TRAGEDI TRISAKTI
Tragedi Tri Sakti
Oleh : Zahra Assyifatul
Fadillah
Kullihat
jam, waktu berjalan meninggalkan pukul 6 pagi hari Jakarta. Cahaya
matahari tipis menerobos masuk dalam kamarku. Ternyata pagi hari belum
terlambat datang. Aku pikir, malam telah menghabisi segala rentang waktu
terhebatnya. Kemarin sinar kecil pagi benar-benar telah membangunkanku. Mataku
masih begitu lengket sementara nada dering alarm berisik di telinga. Bunyi
burung-burung kecil membelusingku berulang. Tanpa harus mencela ayam di kandang
yang masih terdiam beku.
"Prrrrrrriiiiiitttttt! Bangun, Kakkk!”
ah gila suara keras tak beraturan itu benar-benar terdengar tanpa moralitas.
"Noh, gue udah siapin sarapan. Ini udah
siang, Kak!" kuambil kacamata. Oh, jagat dewa dan para guru nirwana.
Ternyata pagi gercep merubah diri menjadi
siang. Deadline skripsi semalam menciptakan sebuah delusi.
"Kakakkkk! Sumpeh deh, ntar gue tarik
sendiri tuh ojek! Gue udah telat iiiiih, Abaaang!" Komando itu terdengar
seperti jeritan emak tujuh tahun yang lalu. Teriakan yang selalu membuatku
menyerah, pasrah. Sejauh memori periodikku mengingat, usai frasa tersebut
terucap, langkah berikutnya guyuran air siap membuatku kuyup.
Nah pembaca sekalian, kenalin. Adikku semata
wayang. Yang menyayangiku setengah hati. Ya iyalah. Yang setengahnya lagi buat
si Joko. Siapa Joko? Kalau Anda penasaran, silakeun diteruskan membacanya,
Kisanak. Dialah Natasya. Adikku. Sebut saja namanya Tasya. Katanya ogah disebut
Ulin. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar. Menatap. Pertanda, ada satu
kemungkinan hukuman selain guyuran air. Bahwa, sekali lagi aku menarik selimut,
motor bututku bisa mampir di Depok. Lapangan parkir UI.
Lalu aku harus menumpang angkot biru Bang
Reza. Tetangga sebelah. Buset dah. Yang pasti aku ogah. Demi apapun, aku ogah
mengulang kejadian 2-3 minggu kemarin. Ogah ngerepotin Bang Reza terus. Itu
saja. Ya, aku bangkit. Berdiri dan menghampiri meja makan. Belum mandi? Ah
biarlah. Paling cuci muka. Itu maha cukup, Kataku.Secangkir kecil teh manis di
atas meja makan kusesap sedikit. Pekatnya membuatku semakin memburu isi cangkir
kecil itu. Nasi uduk kiriman Ibu Rini, anak Pak RT, masih tergeletak di atas
meja. Entah kesambet malaikat mana Mpok Romlah. Sang kembang kampung. Setiap
pagi ia selalu mengirim sarapan untuk kami, aku dan adikku.
Tadinya kupikir karena aku lumayan ganteng
dan pintar. Ternyata tidak. Kemarin ayam tetangga mati demi melihatku mengambil
telurnya. Semula, kupikir Ibu Rini hanya merasa kasihan pada nasib kami berdua.
Ya, saat itu kami, aku dan adikku harus menahan lapar satu setengah hari. Uang
tabunganku habis untuk membayar kontrakan rumah yang harus kami lunasi 2 bulan
di depan.
"Ini Kak. Kata Ayah, buat sarapan Kakak
ama adek Kakak," serantang nasi uduk pun kami terima kala itu. Rasanya
sangat luar biasa enaknya.
Kalian tahu? Suara lembut Ibu Rini selalu
membuat sensor otakku bergegas menghimpun segala data masa lalu. Seketika aku
terdiam bodoh. Suara Ibu Rini benar-benar seperti kain suara Emak. Ya, kain
merah muda yang selalu disimpannya rapi di dalam lemari kayu.
“Ah, sudahlah.”
Hidup dengan bergantung dari upah menulis
cerpen di media lokal emang ga bisa nambahin duit buat si adek kuliah. So, aku
banting setir dari mahasiswa menjadi peracik cerita plus driver ojek Pasar
Rambutan.
Kadang aku juga menerima tawaran mahasiswa
kekinian yang hanya mau menyandang status mahasiswa tanpa mau ribet soal
skripsi. Ya, itung-itung aku ikut kuliah sekaligus dibayar. Bukankah ini
semacam kuliah di kampus kedinasan? Lumayan.
Asal kalian tahu, meski cinta adikku setengah
hati, setengah mati aku rela ngejabanin agar mimpinya bisa kelar hingga ke
ujung duniapun.
***
Jakarta, jam 17.00 waktu setempat.
Langit semakin gelap. Jalanan basah belum
mengering. Perjalanan menuju kampus Trisakti masih separuh jalan. Sementara
itu, ubun-ubun kepalaku serasa ingin memberontak. Berdenyut. Lurus dengan peluh
yang menghiasi kening. Beginilah Jakarta seperti biasa. Macet. Dan kami harus
berlatih sabar. Tapi entah mengapa macet kali ini membuatku marah.
Bagai kesetanan aku menghajar jalanan. Jika
saja aku bisa membuat motor ini terbang. Akan kutancap gas dengan kecepatan
sepersepuluh nano detik.
Hari ini semua saluran televisi menawarkan
berita santer yang sedang terjadi. Demonstrasi mahasiswa. Sekilas aku melihat
Joko dalam tayangan berita itu. Anak Fisip yang sempat satu meja pergerakan
mahasiswa denganku di kampus. Dulu. Sebelum aku drop out tak mampu
membayar uang kuliah.
Setiap ada pertemuan perkumpulan mahasiswa,
kami berdua bergerak paling depan. Aku dan Joko selalu aktif membincangkan
tentang buku-buku aliran kiri masa Orba. Aksi diskusi bersama beberapa teman
tersebut selalu mendatangkan perdebatan panjang di rumah.
Aku tahu pemberontakanku akan membuat Ayah
semakin naik darah. Memang kusengaja.Status anggota Korpri membuat Ayah
ketakutan akan denda mutasi di daerah terpencil bila melawan perintah.
Terlebih, bila melawan penguasa. Sang pemberi perintah. Ayah memilih manut,
sendika dhawuh. Kala itu.
Tapi kini, demi apapun yang sedang hidup!
Nanar mataku melihat adikku berdiri di sebelah Joko! Aku jelas melihat adikku
mengenakan almamater kuning yang dijinjingnya tadi pagi. Ia telah berada di
antara barisan massa pekat aparat.
“Jok! Apa yang nangkring di kepala loe? Itu
adik gue. Hidup gue, Jok!”
Kenapa juga bocil itu bersiasat kecil di
belakangku turut mengikuti arus perlawanan ini?
Sungguh. Saat itu, 12 Mei 1998 bukan hari
biasa. Salah satu saluran televisi menanyangkan. Gedung wakil rakyat penuh
sesak dengan himpunan mahasiswa semesta. Beragam warna almamater terpantul di
siang yang muram. Tanpa terduga, pukul 18.00 telah lewat. Tetiba terdengar
jerit berhamburan disusul asap berebut terbang mengudara. Tercampur dengan
kepulan gas air mata. Sesak, perih di mata. Suara helikopter menggerung dekat
telinga. Heikopter itu terbang rendah. Kadang membuat alenia pikiranku pun ikut
terbang. Sementara aku linglung mencari Tasya di pelataran kampus Trisakti. Ini
situasi gila. Tetapi aku lebih gila! Tubuh kecilku akhirnya melewati barikade
aparat yang berupaya meringsek masuk area kampus.
Untung saja badan kurus membuatku mampu
menyusup dari arah belakang kampus. Mataku nyalang mencari tubuh seukuran
batang lidi. Mencari rupa pipi tirus yang digemari Joko. Aku terus mencari.
Sementara rasa perih masih saja menyakiti bola mataku.
"Doniiii…!" aku mendengar suara
yang tak asing. Ya, suara Joko.
"Ngapain loe ampe sini? Noh,
Tasya," telunjuk Joko mengarah pada sosok tubuh sebatang lidi yang kucari.
Sedangkan kaos hitam yang melekat di badan Joko telah bercampur dengan darah.
Tasya tergeletak di antara korban lain. Darah
mengalir di pelipis wajah tirusnya. Kuusap pelan darah yang masih setia menetes
di keningnya. Kupeluk tubuh kering itu. Erat. Nafasku. Hidupku.
"Maafin Tasya, Kak," ucap pelan itu
hadir ditelan nafas yang sulit dijangkaunya. Kata-kata yang selama ini selalu
kuharap bisa keluar dari mulut bawelnya. Aku melihat sekilas, celana jeans biru
muda miliknya bermotif bercak darah. Juga luka lebam menghiasi lengan
kanannya.Raga tipis itu masih dalam rengkuhku. Raga penuh darah itu. Nafasku!
Hidupku! Tumbang.
Jakarta, malam menjelang 12 Mei 2022
Tidak ada komentar: