JERIH PAYAH PANGERAN
JERIH PAYAH PANGERAN
Karya :
Thomas Nur Huda
Aku adalah serang remaja yang tinggal disebuah desa kecil,
terletak dipinggiran kota yogyakarta. Di desaku masih terlihat sangat asri,
sehingga orang yang datang kesinipun pasti terpesona melihat keasrian desaku.
Namun dibalik keasrian desaku ini, kami juga dibuat takut akan tentara belanda
yang sampai sekarang masih berlalu lalang di desaku. Para tentara yang membawa
persenjataan lengkap dan modern itu tak segan melukai orang – orang yang tidak
mematuhi perintah mereka, tak peduli dari kalangan muda hingga lansia mereka
tak pandang bulu untuk menyiksa bahkan mempekerjakan mereka.
Hari ini aku akan pergi ke kebun untuk memanen sayur, sayur yang
aku panen ini nantinya akan menjadi hidangan makan malam keluargaku. Kebun
milik ayahku ini cukup luas, dan dikebunku pula terkadang terjadi insiden
penembakan oleh tentara belanda. Syukurlah saat aku datang kesana tidak ada
tentara belanda yang sedang berlalu lalang. Akupun segera memanen sayur yang
ada dikebun sebelum ada tentara belanda yang datang, setelah selesai memanen
aku lekas buru–buru pergi untuk menghindari kedatangan tentara belanda. Saat
aku berlari beberapa meter dari kebun, tiba – tiba didepanku sudah berdiri
salah satu tentara belanda, tentara belanda bertanya padaku.
“Darimana kamu?!” ucap tentara belanda itu sambil melotot
kearahku.
“Saya dari kebun untuk mengambil beberapa sayuran untuk dimasak”
jawabku.
Tentara belanda itu langsung mengambil paksa sayuran yang telah
aku ambil dari kebunku. Hancurlah perasaanku kala itu, karena tidak bisa
membawakan sayuran untuk makan malam keluargaku. Aku kembali kerumah dengan
wajah penuh dengan rasa bersalah, karena ibuku sangat menantikan sayur yang
kubawa dari kebun dan aku gagal untuk membawakannya, kami terpaksa menahan
lapar hingga pagi tiba.
Keesokan harinya aku diundang untuk mengikuti kongres para pejuang
didesaku dan seluruh pejuang dari jawa untuk melawan tentara belanda. Pada
kongres kami para pejuang dari muda hingga tua berjanji untuk selalu berani
menghadapi segala kekejaman yang dilakukan oleh tentara belanda. Kita saling
memberi motivasi dan semangat untuk mengusir penjajah. Tetapi ada seseorang
yang sangat berpengaruh yang menghadiri kongres kami, yaitu Pangeran
Diponegoro, beliau telah membakar semangat kami semua yang hadir dalam kongres.
Selain memiliki jiwa kepemimpinan beliau juga sangat taat dalam bidang agama.
Beliau berkata kepada kami.
“Hidup dan Mati ada dalam genggaman Ilahi”
Kalimat itu sontak menjadi pedoman kami dalam berjuang mengusir
penjajah, tidak hanya berani mengorbankan nyawa, kalimat itu juga mengingatkan
kami untuk selalu mengingat Allah.
Kongres selesai, kami segera kembali kerumah masing – masing untuk
berpamitan sekaligus beristirahat sejenak sebelum berperang. Keesokan harinya
Pangeran Diponegoro didatangkan keraton untuk menandatangani persetujuan bahwa
tentara belada boleh campur tangan dalam urusan kerajaan. Dengan berani Pangeran
diponegoro menolak persetujuan tersebut. Disisi lain, kerajaan seakan tidak
berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial, namun kalangan
keraton justru hidup mewah dan tidak memperdulikan penderitaan rakyat. Kondisi
para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah juga menjadi
salah satu faktor yang membuat Pangeran Diponegoro geram.
Ketika itu terlihat raut wajah pangeran sangat cemas, karena
melihat tentara belanda yang sudah terang – terangan ingin campur tangan pada
sistem politik kerajaan. Lalu Pangeran Diponegoro ingin pergi kesuatu tempat
yaitu makam leluhurnya untuk berziarah. Begitu dia sampai di makam kekecewaan
Pangeran Diponegoro memuncak, karena Patih Danureja atas perintah Belanda
memasang tonggak – tonggak untuk membuat rel kereta api yang melewati makam
leluhurnya. Pengeran Diponegoro yang muak dengan sikap Belanda kemudian
menciptakan sebuah gerakan perlawanan dan menyatakan sikap perang.
Karena sikap Pangeran Diponegoro tersebut, pada tanggal 20 Juli
1825, dimana pihak istana mengutus dua Bupati Keraton senior yang memimpin
pasukan Jawa – Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di
Tegalrejo. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya termasuk aku sedang
berdiskusi untuk menentukan rencana perang terbaik dan jitu, sontak terkejut
melihat dua bupati senior dari kraton yang ditugaskan untuk menangkapnya
bersama dengan Mangkubumi. Aksi pengejaran pun terjadi, kami semua berlari tak
tahu arah, kami berpencar untuk sekedar menyulitkan kedua bupati itu, Pangeran
Diponegoro dan Mangkubumi bersembunyi disebuah rumah tua di Tegalrejo yang
didalamnya terdapat barang – barang antik yang tertata rapi namun sedikit
berdebu.
Karena tidak tahu tempat Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi
bersembunyi, dua Bupati itu kemudian mendatangi kediaman Pangeran Diponegoro
berharap Pangeran Diponegoro ada disana. Setelah mencarinya diberbagai sudut
rumah, tidak ditemukan tanda – tanda Pangeran Diponegoro. Mereka sangat geram,
lalu mereka lantas membakar kediaman Pangeran Diponegoro, rumah Pangeran
Diponegoro yang berada di Tegalrejo hangus terbakar, tetapi Pangeran Diponegoro
dan para pengikutnya berhasil lolos dari pengejaran.
Setelah mengetahui rumahnya hangus terlahap api, Pangeran
Diponegoro berpikir untuk mencari tempat tinggal, beliau dan rekannya
Mangkubumi lantas bergerak kebarat hingga Goa Selarong di Dusun Kentolan Lor,
Guwosari, Pajangan, Bantul. Disana Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi menemukan
sebuah pendopo yang dinding, lantai, dan penopangnya masih dibuat dengan kayu.
Pangeran Diponegoro merasa tempat itu sangat cocok untuk dijadikan sebagai
markas besarnya, Mangkubumi juga menyetujuinya karena selain tempat itu berada
dipinggir kota, tempat itu juga cukup luas untuk menampung para pengikutnya. Setelah
itu Pangeran Diponegoro memutuskan untuk beristirahat ditempat itu, beliau dan
Mangkubumi tertidur lelap hingga esok hari.
Keesokan harinya, Pangeran Diponegoro berpikir keras, karena
beliau kekurangan dana untuk berperang. Lalu terlintas dipikirannya untuk
melibatkan berbagai kalangan mulai dari kaum petani hingga golongan priyayi
untuk menyumbangkan uang dan barang – barang berharga lainnya sebagai dana
perang, Pangeran Diponegoro memberitahukan idenya tersebut kepada Mangkubumi
supaya Mangkubumi segera memberitahukannya kepada berbagai kalangan tersebut.
“Mangkubumi, aku ingin memberitahukan kepadamu tentang ideku untuk
mengatasi permasalahan kita tentang kurangnya dana perang” Ucap Pangeran
Diponegoro.
“Baiklah, sampaikanlah idemu itu” jawab Mangkubumi.
“Aku mempunyai ide untuk melibatkan para petani hingga para
priyayi untuk menyumbangkan harta dan barang – barang berharga mereka, tetapi
dengan tanpa paksaan sedikitpun. Bisakah kamu menyampaikan berita ini kepada
mereka?”
“Baiklah akan segera aku sampaikan” Jawab Mangkubumi dengan yakin.
Mangkubumi segera berangkat untuk menyampaikan pesan dari Pangeran
Diponegoro.
Pangeran Diponegoro kembali memikirkan strategi perang sembari
menunggu Mangkubumi kembali. Sore harinya Mangkubumi kembali dengan membawa
kabar gembira bahwa kaum pribumi bersedia untuk menyumbangkan sedikit hartanya
supaya digunakan untuk dana perang Pangeran Diponegoro. Kaum pribumi terlibat
dengan berbekal semangat “Sadumuk Bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang
berarti “Sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati” kata itu sontak
menumbuhkan semangat perjuangan penduduk pribumi.
Hari perangpun telah tiba! Hanya dalam waktu tiga minggu setelah
peristiwa penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro sudah bisa melakukan penyerangan
dan berhasil memduduki Keraton Yogyakarta, keberhasilan ini disusul dengan
kemenangan di beberapa daerah pada tahun – tahun awal berkobarnya Perang
Diponegoro.
Aku yang juga mengikuti perang tersebut merasa sangat bangga bisa
membela tanah Jawa, Kami semua bejuang dengan maksimal tak peduli darah bercucuran
kemana – mana, satu persatu pasukan kami gugur ditangan pasukan kolonial
belanda, begitu juga teman akrabku sejak kecil yang bernama Budi, dia gugur
saat perang untuk melindungi warga dikampungku, dadanya takluk pada bedil yang
dibawa tentara belanda. Tetapi aku sangat menghargai jasa – jasanya, dia
berjuang dengan hati yang tulus. Untuk menghormati perjuangannya aku harus
berjuang lebih semangat dan lebih berani demi kebaikan.
Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan,
Semarang, dan Rembang, kemudian kearah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri,
dan sekitarnya. Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan Pangeran
Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
Puncak peperangan terjadi pada tahun 1827, Belanda mengerahkan
lebih dari 23.000 orang serdadu yang menjadi suatu hal yang tidak pernah
terjadi sebelumnya. Aku yang berada dimedan perang bersama dengan Pangeran
Diponegoro, Saat aku merasa gentar dengan kehadiran banyaknya tentara belanda
dimedan perang, Pangeran Diponegoro memberiku kata – kata untuk selalu tak
gentar mengadapi penjajah, beliau berkata :
“Hidup dan mati ada dalam genggaman Ilahi, tapi hidup harus tetap
berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah
syariat. Maka berjuanglah untuk terus hidup”.
Kata – kata itu membuat semangat berjuangku bergejolak, Pangeran
Diponegoro adalah sosok pemimpin spesial kala itu. Pangeran Diponegoro sangat
dihormati oleh seluruh masyarakat Jawa.
Setelah itu pasukan belanda datang dan melakukan penyerangan
terhadap Diponegoro menggunakan sistem benteng sehingga pasukan Diponegoro
terjepit, lalu datanglah Kyai Mojo untuk membantu digarda depan pasukan
Diponegoro, keadaan semakin memanas, tentara kolonial menyerang secara brutal
menghadapi pasukan Diponegoro. Satu – persatu korban berjatuhan, walaupun
begitu aku akan terus tetap berjuang untuk mempertahankan tanah Jawa.
Pada hari itu di tahun 1829, Kyai Mojo tertangkap. Menyusul
kemudian Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada
Belanda. Pada keesokan harinya yaitu pada tanggal 21 September 1829, Aku
melihat Belanda membuat kertas sayembara dan menempelkannya di tembok – tembok
rumah warga, kertas itu bertuliskan “Yang mampu menangkap Pangeran Diponegoro
maupun itu hidup atau mati, akan mendapatkan hadiah sebesar 50.000 Gulden
beserta tanah dan penghormatan yang diberikan oleh pihak Belanda” Sayembara
tersebut membuat para oknum berpikir untuk mengkhianati Diponegoro, tetapi aku
sudah bertekad akan membela dan melindungi Pangeran Diponegoro. Aku melihat
Pangeran Diponegoro sangat gelisah, aku menasehati beliau supaya tetap tegar.
“Tak apa Pangeran, masih banyak pejuang yang ada diluar sana yang
akan mengikutimu mempertahankan tanah Jawa”
Pangeran Diponegoro melihat kearahku dan tersenyum padaku,
wajahnya kembali terlihat bersemangat yakin akan kemenangan.
Lalu tibalah ditanggal 16 Februari 1830, Pangeran Diponegoro
mendapatkan undangan untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock,
memperhatikan posisinya yang lemah, akhirnya Pengeran Diponegoro setuju untuk
bertemu dengan utusan Jenderal De Kock yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens. Pada
20 Februari 1830, Pangeran Diponegoro pergi untuk bertemu dengan Kolonel Jan Baptist
Cleerens, Pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan
Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.
Akhirnya pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock
memerintahkan Letnan Kolonel Louist du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk
mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan penangkapan Pangeran
Diponegoro. Jenderal De Kock mulai membuat strategi bersama mereka, entah apa
strategi yang mereka buat, namun sepertinya mereka sangat yakin bahwa strategi
tesebut akan berhasil. Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De kock berhasil
menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pada saat keadaan terjepit tidak
sedikit pasukan Diponegoro melakukan tindakan penghianatan terhadap Pangeran
Diponegoro.
Pada akhirnya, setelah penghianatan tersebut Pangeran Diponegoro
menyatakan bersedia untuk menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya
dilepaskan. Aku sangat tidak menyangka kalau Pangeran Diponegoro akan melakukan
hal tersebut demi para pengikutnya seperti diriku ini. Peristiwa penyerahan
diri tersebut sekaligus menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa
pada tahun 1830.
Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro sempat
diasingkan digedung Kerasidenan Semarang yang berada di Unggaran, setelah itu
beliau juga dibawa ke Batavia pada tanggal 5 April 1830 dengan menaiki kapal
Pollux, dan tiba di Batavia pada 11 April 1830. Dari Batavia, Pangeran
Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada 30 April 1830, dan tiba pada 3
Mei 1830 kemudia ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam.
Lama tidak mendengar kabar Pangeran Diponegoro, tiba – tiba aku
terkejut saat mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro telah tiada pada
tanggal 8 Januari 1855, Beliau wafat di Benteng Rotterdam. Rasa campur aduk memenuhi
perasaanku karena bagiku beliau adalah seorang Pahlawan yang sangat mencintai
pasukannya dan tanah Jawa. Bagiku tidak ada yang bisa menggantikan peran
Pangeran Diponegoro.
oooooOOOOOooooo
Tidak ada komentar: