JERIH PAYAH PANGERAN

Kamis, Desember 28, 2023

 JERIH PAYAH PANGERAN

Karya : Thomas Nur Huda



 

Aku adalah serang remaja yang tinggal disebuah desa kecil, terletak dipinggiran kota yogyakarta. Di desaku masih terlihat sangat asri, sehingga orang yang datang kesinipun pasti terpesona melihat keasrian desaku. Namun dibalik keasrian desaku ini, kami juga dibuat takut akan tentara belanda yang sampai sekarang masih berlalu lalang di desaku. Para tentara yang membawa persenjataan lengkap dan modern itu tak segan melukai orang – orang yang tidak mematuhi perintah mereka, tak peduli dari kalangan muda hingga lansia mereka tak pandang bulu untuk menyiksa bahkan mempekerjakan mereka.

Hari ini aku akan pergi ke kebun untuk memanen sayur, sayur yang aku panen ini nantinya akan menjadi hidangan makan malam keluargaku. Kebun milik ayahku ini cukup luas, dan dikebunku pula terkadang terjadi insiden penembakan oleh tentara belanda. Syukurlah saat aku datang kesana tidak ada tentara belanda yang sedang berlalu lalang. Akupun segera memanen sayur yang ada dikebun sebelum ada tentara belanda yang datang, setelah selesai memanen aku lekas buru–buru pergi untuk menghindari kedatangan tentara belanda. Saat aku berlari beberapa meter dari kebun, tiba – tiba didepanku sudah berdiri salah satu tentara belanda, tentara belanda bertanya padaku.

“Darimana kamu?!” ucap tentara belanda itu sambil melotot kearahku.

“Saya dari kebun untuk mengambil beberapa sayuran untuk dimasak” jawabku.

Tentara belanda itu langsung mengambil paksa sayuran yang telah aku ambil dari kebunku. Hancurlah perasaanku kala itu, karena tidak bisa membawakan sayuran untuk makan malam keluargaku. Aku kembali kerumah dengan wajah penuh dengan rasa bersalah, karena ibuku sangat menantikan sayur yang kubawa dari kebun dan aku gagal untuk membawakannya, kami terpaksa menahan lapar hingga pagi tiba.

Keesokan harinya aku diundang untuk mengikuti kongres para pejuang didesaku dan seluruh pejuang dari jawa untuk melawan tentara belanda. Pada kongres kami para pejuang dari muda hingga tua berjanji untuk selalu berani menghadapi segala kekejaman yang dilakukan oleh tentara belanda. Kita saling memberi motivasi dan semangat untuk mengusir penjajah. Tetapi ada seseorang yang sangat berpengaruh yang menghadiri kongres kami, yaitu Pangeran Diponegoro, beliau telah membakar semangat kami semua yang hadir dalam kongres. Selain memiliki jiwa kepemimpinan beliau juga sangat taat dalam bidang agama. Beliau berkata kepada kami.

“Hidup dan Mati ada dalam genggaman Ilahi”

Kalimat itu sontak menjadi pedoman kami dalam berjuang mengusir penjajah, tidak hanya berani mengorbankan nyawa, kalimat itu juga mengingatkan kami untuk selalu mengingat Allah.

Kongres selesai, kami segera kembali kerumah masing – masing untuk berpamitan sekaligus beristirahat sejenak sebelum berperang. Keesokan harinya Pangeran Diponegoro didatangkan keraton untuk menandatangani persetujuan bahwa tentara belada boleh campur tangan dalam urusan kerajaan. Dengan berani Pangeran diponegoro menolak persetujuan tersebut. Disisi lain, kerajaan seakan tidak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial, namun kalangan keraton justru hidup mewah dan tidak memperdulikan penderitaan rakyat. Kondisi para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah juga menjadi salah satu faktor yang membuat Pangeran Diponegoro geram.

Ketika itu terlihat raut wajah pangeran sangat cemas, karena melihat tentara belanda yang sudah terang – terangan ingin campur tangan pada sistem politik kerajaan. Lalu Pangeran Diponegoro ingin pergi kesuatu tempat yaitu makam leluhurnya untuk berziarah. Begitu dia sampai di makam kekecewaan Pangeran Diponegoro memuncak, karena Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak – tonggak untuk membuat rel kereta api yang melewati makam leluhurnya. Pengeran Diponegoro yang muak dengan sikap Belanda kemudian menciptakan sebuah gerakan perlawanan dan menyatakan sikap perang.

Karena sikap Pangeran Diponegoro tersebut, pada tanggal 20 Juli 1825, dimana pihak istana mengutus dua Bupati Keraton senior yang memimpin pasukan Jawa – Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya termasuk aku sedang berdiskusi untuk menentukan rencana perang terbaik dan jitu, sontak terkejut melihat dua bupati senior dari kraton yang ditugaskan untuk menangkapnya bersama dengan Mangkubumi. Aksi pengejaran pun terjadi, kami semua berlari tak tahu arah, kami berpencar untuk sekedar menyulitkan kedua bupati itu, Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi bersembunyi disebuah rumah tua di Tegalrejo yang didalamnya terdapat barang – barang antik yang tertata rapi namun sedikit berdebu.

Karena tidak tahu tempat Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi bersembunyi, dua Bupati itu kemudian mendatangi kediaman Pangeran Diponegoro berharap Pangeran Diponegoro ada disana. Setelah mencarinya diberbagai sudut rumah, tidak ditemukan tanda – tanda Pangeran Diponegoro. Mereka sangat geram, lalu mereka lantas membakar kediaman Pangeran Diponegoro, rumah Pangeran Diponegoro yang berada di Tegalrejo hangus terbakar, tetapi Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya berhasil lolos dari pengejaran.

Setelah mengetahui rumahnya hangus terlahap api, Pangeran Diponegoro berpikir untuk mencari tempat tinggal, beliau dan rekannya Mangkubumi lantas bergerak kebarat hingga Goa Selarong di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul. Disana Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi menemukan sebuah pendopo yang dinding, lantai, dan penopangnya masih dibuat dengan kayu. Pangeran Diponegoro merasa tempat itu sangat cocok untuk dijadikan sebagai markas besarnya, Mangkubumi juga menyetujuinya karena selain tempat itu berada dipinggir kota, tempat itu juga cukup luas untuk menampung para pengikutnya. Setelah itu Pangeran Diponegoro memutuskan untuk beristirahat ditempat itu, beliau dan Mangkubumi tertidur lelap hingga esok hari.

Keesokan harinya, Pangeran Diponegoro berpikir keras, karena beliau kekurangan dana untuk berperang. Lalu terlintas dipikirannya untuk melibatkan berbagai kalangan mulai dari kaum petani hingga golongan priyayi untuk menyumbangkan uang dan barang – barang berharga lainnya sebagai dana perang, Pangeran Diponegoro memberitahukan idenya tersebut kepada Mangkubumi supaya Mangkubumi segera memberitahukannya kepada berbagai kalangan tersebut.

“Mangkubumi, aku ingin memberitahukan kepadamu tentang ideku untuk mengatasi permasalahan kita tentang kurangnya dana perang” Ucap Pangeran Diponegoro.

“Baiklah, sampaikanlah idemu itu” jawab Mangkubumi.

“Aku mempunyai ide untuk melibatkan para petani hingga para priyayi untuk menyumbangkan harta dan barang – barang berharga mereka, tetapi dengan tanpa paksaan sedikitpun. Bisakah kamu menyampaikan berita ini kepada mereka?”

“Baiklah akan segera aku sampaikan” Jawab Mangkubumi dengan yakin.

Mangkubumi segera berangkat untuk menyampaikan pesan dari Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro kembali memikirkan strategi perang sembari menunggu Mangkubumi kembali. Sore harinya Mangkubumi kembali dengan membawa kabar gembira bahwa kaum pribumi bersedia untuk menyumbangkan sedikit hartanya supaya digunakan untuk dana perang Pangeran Diponegoro. Kaum pribumi terlibat dengan berbekal semangat “Sadumuk Bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang berarti “Sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati” kata itu sontak menumbuhkan semangat perjuangan penduduk pribumi.

Hari perangpun telah tiba! Hanya dalam waktu tiga minggu setelah peristiwa penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro sudah bisa melakukan penyerangan dan berhasil memduduki Keraton Yogyakarta, keberhasilan ini disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun – tahun awal berkobarnya Perang Diponegoro.

Aku yang juga mengikuti perang tersebut merasa sangat bangga bisa membela tanah Jawa, Kami semua bejuang dengan maksimal tak peduli darah bercucuran kemana – mana, satu persatu pasukan kami gugur ditangan pasukan kolonial belanda, begitu juga teman akrabku sejak kecil yang bernama Budi, dia gugur saat perang untuk melindungi warga dikampungku, dadanya takluk pada bedil yang dibawa tentara belanda. Tetapi aku sangat menghargai jasa – jasanya, dia berjuang dengan hati yang tulus. Untuk menghormati perjuangannya aku harus berjuang lebih semangat dan lebih berani demi kebaikan.

Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang, kemudian kearah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan Pangeran Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.

Puncak peperangan terjadi pada tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu yang menjadi suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Aku yang berada dimedan perang bersama dengan Pangeran Diponegoro, Saat aku merasa gentar dengan kehadiran banyaknya tentara belanda dimedan perang, Pangeran Diponegoro memberiku kata – kata untuk selalu tak gentar mengadapi penjajah, beliau berkata :

“Hidup dan mati ada dalam genggaman Ilahi, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Maka berjuanglah untuk terus hidup”.

Kata – kata itu membuat semangat berjuangku bergejolak, Pangeran Diponegoro adalah sosok pemimpin spesial kala itu. Pangeran Diponegoro sangat dihormati oleh seluruh masyarakat Jawa.

Setelah itu pasukan belanda datang dan melakukan penyerangan terhadap Diponegoro menggunakan sistem benteng sehingga pasukan Diponegoro terjepit, lalu datanglah Kyai Mojo untuk membantu digarda depan pasukan Diponegoro, keadaan semakin memanas, tentara kolonial menyerang secara brutal menghadapi pasukan Diponegoro. Satu – persatu korban berjatuhan, walaupun begitu aku akan terus tetap berjuang untuk mempertahankan tanah Jawa.

Pada hari itu di tahun 1829, Kyai Mojo tertangkap. Menyusul kemudian Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada Belanda. Pada keesokan harinya yaitu pada tanggal 21 September 1829, Aku melihat Belanda membuat kertas sayembara dan menempelkannya di tembok – tembok rumah warga, kertas itu bertuliskan “Yang mampu menangkap Pangeran Diponegoro maupun itu hidup atau mati, akan mendapatkan hadiah sebesar 50.000 Gulden beserta tanah dan penghormatan yang diberikan oleh pihak Belanda” Sayembara tersebut membuat para oknum berpikir untuk mengkhianati Diponegoro, tetapi aku sudah bertekad akan membela dan melindungi Pangeran Diponegoro. Aku melihat Pangeran Diponegoro sangat gelisah, aku menasehati beliau supaya tetap tegar.

“Tak apa Pangeran, masih banyak pejuang yang ada diluar sana yang akan mengikutimu mempertahankan tanah Jawa”

Pangeran Diponegoro melihat kearahku dan tersenyum padaku, wajahnya kembali terlihat bersemangat yakin akan kemenangan.

Lalu tibalah ditanggal 16 Februari 1830, Pangeran Diponegoro mendapatkan undangan untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, memperhatikan posisinya yang lemah, akhirnya Pengeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens. Pada 20 Februari 1830, Pangeran Diponegoro pergi untuk bertemu dengan Kolonel Jan Baptist Cleerens, Pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock.

Akhirnya pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louist du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan penangkapan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock mulai membuat strategi bersama mereka, entah apa strategi yang mereka buat, namun sepertinya mereka sangat yakin bahwa strategi tesebut akan berhasil. Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pada saat keadaan terjepit tidak sedikit pasukan Diponegoro melakukan tindakan penghianatan terhadap Pangeran Diponegoro.

Pada akhirnya, setelah penghianatan tersebut Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia untuk menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan. Aku sangat tidak menyangka kalau Pangeran Diponegoro akan melakukan hal tersebut demi para pengikutnya seperti diriku ini. Peristiwa penyerahan diri tersebut sekaligus menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1830.

Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan digedung Kerasidenan Semarang yang berada di Unggaran, setelah itu beliau juga dibawa ke Batavia pada tanggal 5 April 1830 dengan menaiki kapal Pollux, dan tiba di Batavia pada 11 April 1830. Dari Batavia, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada 30 April 1830, dan tiba pada 3 Mei 1830 kemudia ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam.

Lama tidak mendengar kabar Pangeran Diponegoro, tiba – tiba aku terkejut saat mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro telah tiada pada tanggal 8 Januari 1855, Beliau wafat di Benteng Rotterdam. Rasa campur aduk memenuhi perasaanku karena bagiku beliau adalah seorang Pahlawan yang sangat mencintai pasukannya dan tanah Jawa. Bagiku tidak ada yang bisa menggantikan peran Pangeran Diponegoro.

oooooOOOOOooooo

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.