TRAGEDI TRISAKTI

Kamis, Desember 28, 2023

Tragedi Tri Sakti

Oleh : Zahra Assyifatul Fadillah

 


Kullihat jam, waktu berjalan meninggalkan pukul 6 pagi hari Jakarta. Cahaya matahari tipis menerobos masuk dalam kamarku. Ternyata pagi hari belum terlambat datang. Aku pikir, malam telah menghabisi segala rentang waktu terhebatnya. Kemarin sinar kecil pagi benar-benar telah membangunkanku. Mataku masih begitu lengket sementara nada dering alarm berisik di telinga. Bunyi burung-burung kecil membelusingku berulang. Tanpa harus mencela ayam di kandang yang masih terdiam beku.

"Prrrrrrriiiiiitttttt! Bangun, Kakkk!” ah gila suara keras tak beraturan itu benar-benar terdengar tanpa moralitas.

"Noh, gue udah siapin sarapan. Ini udah siang, Kak!" kuambil kacamata. Oh, jagat dewa dan para guru nirwana.

Ternyata pagi gercep merubah diri menjadi siang. Deadline skripsi semalam menciptakan sebuah delusi.

"Kakakkkk! Sumpeh deh, ntar gue tarik sendiri tuh ojek! Gue udah telat iiiiih, Abaaang!" Komando itu terdengar seperti jeritan emak tujuh tahun yang lalu. Teriakan yang selalu membuatku menyerah, pasrah. Sejauh memori periodikku mengingat, usai frasa tersebut terucap, langkah berikutnya guyuran air siap membuatku kuyup.

Nah pembaca sekalian, kenalin. Adikku semata wayang. Yang menyayangiku setengah hati. Ya iyalah. Yang setengahnya lagi buat si Joko. Siapa Joko? Kalau Anda penasaran, silakeun diteruskan membacanya, Kisanak. Dialah Natasya. Adikku. Sebut saja namanya Tasya. Katanya ogah disebut Ulin. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar. Menatap. Pertanda, ada satu kemungkinan hukuman selain guyuran air. Bahwa, sekali lagi aku menarik selimut, motor bututku bisa mampir di Depok. Lapangan parkir UI.

Lalu aku harus menumpang angkot biru Bang Reza. Tetangga sebelah. Buset dah. Yang pasti aku ogah. Demi apapun, aku ogah mengulang kejadian 2-3 minggu kemarin. Ogah ngerepotin Bang Reza terus. Itu saja. Ya, aku bangkit. Berdiri dan menghampiri meja makan. Belum mandi? Ah biarlah. Paling cuci muka. Itu maha cukup, Kataku.Secangkir kecil teh manis di atas meja makan kusesap sedikit. Pekatnya membuatku semakin memburu isi cangkir kecil itu. Nasi uduk kiriman Ibu Rini, anak Pak RT, masih tergeletak di atas meja. Entah kesambet malaikat mana Mpok Romlah. Sang kembang kampung. Setiap pagi ia selalu mengirim sarapan untuk kami, aku dan adikku.

Tadinya kupikir karena aku lumayan ganteng dan pintar. Ternyata tidak. Kemarin ayam tetangga mati demi melihatku mengambil telurnya. Semula, kupikir Ibu Rini hanya merasa kasihan pada nasib kami berdua. Ya, saat itu kami, aku dan adikku harus menahan lapar satu setengah hari. Uang tabunganku habis untuk membayar kontrakan rumah yang harus kami lunasi 2 bulan di depan.

"Ini Kak. Kata Ayah, buat sarapan Kakak ama adek Kakak," serantang nasi uduk pun kami terima kala itu. Rasanya sangat luar biasa enaknya.

Kalian tahu? Suara lembut Ibu Rini selalu membuat sensor otakku bergegas menghimpun segala data masa lalu. Seketika aku terdiam bodoh. Suara Ibu Rini benar-benar seperti kain suara Emak. Ya, kain merah muda yang selalu disimpannya rapi di dalam lemari kayu.

“Ah, sudahlah.”

Hidup dengan bergantung dari upah menulis cerpen di media lokal emang ga bisa nambahin duit buat si adek kuliah. So, aku banting setir dari mahasiswa menjadi peracik cerita plus driver ojek Pasar Rambutan.

Kadang aku juga menerima tawaran mahasiswa kekinian yang hanya mau menyandang status mahasiswa tanpa mau ribet soal skripsi. Ya, itung-itung aku ikut kuliah sekaligus dibayar. Bukankah ini semacam kuliah di kampus kedinasan? Lumayan.

Asal kalian tahu, meski cinta adikku setengah hati, setengah mati aku rela ngejabanin agar mimpinya bisa kelar hingga ke ujung duniapun.

***

Jakarta, jam 17.00 waktu setempat.

Langit semakin gelap. Jalanan basah belum mengering. Perjalanan menuju kampus Trisakti masih separuh jalan. Sementara itu, ubun-ubun kepalaku serasa ingin memberontak. Berdenyut. Lurus dengan peluh yang menghiasi kening. Beginilah Jakarta seperti biasa. Macet. Dan kami harus berlatih sabar. Tapi entah mengapa macet kali ini membuatku marah.

Bagai kesetanan aku menghajar jalanan. Jika saja aku bisa membuat motor ini terbang. Akan kutancap gas dengan kecepatan sepersepuluh nano detik.

Hari ini semua saluran televisi menawarkan berita santer yang sedang terjadi. Demonstrasi mahasiswa. Sekilas aku melihat Joko dalam tayangan berita itu. Anak Fisip yang sempat satu meja pergerakan mahasiswa denganku di kampus. Dulu. Sebelum aku drop out tak mampu membayar uang kuliah.

Setiap ada pertemuan perkumpulan mahasiswa, kami berdua bergerak paling depan. Aku dan Joko selalu aktif membincangkan tentang buku-buku aliran kiri masa Orba. Aksi diskusi bersama beberapa teman tersebut selalu mendatangkan perdebatan panjang di rumah.

Aku tahu pemberontakanku akan membuat Ayah semakin naik darah. Memang kusengaja.Status anggota Korpri membuat Ayah ketakutan akan denda mutasi di daerah terpencil bila melawan perintah. Terlebih, bila melawan penguasa. Sang pemberi perintah. Ayah memilih manut, sendika dhawuh. Kala itu.

Tapi kini, demi apapun yang sedang hidup! Nanar mataku melihat adikku berdiri di sebelah Joko! Aku jelas melihat adikku mengenakan almamater kuning yang dijinjingnya tadi pagi. Ia telah berada di antara barisan massa pekat aparat.

“Jok! Apa yang nangkring di kepala loe? Itu adik gue. Hidup gue, Jok!”

Kenapa juga bocil itu bersiasat kecil di belakangku turut mengikuti arus perlawanan ini?

Sungguh. Saat itu, 12 Mei 1998 bukan hari biasa. Salah satu saluran televisi menanyangkan. Gedung wakil rakyat penuh sesak dengan himpunan mahasiswa semesta. Beragam warna almamater terpantul di siang yang muram. Tanpa terduga, pukul 18.00 telah lewat. Tetiba terdengar jerit berhamburan disusul asap berebut terbang mengudara. Tercampur dengan kepulan gas air mata. Sesak, perih di mata. Suara helikopter menggerung dekat telinga. Heikopter itu terbang rendah. Kadang membuat alenia pikiranku pun ikut terbang. Sementara aku linglung mencari Tasya di pelataran kampus Trisakti. Ini situasi gila. Tetapi aku lebih gila! Tubuh kecilku akhirnya melewati barikade aparat yang berupaya meringsek masuk area kampus.

Untung saja badan kurus membuatku mampu menyusup dari arah belakang kampus. Mataku nyalang mencari tubuh seukuran batang lidi. Mencari rupa pipi tirus yang digemari Joko. Aku terus mencari. Sementara rasa perih masih saja menyakiti bola mataku.

"Doniiii…!" aku mendengar suara yang tak asing. Ya, suara Joko.

"Ngapain loe ampe sini? Noh, Tasya," telunjuk Joko mengarah pada sosok tubuh sebatang lidi yang kucari. Sedangkan kaos hitam yang melekat di badan Joko telah bercampur dengan darah.

Tasya tergeletak di antara korban lain. Darah mengalir di pelipis wajah tirusnya. Kuusap pelan darah yang masih setia menetes di keningnya. Kupeluk tubuh kering itu. Erat. Nafasku. Hidupku.

"Maafin Tasya, Kak," ucap pelan itu hadir ditelan nafas yang sulit dijangkaunya. Kata-kata yang selama ini selalu kuharap bisa keluar dari mulut bawelnya. Aku melihat sekilas, celana jeans biru muda miliknya bermotif bercak darah. Juga luka lebam menghiasi lengan kanannya.Raga tipis itu masih dalam rengkuhku. Raga penuh darah itu. Nafasku! Hidupku! Tumbang.

Jakarta, malam menjelang 12 Mei 2022

Menolak lupa Indonesia berhutang pada mereka. Kepada mereka yang hilang, pada mereka yang masih selalu dalam kenang. Mereka, korban Mei '98.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.