ingin mengambil senangnya saja. Habis manis sepah dibuang, peribahasa yang tepat untuk mengibaratkan perilaku hina itu.

Hari itu aku kembali ke rumah, kulihat Bapak sedang berbincang di teras dengan lelaki pribumi berpakaian rapih seperti seorang priyayi. Namanya Samiadji, setelah mengobrol singkat dengannya sore itu di rumah, aku merasakan kejolak aneh di dalam diriku. Kami sama-sama mengutuk Jepang maupun Belanda atas kebengisan mereka, tak ada yang lebih baik dalam hal penderitaan.

Rupanya Samiadji ini anggota dari perkumpulan ternama, Budi Oetomo. Tak jarang mereka mendiskusikan kapan dan bagaimana penjajahan oleh bangsa asing ini usai, dan kapan setiap jengkal Hindia-Belanda merasakan kemerdekaan mutlak. Samiadji terlihat sumringah menceritakan impiannya untuk melihat dunia tanpa penjajahan baik kolonialis maupun imperialis.

Aku pun ikut senang dibuatnya, entah mengapa aku tiba-tiba melupakan luka yang tertanam lalu karena hendak dijadikan budak hasrat oleh serdadu Jepang yang nampak gemuk berlebihan itu. Tari tertawa ketika membacanya, “itu tandanya kau sedang jatuh cinta, bodoh!”

Samiadji sering menyempatkan diri untuk datang ke rumah, seusai berundingan dengan Bapak mengenai suatu hal yang aku sendiri tak tahu apa. Dia akan menanyakan kepada Bapak di mana aku berada, dan Bapak akan memanggilku untuk keluar dari kamar. Akhir cerita, aku dan Samiadji akan bertukar imajinasi mengenai dunia tanpa perampasan paksa seperti ini.

Namun hari itu berbeda, di pertemuan ketujuh kami, Samiadji membawakanku buku tebal. Buku untukku membaca ketika ia sedang jauh dan tak sempat kemari, katanya. Waktu itu Samiadji membawakanku dua buku berjudul “Bumi yang Baik” dan “Mata Mereka Mengawasi Tuhan.”

Beruntung aku menamatkan pendidikanku di MULO dengan baik, jadi aku tak memiliki kendala dalam mengeja rentetan kata dan kalimat ini. Nampaknya, hari-hariku akan kuhabiskan dengan membaca buku pemberian Samiadji ini.

Tari bergeming, buku yang disebutkan sang penulis sama dengan buku yang ia temukan di gerai bekas milik Kakek dan Neneknya.

Jepang menemukanku lagi, mereka menangkapku ketika aku sedang berbelanja di pasar dekat rumahku. Mereka melacak penulis dari tulisan singkat berjudul “Jepang dan Hasratnya Untuk Menjadi Penggembala” yang dimuat di salah satu koran beberapa hari lalu.

Mereka membawaku pada penjara di bawah gedung megah bernama Lawang Sewu. Aku ditempatkan di salah satu sel dengan tinggi yang tak dapat kuperkirakan pendeknya, yang mana aku sendiri harus jongkok sejongkok-jongkoknya ketika berada di dalam. Bahkan ada waktu di mana para serdadu itu mengiringku ke dalam ruangan yang lebih sempit lagi, dan mengisi ruangan tersebut dengan air setinggi leherku. Dengan sengaja membuatku mati di antara 2 sebab, kedinginan atau kekurangan oksigen.

Surat ini kutulis semasa aku berada di kamp lain setelah penyiksaan tersebut, penderitaanku di dalam penjara tersebut telah usai. Saatnya menanti penyiksaan yang lain.

Jepang memang bengis tiada tara dalam perkara menyiksa tahanannya, orang yang dianggap kontra akan kedaulatannya. Mereka menaruh trauma mendalam agar orang-orang tersebut berhenti membelot. Namun mereka salah, mati satu tumbuh seribu. Ketika mereka berhasil membunuh satu pembelot kedaulatan mereka, akan tumbuh seribu pembelot lain di waktu yang sama.

Aku berhasil keluar dari kamp tersebut, Samiadji dengan ajaibnya menemukan diriku di kamp tersebut. Tak ada petugas kamp yang mencegah Samiadji, ketika kutanya kenapa, Samiadji menjawab ia telah melakukan perundingan dengan kepala kamp untuk membebaskanku. Gejolak aneh ini kembali menggelora.

Samiadji membawaku pulang ke rumah dengan mobilnya, kusadari ia bukan priyayi biasa lantaran sedikit orang bahkan priyayi yang memiliki mobil kala itu. Samiadji menepikan mobilnya, ia hanya diam ketika kutanya ada apa. Samiadji hanya mengambil sesuatu di bangku belakang kami, sebuah kotak dengan cincin di dalamnya.

“Ayu, menikahlah denganku.”

“Ayu dan Samiadji…” Tari kembali membuka lipatan kertas yang lain.

Aku dan Samiadji benar-benar menikah, aku sempat mengatakan apa yang telah kulalui untuk menunjukkan apakah ia benar-benar ingin menikahi wanita sehina aku. Wanita sekotor aku.

Samiadji menggeleng, “aku mencintaimu apa adanya, tak peduli sehina apa bagimu dirimu sendiri itu. Aku selalu menerimanya, kau tak sekotor itu. Tak ada wanita yang hina dan kotor, mereka tanpa terkecuali berhak merasakan rasanya dicintai. Termasuk kamu, Ayu. Aku sudah tahu apa saja yang terjadi padamu, bahkan hal yang kamu sembunyikan dari kedua orang tuamu sekalipun. Aku menghabiskan tiap malamku dan disela pekerjaanku untuk mencari tahu di mana dan sedang apa dirimu ini.”

Aku tak pernah membayangkan Samiadji akan menaruh rasa padaku juga, rasanya utopis. Aku, tak tahu apakah ini delusiku saja atau memang ini nyata.

Tari membuka surat selanjutnya.

2 Februari 1941, aku dan Samiadji menikah. Kami legal sebagai suami istri baik secara agama maupun hukum. Pertemuan singkat di pelataran rumahku ini membawaku kepada sebuah takdir besar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, pernikahan.

Kertas tersebut hilang wujudnya setelah paragraf tersebut, mungkin dimakan rayap seperti buku-buku yang lain.

1943, dua tahun tahun setelah pernikahan kami, Tuhan menganugerahi kami seorang anak. Kami menamainya Pitaloka Nusantari, bakal gadis gigih kami. Aku dan Samiadji sangat menantikan untuk melihat rupa gadis yang kuyakin rupawan ini.

Satu dari sekian harapanku pada anakku ini, aku ingin dia menempuh kuliah jurusan sastra Indonesia. Sebenarnya aku pernah berkeinginan untuk kuliah terlebih di jurusan sastra Indonesia, menjadi lulusan MULO yang tak pernah mengenyam pendidikan tingkat AMS ini menjadi halangan.

Setidaknya, seorang lulusan MULO dapat menulis tak hanya sekali tulisan yang berhasil membangkitkan semangat pembacanya sehingga Jepang berunding untuk menangkapnya. Cukup membanggakan, bukan?

Tari masih bergeming, kini terungkap sudah Ayu dan Samiadji adalah nama dari kedua orang tuanya. Namun masih ada dua buah kertas tersisa, gadis itu tak dapat menerka pesan apalagi yang ditinggalkan Ibunya.

Aku mulai aktif menulis untuk mengisi waktu luangku kala Samiadji sedang pergi bekerja. Aku kembali menulis kritikanku pada Jepang yang bertajuk “Hukum Jepang ialah Hukum Terburuk dari Neraka.” Percetakan yang pernah menerbitkan karyaku untuk pertama kalinya setelah aku menikah, menerbitkan lagi tulisanku.

Namun, entah mengapa firasat buruk mengepungku tiba-tiba setelah koran dengan tulisanku di salah satu halamannya itu diterbitkan. Berhari-hari hingga seorang Pitaloka Nusantari lahir, belum ada hal buruk terjadi. Tetapi, aku masih belum bisa bernapas lega.

Aku berdoa di tiap malamnya semoga tak ada hal buruk terjadi pada anakku dan suamiku kelak.

Tersisa satu lagi kertas, Tari membukanya sedang jemarinya bergetar hebat. Menyebut nama Tuhan serta berdoa tak ada hal buruk terjadi pada orang tuanya.

Surat ini kutulis ketika aku dibawa kembali untuk tinggal di kamp buatan Jepang sialan itu. aku sempat bertanya pada seorang laki-laki yang juga dibawa paksa ke dalam kamp tersebut bahwa kita akan diberi siksaan macam apa. Ia menunjuk ke arah Barat.

“Kita akan menaiki kapal neraka menuju ke Sumatera untuk dipaksa bekerja membangun rel kereta,” katanya dengan gemetar.

Maka, jika hal ini nyata. Kepada siapapun pembaca dari surat ini, tolong katakan pada suamiku, Samiadji bahwa aku mencintainya. Katakan pula pada anakku, Pitaloka Nusantari bahwa cintaku akan selalu bersamanya. Kasih sayangku akan selalu bersama mereka berdua meskipun tidak dengan ragaku, aku akan selalu memeluk mereka melalui deru angin yang menerpa. Entah kapan aku akan kembali berjumpa dengan suamiku dan anakku yang baru empat bulan lalu lahir, semoga saja Tuhan selalu memberkati segala aktivitas mereka. Sampai jumpa di lain kesempatan, Samiadji dan Pitaloka. Ibu menyayangi kalian, selalu.

Junyo Maru, kapal neraka yang mengangkut para budak dari segala ras (tentu saja pribumi mayoritas budaknya) untuk dipekerjakan tanpa henti pada projek rel kereta api di Sumatera. Ada yang mengatakan bahwa kapal tersebut diserang dengan terpedo oleh kapal selam milik angkatan laut Inggris ketika sedang berlayar di Samudera Hindia, daerah kekuasaannya. Mereka tak mengetahui apa isi dari bahtera tersebut, namun ketika nampak berkibar berdera Hinomaru melambai, kapal selam tersebut langsung melancarkan serangan.

Tak hanya itu alasan Junyo Maru disebut kapal neraka, bahtera buatan negara yang kaya ini memiliki fasilitas yang buruk. Bahkan rakit dan jaket pelampung pun hanya tersedia untuk para kelasi dan perwira Jepang di bahtera tersebut saja. Banyak penyakit terutama malaria diderita oleh para budak yang diangkutnya, lantaran tak tersedianya toilet di dalam bahtera maut tersebut. Hanya disebar beberapa kotak untuk dijadikan tempat mereka buang air besar maupun kecil, belum lagi mereka harus berdesak-desakan untuk sekedar duduk. Ranjang susun di kapal tersebut diisi oleh mereka yang lemah dan tak berdaya akan kesengsaraan tersebut.

Kapal dengan panjang kira-kira 405 kaki dan lebar 53 kaki tersebut diisi oleh perwira Jepang yang bengis pada budaknya. Penderitaan secara fisik dan psikis tersebut membuat tak sedikit penumpangnya menjadi gila dan meninggal perlahan. Namun, apalah arti nyawa para budak bagi mereka.

Hingga pada akhirnya, tanggal 18 September 1944. Bahtera maut bak neraka tersebut tenggelam di perairan Samudera Hindia, lebih tepatnya Barat Daya pulau Sumatera, dekat dengan Mukomuko, Bengkulu. Satu dari sekian tragedi maritim terburuk yang pernah terjadi.

Tari lega kini ia setidaknya tahu siapa orang tuanya, bagaimana sesosok Ibu dan Bapaknya, serta kejelasan apakah Ibunya masih bernapas, atau sudah tiada. Kertas tersebut ditulis pada tanggal 17 September 1944, tertanda kecil di pojok kertasnya. Tak ada kertas lain, besar kemungkinan bahwa Ibunya benar-benar ikut tenggelam bersama bahtera tersebut.

Perahu napas Ibunya, Ayu, telah tenggelam dan karam di sagara nun luas di sana. Dan Jepang, menjadi subjek yang menenggelamkan perahu napas milik Ibunya. Seribu sumpah serapah rasanya tak ada gunanya dilontarkan, apa yang terjadi tak dapat diulang kembali. Waktu hanya bisa berjalan, ia tak bisa diapa-apakan lagi selain dibuat berlari.

“Tiada nasib baik yang akan datang pada mereka yang sepenuh hidupnya dikendalikan oleh entitas lain selain Tuhan yang Maha Kuasa.”

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.