Kepergianmu Sang Perwira

Kamis, Desember 28, 2023

 Kepergianmu Sang Perwira

 

Karya : Zahra Zaitun Akmalia


 

Namaku Naraya Wiratama, aku mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Semarang. Yah, diriku bukanlah seseorang yang mencolok ataupun terkenal disekolah. Aku bukanlah seseorang pendiam sebenarnya hanya saja diriku ini cukup pemalu untuk memulai obrolan dengan orang lain. Hari ini merupakan hari pertamaku masuk kembali setelah libur kenaikan kelas, tak terasa diriku sudah menginjak bangku kelas 12 SMA.

Seperti tahun-tahun sebelumnya pembagian kelas akan dilakukan setiap awal tahun ajaran baru. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju mading untuk melihat kelas yang akan kudapatkan. Netraku mulai mencari dimana namaku berada, akhirnya aku menemukan namaku. Kelas mipa-1 itu kelas yang akan kutempati, kulihat lagi daftar nama itu senyumku terpampang jelas tatkala aku melihat namanya di kelas yang sama denganku.

Dia, seseorang yang kusukai sejak aku masuk ke sekolah ini. Pierre Andrias Tendean, lelaki berdarah campuran itu menarik perhatianku sejak awal. Sepengetahuanku ayahnya bernama A.L Tendean yang merupakan seorang dokter berdarah Minahasa dan ibunya Maria Elizabeth Cornet yang merupakan wanita berdarah Belanda sekaligus keturunan Perancis, kudengar Ia juga mempunyai seorang kakak perempuan dan seorang adik perempuan. Tampan satu kata yang terlintas di pikiranku untuk menggambarkan dirinya. Dia menjadi primadona di sekolah dan disukai oleh banyak siswi. Banyak guru yang turut menjadikannya murid favorit, karena tak hanya tampan dia juga sangat cerdas dalam berbagai mata pelajaran.

Tak berlama-lama di sana aku mulai berjalan menuju ruang kelas, lorong menuju kelas dipenuhi oleh siswa-siswi yang sedang bersenda gurau. Tidak butuh waktu lama diriku pun telah sampai di depan ruang kelas yang akan kutempati. Aku mulai berjalan memasuki ruang kelas.

“Wah, sudah ramai sekali kelasnya.” Ujarku.

“Nara!, kemari.” Aku menoleh tatkala mendengar ada seseorang yang memanggilku. Ah, dia lagi sudah bosan aku bertemu dengannya. Bagaimana tidak kami sudah sekelas selama 2 tahun berturut-turut dan ini merupakan tahun ketiga aku kembali satu kelas dengannya. Watanabe Haruto namanya, yang biasa kupanggil haru. Ia memang lahir dan besar di Indonesia namun ayahnya merupakan orang asli Jepang, maka dari itu tak heran namanya pun seperti orang Jepang lainnya.

Aku berjalan menghampirinya lalu mengambil tempat tepat di depan tempat duduk haru. “Kita sekelas pagi nih ra.” Ucap Haruto dengan memasang wajah tertawa yang membuatku jengkel setengah mati. “Demi apapun, aku sudah bosan sekelas denganmu terus setiap tahunya.” Aku memutar bola mataku malas.

“Haha, aku tidak bosan tuh.” Ujarnya dengan masih memasang tampang menyebalkannya.

“Haru, kau tahu tidak ternyata dia sekelas dengan kita.” Kataku dengan semangat.

“Dia siapa aku tak kenal perasaan.” Aku langsung menekuk wajahku, karena aku kesal dengannya bagaimana mungkin dia tidak tahu siapa orang yang kumaksud. Kita berdua sudah bersahabat sejak awal masuk disekolah ini, sangat tidak mungkin kalau dia tidak tahu orang itu.

“Hei, jangan pura-pura tidak tahu.” Ucapku dengan kesal.

“Maaf, aku cuma bercanda tahu sensitif sekali dirimu kalau menyangkut tentang dia “ sambil terus menertawakan diriku.

Tiba-tiba ada seseorang yang berjalan menghampiri mejaku, mataku terbelalak, jantungku berdegup kencang. Orang itu ialah orang yang telah kusukai sejak lama, ya benar orang itu Pierre.

“Hai, boleh aku duduk di sini? Bangku lainnya sudah penuh soalnya.” Ujarnya dengan tersenyum. Aku terdiam sampai haru menepuk pundakku, aku pun tersadar dari lamunanku.

“O-oh boleh saja kosong kok.” Ucapku dengan gugup.

“Oh iya namaku Pierre Andrias Tendean biasa dipanggil Pierre.” Ucapnya, bahkan tanpa memperkenalkan dirinya aku pun sudah tau siapa namanya.

“Aku Naraya Wiratama, biasa dipanggil Nara.” Ucapku dengan senyuman.

“Kalau aku Haru, Watanabe Haruto siswa paling tampan disekolah ini.” Cih, percaya diri sekali dia padahal Pierre jauh lebih tampan darinya. Walau tak bisa kupungkiri, bahwa Haruto juga memiliki paras yang bisa dibilang memiliki wajah di atas rata-rata siswa kebanyakan. Mungkin karena ayahnya merupakan orang jepang jadi dia punya wajah yang berbeda dari pribumi kebanyakan. Tapi tetap saja Pierre adalah orang tertampan dimataku tidak ada yang bisa menandinginya.

• • •

Tidak terasa hari demi hari bulan demi bulan sudah terlewati, akhirnya aku pun akan segera lulus dari sekolah ini. Sangat cepat bukan, aku akan segera berpisah dengan teman-temanku, termasuk Haruto dan juga Pierre. Besok merupakan hari kelulusanku dimana kami semua akan berkumpul untuk terakhir kalinya. Hatiku terasa senang karena aku sudah diterima di universitas impian dan juga jurusan yang kuinginkan, ya kedokteran.

Namun disisi lain hatiku juga terasa sedih karena setelah ini mungkin aku tak akan pernah bertemu dengan Pierre lagi, sampai sekarang pun aku belum mengungkapkan perasaanku. Karena aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya, mungkin aku akan mengungkapkannya besok saat acara kelulusan.

Keesokan harinya dimana acara kelulusan berlangsung.

Pagi ini langit tampak cerah, angin pun berembus dengan lembut. Banyak siswa-siswi yang sibuk berlalu-lalang di koridor sekolah sembari menunggu acara dimulai. Aku melangkahkan kakiku membawa diriku sampai di ruangan yang bertuliskan “Mipa-1”. Tapi setelah hari ini aku tidak akan memasuki kelas ini lagi, karena hari ini merupakan hari terakhirku di sekolah ini. Hari ini merupakan hari kelulusanku dan sekolahku mengadakan acara kelulusan untuk siswa siswi kelas tiga.

Mulai kubawa diriku untuk masuk ke dalam ruang kelas ini, tanpa sengaja netraku menangkap kehadiran seseorang. Kulihat Pierre sedang berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman sekolah, aku pun berjalan untuk mendekatinya.

“Kau tahu, hari ini adalah hari terakhir kita akan melihat ruangan ini bukan?” Ucapku kepada Pierre.

Pemuda bernama Pierre itu pun menjawab “Yah, begitulah tidak terasa kita sudah lulus, rasanya aku tidak ingin meninggalkan tempat ini.” Aku menatapnya sendu, apakah aku harus mengungkapkan perasaanku sekarang?.

“Hei kalian berdua jangan asyik memandangi kelas ini terus menerus, cepatlah acaranya akan dimulai sebentar lagi.” Seru Haruto yang tiba-tiba sudah berdiri diambang pintu kelas. Kami berdua pun menoleh dan hanya tersenyum kepada Haruto, lalu kita bertiga keluar dari ruang kelas kemudian berjalan menuju ke Aula.

Selama perjalanan kami bertiga hanya terdiam larut dalam pikiran kami masing-masing, tapi tiba-tiba saja Haruto berbicara “Aku bahagia bisa mengenal kalian dan menjadi sahabat kalian. Aku tak akan pernah melupakan hari-hari yang telah kulalui bersama kalian disekolah ini.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Senang rasanya bisa bersama kalian berdua walau hanya 1 tahun, tapi hal itu sudah cukup membuatku bahagia karena memiliki sahabat yang baik seperti kalian.” Ucapnya sambil tersenyum menatap diriku dan juga Haruto walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dia juga terlihat sedih karena akan berpisah dengan aku dan Haruto.

Aku tersenyum miris apakah selama ini Pierre tidak pernah menyadari perasaanku sedikit pun? Dan dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya?. Walau begitu aku tak gentar aku akan tetap mengungkapkan perasaanku padanya nanti, aku tidak ingin menyesal dikemudian hari hanya karena terus memendam perasaanku.

Aku pun tak tinggal diam, dengan semangat aku pun berkata “Ya, aku sangat-sangat senang bisa bersama kalian selama ini. Aku harap walaupun kita berpisah, kita tetap bisa terus bersahabat.” Kataku sambil menatap mereka berdua.

Kami pun sampai di aula, tak lama setelahnya upacara kelulusan pun dimulai. Suasana pada hari itu bercampur antara sedih dan bahagia, kami semua bahagia karena telah lulus dan akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi kami juga sedih karena akan meninggalkan sekolah dan meninggalkan guru-guru yang telah mengajar kami selama tiga tahun, terlebih lagi kami juga akan berpisah dengan sahabat-sahabat kami.

Setelah nama kami semua dipanggil, kami pun satu-persatu maju untuk menghampiri kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Saat semua siswa kelas tiga sudah mendapat ijazah, kami semua pun menyanyikan lagu kelulusan sekolah yang sekaligus lagu perpisahan. Setelah acara kelulusan selesai, semua siswa pun keluar dari ruang aula. Tampak para siswa kelas tiga saling berbincang dengan teman mereka. Ada juga yang berbincang dengan adik kelas mereka yang dulunya satu klub dan eksul yang sama dengan mereka, para siswa kelas 1 dan 2 pun memberikan ucapan selamat pada kakak kelas mereka para kelas mereka yang telah lulus.

Sedangkan disuatu tempat tepatnya di atap sekolah aku dan Pierre sedang menatap langit dengan keadaan hening, kami terlalu larut dalam pikiran kami masing-masing.

“Hari ini adalah hari terakhir aku melihat sekolah ini dan juga hari terakhirku aku akan bersama dengan cinta pertamaku. Rasanya aku ingin mengangis sejadi-jadinya, aku sangat menyayangi dia, aku harap aku masih bisa melihatnya walaupun kami berpisah.” Batin diriku.

Aku pun menoleh kearah Pierre, kulihat dia tampak tersenyum walaupun aku tahu sebenarnya dia ingin menangis.Ia yang sadar bahwa sedang ditatap olehku pun menoleh. Aku hanya bisa tersenyum pahit karena harus menerima kenyataan bahwa aku dan dia akan berpisah.

Aku yang tak bisa lagi menahan air mataku kini menangis membuat Pierre terkejut. Ia pun memelekku yang sedang menangis lalu berkata “Apapun yang terjadi dan juga walaupun kita berpisah, kita harus berkumpul saat kita punya waktu senggang. Dan juga janji jangan ada diantara kita bedua yang nantinya saling melupakan karena kita akan selamanya menjadi sahabat.” Ucapnya sambil tersenyum.

Aku yang mendengar itu langsung melepas pelukan Pierre lalu dengan penuh keberanian, aku mengungkapkan perasaan ku padanya.

“Aku menyukaimu, kau tahu aku menyukaimu sejak awal sejak aku masuk disekolah ini.” Ujarku, dia pun tampak terkejut dengan apa yang kuucapkan.

Pierre pun tampak terdiam, tak lama setelah itu ia pun tersenyum kepadaku dan berkata “Terimakasih sudah menyukaiku, tapi maaf aku tak bisa membalas perasaanmu. Mungkin dilain waktu aku bisa membalas perasaanmu tapi untuk saat ini perasaanku padamu hanyalah sebatas sahabat tidak lebih.” Ucapnya sambil masih tersenyum.

Sejak awal aku seharusnya sadar bahwa dia hanya menganggapku sahabat dan tak seharusnya aku mengungkapkan perasaanku padanya. Ini mungkin pertama kalinya aku terluka karena perasaan cinta, ini memang pertama kali aku merasakn cinta dan ini pertama kali aku terjatuh dan patah karena cinta. Pernah kurasakan bahagia yang begitu besar, pernah kurasakan betapa indah memilikimu di hiduplu. Mencintai dan dicintai kamu adalah anugerah yang sangat indah untukku.

Aku sangat berterimakasih pada Tuhan karena telah memberi kesempatan bagi diriku untuk mengenal dirimu, yang penuh dengan senyuman manis. Dan saat ini saat kamu memilih untuk menolak perasaanku aku merasa sangat sedih, tapi karena itulah aku paham bahwa aku bagimu hanyalah seorang sahabat.

Tahun 1958 beberapa bulan setelah kelulusan

Saat ini aku sudah mulai mempersiaplan diriku untuk mulai masuk ke universitas dimana aku akan menempuh pendidikan dokterku. Aku akan menempuh pendidikan ku di Yogyakarta tepatnya di Universitas Gadjah Mada yang mana merupakan salah satu universitas terabik di Indonesia pada saat itu.

Sebelum aku pergi ke jogja aku masih menyempatkan diri untuk bertemu dengan Haruto dan juga Pierre. Saat kami bertemu Haruto mengatakan bahwa ia juga diterima di jurusa kedokteran sama sepertiku, namun di Universitas Indonesia yang berada di Jakarta. Sedangkan Pierre mengatakan bahwa kedua orangbtuanya ingin dirinya untuk masuk ke kedokteran. Tapi karena ia bertekad untuk menjadi seorang tentara, ia memilih untuk menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat(Atekad). Sampai akhirnya kami pun harus pergi untuk memenmpuh pendidikan masing-masing, walau seperti itu kami berjanji untuk terus bertukar kabar satu sama lain.

Tahun 1961.

Waktu saat dimana kita menyempatkan diri untuk bertemu kembali Pierre memeberitahuku jika dirinya sudah lulus dari akademi militer dengan pangkat letnan dua, aku pun turut senang mendengar akan kelulusanya. Tapi Pierre juga mengatakan padaku bahwa ia langsung mendapat tugas pertamanya sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni di Medan, Sumatera Utara. Mendengar hal itu aku merasa sedih karena harus menerima kenyataan jika aku tidak akan melihatnya dalam jangka waktu yang lama. Tapi aku tetap mengulas senyumku dihadapanya karena tak ingin membebaninya dengan kesedihanku, lagipula aku tak punya hak bukan untuk menahanya pergi.

Yang kutahu tugas itu hanya dijalankannya selama setahun karena dirinya kemudian mengikuti pendidikan sekolah intelijen pada tahun 1962. Ia juga dikirim di garis depan pada massa konfrontasi dengan Malaysia yangg dikenal dengan istilah “dwikora” di mana ia memimpin kelompok sukarelawan di beberapa titik di tanah air. Disanalah aku dapat bertemu lagi denganya karena aku juga menjadi relawan medis pada massa konfrontasi itu. Sejak saat itu Pierre kemudian dipromosikan menjadi Letnan satu/Lettu dan pengawal pribadi Jendral A.H Nasution.

• • •

Bertahun-tahun telah kulewati dengan tak pernah lagi bertukar kabar dengan Pierre. Sudah 4 tahun terhitung sejak aku terakhir aku bertemu dengan dirinya, bagaimana kabarnya sekarang?.

30 September 1965.

Berjalan di lorong rumah sakit kini aku tengah menjalani profesiku sebagai seorang dokter, bertegur sapa dengan para perawat serta karywan rumah sakit sudah menjadi rutinitas sehari-hariku. Namun ada yang menarik perhatianku, ketika hampir semua mata tertuju kepada seseorang dan tampaknya ia adalah seorang tentara. Lelaki bertubuh gagah itu sedang berdiri di depan meja administrasi, aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya karena aku berjalan dari arah belakangnya. Ketika langkahku sudah dekat denganya aku sadar aku mengenalinya lelaki itu adalah Pierre.

Senyumku tak tertahan tatkala aku bisa melihatnya lagi setelah sekian lama, tak banyak yang berubah darinya hanya saja ia tampak lebih gagah dan dewasa sekarang.

“Sudah kana ya, kita tidak bertemu?” Aku bertanya dengan senyuman yang belum pudar sedkitpun.

Dia pun menoleh kepadaku lalu berkata “Iya.”

“Apa kau mencoba menghindar dariku? Tapi sepertinya kau gagal.” Kataku.

“Iya.” Ucapnnya lagi, menyebalkan bukan sudah sekian lama tak bertemu tapi jawabanya hanya seperti itu.

“Kenapa dirimu bersikap seperti itu? Kau seperti benar-benar berusaha menghindar dariku.” Tanyaku padanya.

Tidak menjawab, Pierre hanya diam mematung. Dengan tetap mempertahankan ekspresi datar di wajahnya. Membuatku yang kesal menjadi semakin kesal.

“Jawab aku, kau pasti punya alasan kenapa kau bersikap seolah-olah menghindariku. Aku hanya ingin mendengar alasanmu.” Ucapku.

“Alasanku bukanlah seperti yang kau pikirkan. Aku hanya tak ingin menyakiti perasaanmu saja, sejak saat aku ditugaskan ke medan. Disana aku bertemu seseorang yang mebuatku jatuh cinta dan aku sadar jika aku terus dekat denganmu itu akan menyakiti hatimu.” Ujarnya kepada diriku.

Aku menguatkan hatiku untuk bisa menjawab alasan yang dilotarkan oleh dirinya. “Hatiku sudah berubah, Pierre. Dan aku sudah tak mencintaimu lagi, aku merindukanmu hanyalah sebatasa perasaanku sebgai seorang sahabat.”

“Aku tidak percaya.” Nadanya kembali rendah.

“Jika kau sudah selesai-“ ucapannya lagi-lai diputus.

“Aku permisi dulu.” Dia hanya berbalik dan berjalan tegas, pergi menjauh dariku.

Aku terdiam tak bisa berkata-kata, hatiku seolah remuk tapi bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri? Bahwa aku akan menghapus perasaan ini. Sepertinya aku tidak benar-benar bisa menghilangkan perasaanku kepada dirinya. Bahkan sampai detik ini dia masih menjadi seseorang yang berarti dihatiku, dia masih menjadi alasnku tersenyum, dia masih segalanya untukku. Aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan sendu.

5 Oktober 1965.

Pada hari itu, hari dimana semua orang berkabung atas kepergian 6 orang jendral dan 1 orang perwira. Hari itu merupakan hari di mana jenazah pahlawan revolusi, korban tragedi Gerakan 30 September 1965 dikebumikan. Pierre merupakan perwira yang menjadi korban pada tragedi tersebut. Aku pun turut menghadiri acara pemakaman yang dilakukan di Taman Makam Pahlawan.

Sebelum hari pemakaman, tepatnya tanggal 1 Oktober 1965 aku mendengar kabar dari radio bahwa adanya penculikan yang dilakukan kepada 6 orang jendral besar. Aku sangat terkejut mendengar hal itu, tapi sangat tidak disangka-sangka 3 hari setelah pengumuman itu aku mendengar kabar yang membuat jantungku seolah berhenti sektika. Dimana aku mendengar bahwa Pierre Tendean merupakan salah satu korban dari kejadian tersebut. Hatiku sangat hancur saat mendengarnya tak kusangka hari itu merupakan pertemuan terakhirku dengan dirinya.

Kembali pada hari dimana seluruh korban tragedi G30SPKI dimakamkan. Aku berdiri menatap nisan yang bertuliskan “Pierre Tendean” air mataku tak mampu kutahan lagi. Aku merasa sangat hancur dan kehilangan melihat orang yang kucintai telah tiada. Tapi aku bangga padanya a benar-benar menepati janjinya untuk selalu mengabdi pada negara, sekarang Pierre dirimu akan selalu dikenang sebagai seorang pahlawan bagi negara ini.

Sembari masih menatap nisannya aku pun menghapus air mataku lalu aku mengulas senyum untuknya sambil berkata

“Berbicara tentang ikhlas, kau tahu aku pernah memohon doa paling egois kepada Tuhan, dimana segala semogaku hanya tentang ingin memilikimu. Hingga pada akhirnya aku sadar dengan merelakanu pergi adalah seikhlas-ikhlasnya jatuh cinta.”

 

Selesai..

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.