Kepergianmu Sang Perwira
Kepergianmu Sang Perwira
Karya : Zahra Zaitun Akmalia
Namaku Naraya Wiratama, aku mengenyam
pendidikan di SMA Negeri 1 Semarang. Yah, diriku bukanlah seseorang yang
mencolok ataupun terkenal disekolah. Aku bukanlah seseorang pendiam sebenarnya
hanya saja diriku ini cukup pemalu untuk memulai obrolan dengan orang lain.
Hari ini merupakan hari pertamaku masuk kembali setelah libur kenaikan kelas,
tak terasa diriku sudah menginjak bangku kelas 12 SMA.
Seperti tahun-tahun sebelumnya pembagian
kelas akan dilakukan setiap awal tahun ajaran baru. Aku mulai melangkahkan
kakiku menuju mading untuk melihat kelas yang akan kudapatkan. Netraku mulai
mencari dimana namaku berada, akhirnya aku menemukan namaku. Kelas mipa-1 itu
kelas yang akan kutempati, kulihat lagi daftar nama itu senyumku terpampang
jelas tatkala aku melihat namanya di kelas yang sama denganku.
Dia, seseorang yang kusukai sejak aku masuk
ke sekolah ini. Pierre Andrias Tendean, lelaki berdarah campuran itu menarik
perhatianku sejak awal. Sepengetahuanku ayahnya bernama A.L Tendean yang
merupakan seorang dokter berdarah Minahasa dan ibunya Maria Elizabeth Cornet
yang merupakan wanita berdarah Belanda sekaligus keturunan Perancis, kudengar
Ia juga mempunyai seorang kakak perempuan dan seorang adik perempuan. Tampan
satu kata yang terlintas di pikiranku untuk menggambarkan dirinya. Dia menjadi
primadona di sekolah dan disukai oleh banyak siswi. Banyak guru yang turut
menjadikannya murid favorit, karena tak hanya tampan dia juga sangat cerdas
dalam berbagai mata pelajaran.
Tak berlama-lama di sana aku mulai berjalan
menuju ruang kelas, lorong menuju kelas dipenuhi oleh siswa-siswi yang sedang
bersenda gurau. Tidak butuh waktu lama diriku pun telah sampai di depan ruang
kelas yang akan kutempati. Aku mulai berjalan memasuki ruang kelas.
“Wah, sudah ramai sekali kelasnya.” Ujarku.
“Nara!, kemari.” Aku menoleh tatkala
mendengar ada seseorang yang memanggilku. Ah, dia lagi sudah bosan aku bertemu
dengannya. Bagaimana tidak kami sudah sekelas selama 2 tahun berturut-turut dan
ini merupakan tahun ketiga aku kembali satu kelas dengannya. Watanabe Haruto
namanya, yang biasa kupanggil haru. Ia memang lahir dan besar di Indonesia
namun ayahnya merupakan orang asli Jepang, maka dari itu tak heran namanya pun
seperti orang Jepang lainnya.
Aku berjalan menghampirinya lalu mengambil
tempat tepat di depan tempat duduk haru. “Kita sekelas pagi nih ra.” Ucap
Haruto dengan memasang wajah tertawa yang membuatku jengkel setengah mati.
“Demi apapun, aku sudah bosan sekelas denganmu terus setiap tahunya.” Aku
memutar bola mataku malas.
“Haha, aku tidak bosan tuh.” Ujarnya dengan
masih memasang tampang menyebalkannya.
“Haru, kau tahu tidak ternyata dia sekelas
dengan kita.” Kataku dengan semangat.
“Dia siapa aku tak kenal perasaan.” Aku
langsung menekuk wajahku, karena aku kesal dengannya bagaimana mungkin dia
tidak tahu siapa orang yang kumaksud. Kita berdua sudah bersahabat sejak awal
masuk disekolah ini, sangat tidak mungkin kalau dia tidak tahu orang itu.
“Hei, jangan pura-pura tidak tahu.” Ucapku
dengan kesal.
“Maaf, aku cuma bercanda tahu sensitif sekali
dirimu kalau menyangkut tentang dia “ sambil terus menertawakan diriku.
Tiba-tiba ada seseorang yang berjalan
menghampiri mejaku, mataku terbelalak, jantungku berdegup kencang. Orang itu
ialah orang yang telah kusukai sejak lama, ya benar orang itu Pierre.
“Hai, boleh aku duduk di sini? Bangku lainnya
sudah penuh soalnya.” Ujarnya dengan tersenyum. Aku terdiam sampai haru menepuk
pundakku, aku pun tersadar dari lamunanku.
“O-oh boleh saja kosong kok.” Ucapku dengan
gugup.
“Oh iya namaku Pierre Andrias Tendean biasa
dipanggil Pierre.” Ucapnya, bahkan tanpa memperkenalkan dirinya aku pun sudah
tau siapa namanya.
“Aku Naraya Wiratama, biasa dipanggil Nara.”
Ucapku dengan senyuman.
“Kalau aku Haru, Watanabe Haruto siswa paling
tampan disekolah ini.” Cih, percaya diri sekali dia padahal Pierre jauh lebih
tampan darinya. Walau tak bisa kupungkiri, bahwa Haruto juga memiliki paras
yang bisa dibilang memiliki wajah di atas rata-rata siswa kebanyakan. Mungkin
karena ayahnya merupakan orang jepang jadi dia punya wajah yang berbeda dari
pribumi kebanyakan. Tapi tetap saja Pierre adalah orang tertampan dimataku
tidak ada yang bisa menandinginya.
• • •
Tidak terasa hari demi hari bulan demi bulan
sudah terlewati, akhirnya aku pun akan segera lulus dari sekolah ini. Sangat
cepat bukan, aku akan segera berpisah dengan teman-temanku, termasuk Haruto dan
juga Pierre. Besok merupakan hari kelulusanku dimana kami semua akan berkumpul
untuk terakhir kalinya. Hatiku terasa senang karena aku sudah diterima di
universitas impian dan juga jurusan yang kuinginkan, ya kedokteran.
Namun disisi lain hatiku juga terasa sedih
karena setelah ini mungkin aku tak akan pernah bertemu dengan Pierre lagi,
sampai sekarang pun aku belum mengungkapkan perasaanku. Karena aku tak punya
cukup keberanian untuk mengungkapkannya, mungkin aku akan mengungkapkannya
besok saat acara kelulusan.
Keesokan harinya dimana acara kelulusan berlangsung.
Pagi ini langit tampak cerah, angin pun
berembus dengan lembut. Banyak siswa-siswi yang sibuk berlalu-lalang di koridor
sekolah sembari menunggu acara dimulai. Aku melangkahkan kakiku membawa diriku
sampai di ruangan yang bertuliskan “Mipa-1”. Tapi setelah hari ini aku tidak
akan memasuki kelas ini lagi, karena hari ini merupakan hari terakhirku di
sekolah ini. Hari ini merupakan hari kelulusanku dan sekolahku mengadakan acara
kelulusan untuk siswa siswi kelas tiga.
Mulai kubawa diriku untuk masuk ke dalam
ruang kelas ini, tanpa sengaja netraku menangkap kehadiran seseorang. Kulihat
Pierre sedang berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman sekolah,
aku pun berjalan untuk mendekatinya.
“Kau tahu, hari ini adalah hari terakhir kita
akan melihat ruangan ini bukan?” Ucapku kepada Pierre.
Pemuda bernama Pierre itu pun menjawab “Yah,
begitulah tidak terasa kita sudah lulus, rasanya aku tidak ingin meninggalkan
tempat ini.” Aku menatapnya sendu, apakah aku harus mengungkapkan perasaanku
sekarang?.
“Hei kalian berdua jangan asyik memandangi
kelas ini terus menerus, cepatlah acaranya akan dimulai sebentar lagi.” Seru
Haruto yang tiba-tiba sudah berdiri diambang pintu kelas. Kami berdua pun menoleh
dan hanya tersenyum kepada Haruto, lalu kita bertiga keluar dari ruang kelas
kemudian berjalan menuju ke Aula.
Selama perjalanan kami bertiga hanya terdiam
larut dalam pikiran kami masing-masing, tapi tiba-tiba saja Haruto berbicara
“Aku bahagia bisa mengenal kalian dan menjadi sahabat kalian. Aku tak akan
pernah melupakan hari-hari yang telah kulalui bersama kalian disekolah ini.”
Ucapnya sambil tersenyum.
“Senang rasanya bisa bersama kalian berdua
walau hanya 1 tahun, tapi hal itu sudah cukup membuatku bahagia karena memiliki
sahabat yang baik seperti kalian.” Ucapnya sambil tersenyum menatap diriku dan
juga Haruto walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dia juga terlihat sedih karena
akan berpisah dengan aku dan Haruto.
Aku tersenyum miris apakah selama ini Pierre
tidak pernah menyadari perasaanku sedikit pun? Dan dia hanya menganggapku
sebagai sahabatnya?. Walau begitu aku tak gentar aku akan tetap mengungkapkan
perasaanku padanya nanti, aku tidak ingin menyesal dikemudian hari hanya karena
terus memendam perasaanku.
Aku pun tak tinggal diam, dengan semangat aku
pun berkata “Ya, aku sangat-sangat senang bisa bersama kalian selama ini. Aku
harap walaupun kita berpisah, kita tetap bisa terus bersahabat.” Kataku sambil
menatap mereka berdua.
Kami pun sampai di aula, tak lama setelahnya
upacara kelulusan pun dimulai. Suasana pada hari itu bercampur antara sedih dan
bahagia, kami semua bahagia karena telah lulus dan akan melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi kami juga sedih karena akan meninggalkan
sekolah dan meninggalkan guru-guru yang telah mengajar kami selama tiga tahun,
terlebih lagi kami juga akan berpisah dengan sahabat-sahabat kami.
Setelah nama kami semua dipanggil, kami pun
satu-persatu maju untuk menghampiri kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Saat
semua siswa kelas tiga sudah mendapat ijazah, kami semua pun menyanyikan lagu
kelulusan sekolah yang sekaligus lagu perpisahan. Setelah acara kelulusan
selesai, semua siswa pun keluar dari ruang aula. Tampak para siswa kelas tiga saling
berbincang dengan teman mereka. Ada juga yang berbincang dengan adik kelas
mereka yang dulunya satu klub dan eksul yang sama dengan mereka, para siswa
kelas 1 dan 2 pun memberikan ucapan selamat pada kakak kelas mereka para kelas
mereka yang telah lulus.
Sedangkan disuatu tempat tepatnya di atap
sekolah aku dan Pierre sedang menatap langit dengan keadaan hening, kami
terlalu larut dalam pikiran kami masing-masing.
“Hari ini adalah hari terakhir aku melihat
sekolah ini dan juga hari terakhirku aku akan bersama dengan cinta pertamaku.
Rasanya aku ingin mengangis sejadi-jadinya, aku sangat menyayangi dia, aku
harap aku masih bisa melihatnya walaupun kami berpisah.” Batin diriku.
Aku pun menoleh kearah Pierre, kulihat dia
tampak tersenyum walaupun aku tahu sebenarnya dia ingin menangis.Ia yang sadar
bahwa sedang ditatap olehku pun menoleh. Aku hanya bisa tersenyum pahit karena
harus menerima kenyataan bahwa aku dan dia akan berpisah.
Aku yang tak bisa lagi menahan air mataku
kini menangis membuat Pierre terkejut. Ia pun memelekku yang sedang menangis
lalu berkata “Apapun yang terjadi dan juga walaupun kita berpisah, kita harus
berkumpul saat kita punya waktu senggang. Dan juga janji jangan ada diantara
kita bedua yang nantinya saling melupakan karena kita akan selamanya menjadi
sahabat.” Ucapnya sambil tersenyum.
Aku yang mendengar itu langsung melepas
pelukan Pierre lalu dengan penuh keberanian, aku mengungkapkan perasaan ku
padanya.
“Aku menyukaimu, kau tahu aku menyukaimu
sejak awal sejak aku masuk disekolah ini.” Ujarku, dia pun tampak terkejut
dengan apa yang kuucapkan.
Pierre pun tampak terdiam, tak lama setelah
itu ia pun tersenyum kepadaku dan berkata “Terimakasih sudah menyukaiku, tapi
maaf aku tak bisa membalas perasaanmu. Mungkin dilain waktu aku bisa membalas
perasaanmu tapi untuk saat ini perasaanku padamu hanyalah sebatas sahabat tidak
lebih.” Ucapnya sambil masih tersenyum.
Sejak awal aku seharusnya sadar bahwa dia
hanya menganggapku sahabat dan tak seharusnya aku mengungkapkan perasaanku
padanya. Ini mungkin pertama kalinya aku terluka karena perasaan cinta, ini
memang pertama kali aku merasakn cinta dan ini pertama kali aku terjatuh dan
patah karena cinta. Pernah kurasakan bahagia yang begitu besar, pernah
kurasakan betapa indah memilikimu di hiduplu. Mencintai dan dicintai kamu
adalah anugerah yang sangat indah untukku.
Aku sangat berterimakasih pada Tuhan karena
telah memberi kesempatan bagi diriku untuk mengenal dirimu, yang penuh dengan
senyuman manis. Dan saat ini saat kamu memilih untuk menolak perasaanku aku
merasa sangat sedih, tapi karena itulah aku paham bahwa aku bagimu hanyalah
seorang sahabat.
Tahun 1958 beberapa bulan setelah kelulusan
Saat ini aku sudah mulai mempersiaplan diriku
untuk mulai masuk ke universitas dimana aku akan menempuh pendidikan dokterku.
Aku akan menempuh pendidikan ku di Yogyakarta tepatnya di Universitas Gadjah
Mada yang mana merupakan salah satu universitas terabik di Indonesia pada saat
itu.
Sebelum aku pergi ke jogja aku masih
menyempatkan diri untuk bertemu dengan Haruto dan juga Pierre. Saat kami
bertemu Haruto mengatakan bahwa ia juga diterima di jurusa kedokteran sama
sepertiku, namun di Universitas Indonesia yang berada di Jakarta. Sedangkan
Pierre mengatakan bahwa kedua orangbtuanya ingin dirinya untuk masuk ke
kedokteran. Tapi karena ia bertekad untuk menjadi seorang tentara, ia memilih
untuk menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat(Atekad). Sampai
akhirnya kami pun harus pergi untuk memenmpuh pendidikan masing-masing, walau
seperti itu kami berjanji untuk terus bertukar kabar satu sama lain.
Tahun 1961.
Waktu saat dimana kita menyempatkan diri
untuk bertemu kembali Pierre memeberitahuku jika dirinya sudah lulus dari
akademi militer dengan pangkat letnan dua, aku pun turut senang mendengar akan
kelulusanya. Tapi Pierre juga mengatakan padaku bahwa ia langsung mendapat
tugas pertamanya sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni di Medan, Sumatera
Utara. Mendengar hal itu aku merasa sedih karena harus menerima kenyataan jika
aku tidak akan melihatnya dalam jangka waktu yang lama. Tapi aku tetap mengulas
senyumku dihadapanya karena tak ingin membebaninya dengan kesedihanku, lagipula
aku tak punya hak bukan untuk menahanya pergi.
Yang kutahu tugas itu hanya dijalankannya
selama setahun karena dirinya kemudian mengikuti pendidikan sekolah intelijen
pada tahun 1962. Ia juga dikirim di garis depan pada massa konfrontasi dengan
Malaysia yangg dikenal dengan istilah “dwikora” di mana ia memimpin kelompok
sukarelawan di beberapa titik di tanah air. Disanalah aku dapat bertemu lagi
denganya karena aku juga menjadi relawan medis pada massa konfrontasi itu.
Sejak saat itu Pierre kemudian dipromosikan menjadi Letnan satu/Lettu dan
pengawal pribadi Jendral A.H Nasution.
• • •
Bertahun-tahun telah kulewati dengan tak
pernah lagi bertukar kabar dengan Pierre. Sudah 4 tahun terhitung sejak aku
terakhir aku bertemu dengan dirinya, bagaimana kabarnya sekarang?.
30 September 1965.
Berjalan di lorong rumah sakit kini aku
tengah menjalani profesiku sebagai seorang dokter, bertegur sapa dengan para
perawat serta karywan rumah sakit sudah menjadi rutinitas sehari-hariku. Namun
ada yang menarik perhatianku, ketika hampir semua mata tertuju kepada seseorang
dan tampaknya ia adalah seorang tentara. Lelaki bertubuh gagah itu sedang
berdiri di depan meja administrasi, aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya
karena aku berjalan dari arah belakangnya. Ketika langkahku sudah dekat
denganya aku sadar aku mengenalinya lelaki itu adalah Pierre.
Senyumku tak tertahan tatkala aku bisa
melihatnya lagi setelah sekian lama, tak banyak yang berubah darinya hanya saja
ia tampak lebih gagah dan dewasa sekarang.
“Sudah kana ya, kita tidak bertemu?” Aku bertanya
dengan senyuman yang belum pudar sedkitpun.
Dia pun menoleh kepadaku lalu berkata “Iya.”
“Apa kau mencoba menghindar dariku? Tapi
sepertinya kau gagal.” Kataku.
“Iya.” Ucapnnya lagi, menyebalkan bukan sudah
sekian lama tak bertemu tapi jawabanya hanya seperti itu.
“Kenapa dirimu bersikap seperti itu? Kau
seperti benar-benar berusaha menghindar dariku.” Tanyaku padanya.
Tidak menjawab, Pierre hanya diam mematung.
Dengan tetap mempertahankan ekspresi datar di wajahnya. Membuatku yang kesal
menjadi semakin kesal.
“Jawab aku, kau pasti punya alasan kenapa kau
bersikap seolah-olah menghindariku. Aku hanya ingin mendengar alasanmu.”
Ucapku.
“Alasanku bukanlah seperti yang kau pikirkan.
Aku hanya tak ingin menyakiti perasaanmu saja, sejak saat aku ditugaskan ke
medan. Disana aku bertemu seseorang yang mebuatku jatuh cinta dan aku sadar
jika aku terus dekat denganmu itu akan menyakiti hatimu.” Ujarnya kepada diriku.
Aku menguatkan hatiku untuk bisa menjawab
alasan yang dilotarkan oleh dirinya. “Hatiku sudah berubah, Pierre. Dan aku
sudah tak mencintaimu lagi, aku merindukanmu hanyalah sebatasa perasaanku
sebgai seorang sahabat.”
“Aku tidak percaya.” Nadanya kembali rendah.
“Jika kau sudah selesai-“ ucapannya lagi-lai
diputus.
“Aku permisi dulu.” Dia hanya berbalik dan
berjalan tegas, pergi menjauh dariku.
Aku terdiam tak bisa berkata-kata, hatiku
seolah remuk tapi bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri? Bahwa aku
akan menghapus perasaan ini. Sepertinya aku tidak benar-benar bisa
menghilangkan perasaanku kepada dirinya. Bahkan sampai detik ini dia masih
menjadi seseorang yang berarti dihatiku, dia masih menjadi alasnku tersenyum,
dia masih segalanya untukku. Aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan sendu.
5 Oktober 1965.
Pada hari itu, hari dimana semua orang
berkabung atas kepergian 6 orang jendral dan 1 orang perwira. Hari itu
merupakan hari di mana jenazah pahlawan revolusi, korban tragedi Gerakan 30
September 1965 dikebumikan. Pierre merupakan perwira yang menjadi korban pada
tragedi tersebut. Aku pun turut menghadiri acara pemakaman yang dilakukan di
Taman Makam Pahlawan.
Sebelum hari pemakaman, tepatnya tanggal 1
Oktober 1965 aku mendengar kabar dari radio bahwa adanya penculikan yang
dilakukan kepada 6 orang jendral besar. Aku sangat terkejut mendengar hal itu,
tapi sangat tidak disangka-sangka 3 hari setelah pengumuman itu aku mendengar
kabar yang membuat jantungku seolah berhenti sektika. Dimana aku mendengar
bahwa Pierre Tendean merupakan salah satu korban dari kejadian tersebut. Hatiku
sangat hancur saat mendengarnya tak kusangka hari itu merupakan pertemuan
terakhirku dengan dirinya.
Kembali pada hari dimana seluruh korban
tragedi G30SPKI dimakamkan. Aku berdiri menatap nisan yang bertuliskan “Pierre
Tendean” air mataku tak mampu kutahan lagi. Aku merasa sangat hancur dan
kehilangan melihat orang yang kucintai telah tiada. Tapi aku bangga padanya a
benar-benar menepati janjinya untuk selalu mengabdi pada negara, sekarang
Pierre dirimu akan selalu dikenang sebagai seorang pahlawan bagi negara ini.
Sembari masih menatap nisannya aku pun
menghapus air mataku lalu aku mengulas senyum untuknya sambil berkata
“Berbicara tentang ikhlas, kau tahu aku
pernah memohon doa paling egois kepada Tuhan, dimana segala semogaku hanya
tentang ingin memilikimu. Hingga pada akhirnya aku sadar dengan merelakanu
pergi adalah seikhlas-ikhlasnya jatuh cinta.”
Selesai..
Tidak ada komentar: