Neraka di Timur Jawa
Neraka di Timur Jawa
Oleh : Zulfa Bustanul Hilmi
Berita itu sudah terdengar oleh masyarakat Surabaya. Kedatangan
kembali ras kulit putih ke tanah Pulau Jawa.
Mereka yang dalam tiga tahun lalu sudah meninggalkan Indonesia, kini sudah
kembali ke Jakarta. Surat kabar maupun penyiaran di radio terus memberitakan
kabar tersebut. Hal ini telah menjadi suatu pertanda yang tidak baik, bukan
hanya bagi masyarakat Surabaya, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Kali ini
hanya dalam hitungan waktu, mereka kelak akan kembali ke tanah Surabaya.
Tahun 1942 adalah kali terakhir kami melihat orang-orang
itu menginjakan kaki di tanah ini. Terakhir kalinya menginjakan kaki pada gedung-gedung
penting di Surabaya, dan terakhir kalinya mereka menginjakan kaki pada kehidupan
masyarakat Surabaya. Meskipun pada akhir nyatiba masa yang lebih kejam dari
mereka, namun untuk sesaat kami berbahagia
atas kepergian mereka dari tanah Jawa. Satu hal yang ku tahu pasti, kedatangan mereka
tidak akan membawa berita baik bagi bangsa ini. Kita hanya bisa berharap laras panjang
tersebut tidak mengarah ketubuh kita.
Soekarno dan Hatta pada saat itu telah mengeluarkan
perintah umum kepada rakyat Indonesia untuk tidak berurusan dengan pasukan
Inggris. Kedatangan yang memiliki tujuan untuk melucuti tentara-tentara Jepang
menjadi suatu praduga lain dengan adanya orang-orang NICA yang ingin mempersiapkan
kembali kondisi pemerintahan untuk Hindia Belanda. Banyak hal yang tidak
diketahui oleh orang-orang Londo ini tentang kondisi Indonesia pada saat ini.
Satu hal yang kutahu pasti, ada perjuangan lain yang
harus kita selesaikan. Yaitu mempertahakan kemerdekaan ini untuk seluruh bangsa
Indonesia.
SATU MALAM YANG BIRU
Yang kami takutkan kini sudah terjadi. Pada hari ini,
mereka telah datang ke tanah Surabaya. Dengan jumlah yang tidak sedikit. Dengan
sikap intimidatif, mereka seraya menggertak kami agar mau menunduk di ujung
laras senjata mereka.
“Mereka telah berdusta, aku yakin kau juga menyadarinya.”
“ Apa maksudmu?” sahutkutidak mengerti.
“Mereka datang kemari bukan untuk memulangkan para tantara
Jepang dari tempat ini, mereka kembali untuk menjajah kita lagi,” ujar Idris.
“Hanya dalam hitungan hari Surabaya akan kembali jatuh
ketangan Belanda jika kita tidak melakukan apa-apa!”
“Mereka telah berdusta, aku yakin kau juga menyadarinya.”
“Apa maksudmu?” sahut ku tidak mengerti.
“Mereka datang kemari bukan untuk Mereka kembali untuk
menjajah kita lagi,” Ujar Idris.
“Hanya dalam hitungan hari, Surabaya akan kembali apa!” Idris
mengerutkan dahinya sembari meminum secangkir kopi yang telah disuguhkan. Idris
memang merupakan orang yang keras. Abi telah lama mengenalnya sejak pertama kali
keluarganya menetap di Surabaya. Dia merupakan sahabatnya yang berasal dari
satu sekolah yang sama sepertinya. Minatnya dalam bidang sosial dan politik, menjadikannya
sahabat yang kerap mendiskusikan kehidupan sosial-politik maupun kehidupan sehari-hari.
“Seperti yang kukatakan, kita semestinya tidak.”
“Seperti yang kukatakan kita, semestinya tidak hanya
berdiam diri. Kita harus melakukan sesuatu terhadap orang-orang Londo tersebut.”
“Aku mengerti keresahanmu, tetapi aku bukanlah seorang
pria yang penuh dengan kekerasan. Aku bahkan tidak pernah mengangkat sebuah
senapan.” Sahut Abi meyakinkan Idris.
“Aku mengerti keresahanmu,tetapi aku bukanlah tidak
pernah mengangkat sebuah senapan.” Sahut Abi.
“ Aku mengerti, kau masih bisa membantu tanpa harus
mengangkat senjata. Aku yakin orang-orang berpendidikan sepertimu akan bermanfaat
bagi kami.” Sambil melangkah keluar teras “ Senja sudah bergulir, aku harus
menghadiri rapat yang penting dengan pemuda lainnya. Sampaikan salam ku kepada
Dewi dan juga Ibu Rahmi, terima kasih atas kopinya.”
Malam telah tiba, Ibu Rahmi dan Dewi telah menyajikan makan
malam di ruang makan. Pada malam itu mereka menyajikan gudeg khas Yogya, masakan
yang membawa Abimanyu berlabuh ke relung masa kecilnya. Sebelum menetap di
Surabaya, dulu mereka tinggal disebuah rumah yang sederhana di Yogjakarta. Setidaknya
sebelum Abi melanjutkan pendidikan ke HBS, bapaknya dipindah tugaskan untuk
mengurus administrasi di Surabaya. Sehingga Abi terpaksa melanjutkan pendidikan
di HBS Surabaya. Selama bertugas di Yogyakarta, Bapak Soedomo, mendapat julukan
“ si tangan kilat” dari rekan-rekannya. Menurut rekan-rekannya, ia sangat
terampil dalam mengurus administrasi, jauh lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekannya
yang lain. Mungkin itu juga menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya ia dipindah
tugaskan ke Surabaya.
“Bapak yakin, kamu sudah mendengar beritanya kan?” Tanya
bapak ke arah Abi memecah keheningan.
“Berita tentang apa? Belanda kembali lagi ke Surabaya?”
“Iya tentang itu, sebenarnya bapak sedikit bersyukur ketika
mendengar berita tersebut.”
“Lho, piye to ki bapak. Belanda datang lagi kok
malah bersyukur?” tanya Dewi dengan sedikit keresahan.
“Ya, bersyukur, setidaknya pekerjaan bapak di kantor jadi
lebih dipermudah. Hidup kita nggak akan susah lagi seperti
belakangan-belakangan ini. Lagi pula, memangnya kalian tau apa? Kalian juga kan
masih kecil. Sebelum Jepang datang kesini, upah bapak masih tinggi. Ya, kamu
pikir, kalian bisa sekolah sampai jenjang tinggi itu duit darimana?”
“Tapi kan kita ga bisa tutup sebelah mata pak. Belum genap
dua bulan negara kita merdeka. Seharusnya kan di dukung, bukan justru mendukung
Belanda kembali” . Tegas Abi dengan sedikit geram.
“Waktu peralihan Jepang dari Belanda kamu kira upah bapak
tetep sama? karena alasan biaya administrasi dan restorasi, upah pekerja dulu dipotong.
Apalagi sekarang, dari Jepang ingin dikelola sendiri. Kamu pikir gak akan makan
biaya juga? Bisa-bisa besok bapakmu kerja Cuma digaji secangkir berast iap
minggu.”
“Saat ini dunia sedang berubah pak, bangsa-bangsa kecil
di dunia sudah melekakan penindasan imperialisme. Semestinya kita bersuka cita ketika
bangsa kita menyatakan merdeka dari pendudukan kolonialisme” sahut Dewi.
“Kamu tau dari mana? Dari pacarmu yang mengaku militan dan
revolusionis itu? Kamu itu cuma termakan doktrin kepentingan politik saja.”
Tegas bapak.
“Loh, kenapa jadi membawa-bawa Idrus pak? Terlepas dari siapa
yang mengatakannya, tapi memang begitu kenyataannya.” Jawab Abi dengan ringan,
berusaha menahan amarahnya.
Bapaknya memang tidak menyukai Idrus, ia beranggapan
bahwasannya Idrus merupakan seorang komunis yang hanya mencoba menjalankan kepentingan
internasionalismenya, sehinggaia begitu semangat dalam menentang imperialisme oleh
Belanda atau pun Jepang. Meskipun ia tidak memiliki bukti dan berdasarkan asumsi
saja.
Sambil menggebrak meja, “Sudahlah, kalau kamu merasa
lebih benar dari bapak, lebih pintar dari bapakmu, coba buktikan. Bapak
menyekolahkan kamu tingi-tinggi bukan jadi sekedar penulis puisi atau cerpen
untuk surat kabar setiap hari minggu!” sahutnya dengan nada tinggi.
“Bagaimana kalau kamu sudah menikah, sudah punya anak? Upah
dari sastramu itu tidak akan mampu untuk memberi makan mereka. Kamu mestinya bersyukur,
masih tinggal dibawah atap, mampu makan nasi sehari dua kali, itu karena kerja
keras bapakmu.” Tambahnya, sedangkan Abi hanya diam menunduk.
“si tangan kilat” dari rekan-rekannya.
Menurut rekanya sangat terampil dalam mengurus administrasi, jauh lebih baik
dibandingkan dengan rekan yang lain.
“Sudah - sudah, tidak usah dipermasalahkan
lagi. Habiskan saja gudegnya” sahut ibunya.
“Kamu merasa sebagai orang yang
berpendidikan, tapi tak sedikitpun ilmu yang kamu miliki pernah bermanfaat bagi
orang lain. Jangankan untuk orang lain, untuk dirimu juga belum tentu
bermanfaat!” Tegas bapaknya sambil meninggalkan ruang makan.
Setelah keadaan carut - marut tersebut, Abi
duduk di pekarangan rumahnya. Dengan merenungi perkataan yang telah dikatakan
oleh bapaknya sebelumnya, ia menatap kosong ke langit dan merenungi,“ Aku tidak
pernah menjadi orang yang berkontribusi terhadap negaraku, aku bahkan tidak pernah
menjadi orang yang bermanfaat bagi keluargaku. Seluruh pengetahuan ku hanya
berasal dari buku-buku yang sudah usang. Ilmu ku bagaikan suatu emas yang tertimbun
ratusan meter dibawah tanah, tidak ada artinya dan tidak bermanfaat.”
Lekas ia kembali ke kamarnya, mengambil
beberapa barang-barangnya, lalu pergi meninggalkan rumah. Ia hanya meninggalkan
secarik kertas yang berisi permintaan maaf kepada keluarganya. Abi ingin
membuktikan kepada keluarganya bahwa kelak ia mampu menjadi orang yang
bermanfaat setidaknya bagi dirinya sendiri.Tanpa memiliki tujuan yang jelas.Abi
akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju Genteng. Menuju ke tempat sahabatnya yang
paling dikenalnya, Idrus.
Suatu pagi di Genteng.
“ Apa yang sedang kau lakukan disini? Ini
sudah tengah malam, lagi pula bagaimana kau bisa tiba kemari?” Tanya Idrus,
dengan mencoba membuka kedua matanya yang sebelumnya telah terlelap.
“Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah, aku
merasa hanya menjadi beban keluargaku. Bolehkah aku menetap disini untuk
sementara, setidaknya hingga aku tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya.”
Jawab Abi dengan sedikit kelelahan.
“Baiklah, masukan barang-barangmu, sini
biarku bantu.”
Tanpa banyak bicara, Idrus menuntun Abi
menuju kamar tidurnya dan segera meletakkan barang-barang yang dibawanya. Idrus
memberikan segulung tikar, dan menunjukan Abi untuk dapat merebahkan tubuhnya.
Pada suatu pagi, di luar rumah terdengar
suara kericuhan dari pemuda-pemuda lainnya. Sayup-sayup Abi mendengar kalimat “Londo
ngamuk” yang terdengar dari luar ruang peristirahatannya tersebut. Sontak semua
orang keluar dari ruangan dan menanyakan
apa yang terjadi.
“Londo ngamuk! Hotel oranye pasang
bendera merah putih biru.” Singkat jawab seorang pemuda yang berada disekitar rumah
tersebut. Lekas Idrus kembali ke dalam rumah dan membawa bedil yang disimpannya
di dalam lemari dan bergegas menuju hotel oranye. Abi kebingungan, ia hanya membawa
buku catatan kecil dan sebuah pena dan bergegas mengikuti Idrus. Setibanya di
hotel oranye, sontak keduanya terkejut melihat banyak masyarakat Surabaya yang sudah
mengelilingi gedung terdebut dengan membawa senjata api maupun senjata tajam. Di
sekitar loby hotel sudah diawasi oleh para tentara NICA dan tentara Jepang,
dengan laras panjangnya bersiap menembak siapapun yang mencoba memberontak
masuk. Tentara Jepang berada ditempat untuk bertugas mengamankan keadaan statusku
dari Surabaya itu sendiri. Langkah Abi berhenti ketika melihat keadaan yang
cukup memanas tersebut. Sehingga ia memutuskan untuk menyaksikannya dari kejauhan
dan mencatat peristiwa yang terjadi. Tidak lama dalam keadaan yang kurang
kondusif tersebut, akhirnya datang salah seorang Residen Surabaya di dampingi dengan
dua orang pemuda saat itu untuk melakukan perundingan dengan Mr. Ploegman, orang
yang bertanggungjawab atas kericuhan yang terjadi di pagi hari tersebut. Dengan
mempercayai residen tersebut, masa yang berada di luar gedung mencoba mencoba untuk
tetap kondusif dan menghindari pergesekan dengan tentara-tentara Belanda
tersebut.
Setelah beberapa menit semenjak kedatangan wakil
residen tersebut, terdengar suara tembakan dan teriakan dari dalam gedung hotel.
Masa yang berada di luar menyadari bahwa perundingan tidak berjalan dengan baik.
Sontak masyarakat yang berada di luar gedung mencoba menerobos loby hotel
tersebut. Residen Sudirman digiring keluar oleh salah satu pendampingnya yang bernama
Hariyono. Pertikaian antara keduanya tidak dapat dihindari, suara senapan dari
tentara NICA dan tentara Jepang yang berada di loby hotel justru semakin
membakar semangat masyarakat Surabaya. Diantara orang-orang yang mencoba
menerobos masuk ke hotel tersebut, Abi melihat Idrus dengan bedilnya. Bayonet
yang terpasang pada senjatanya, telah menumpahkan darah dari tentara-tentara
NICA yang mencoba menghadangnya.
Dengan keadaan loby hotel yang penuh darah,
masyarakat yang tersisa memasang tangga untuk mencapai tiang bendera tersebut.
Abi mulai memberanikan diri memasuki kerumunan tersebut untuk mencari
sahabatnya yang entah berada dimana. Pandangannya semakin kabur, melihat
jenazah yang tergeletak di sekitar gedung tersebut. Sayup-sayup ia terus
mendengar kata “Merdeka” berkumandang dari arek-arek Suroboyo. Di atas gedung, bendera
merah putih biru telah diturunkan, dan disobek warna birunya. Abi melihat
keatas, dan melihat sahabatnya berada pada salah satu titik di gedung tersebut.
“Lihat itu, kau tahu apa artinya?” tanya
Idrus kepada Abi yang telah berada di ruang pertemuan.
“ Ini artinya pertumpahan darah akan terjadi
dalam waktu dekat. Dia adalah Mr.Ploegman, orang-orang Londo itu tidak akan diam
saja. Hal berikutnya yang kautahu, kau bisa saja berada dalam kamp penyiksaan mereka.”
“ Idrus, mari kita kembali ke markas. Banyak
yang mesti kita bicarakan!” Ujar Tigor, salah satu kawan Idrus dari persatuan pemuda
militannya.
“ Ikutlah denganku, kita memerlukan semua
tenaga yang kita miliki” ajak Idrus kepada Abi.
Ruang
pertemuan sudah hampir terisi penuh. Beberapa diantaranya yang hadir masih
membawa senjata-senjata yang sebelumnya digunakan di hotel oranye. Tidak
sedikit dari yang hadir bersimbah beluh ataupun darah dipakaiannya. Tak lama
sesudahnya, Idrus mulai memasuki ruangan. Dan pembahasan pun mulai
dilaksanakan, Tigor memulai pembahasan-pembahasan dari hal-hal yang kecil
terlebih dahulu. Sebelum akhirnya membahas pokok permasalahan pada hari itu.
“Kalian sudah melihat apa yang terjadi ini. Yang
berikutnya mereka akan lebih membabi buta!” Bentak Tigor dalam pertemuan dengan
para militan lainnya.
Tigor memiliki watak yang keras, bahkan lebih
keras dibandingkan Idrus. Ia datang ke Surabaya sebelum masa pendudukan Jepang
dengan alasan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Namun yang ia temukan
justru tidak jauh berbeda. Penindasan antara pribumi dan golongan kulit putih masih
nampak. Meskipun berasal dari Sumatera Utara, hal itu tidak membuatnya sulit
beradaptasi dengan arek-arek Surabaya. Justru ia mengagumi bagaimana arek-arek Surabaya
sangat terbuka terhadap perbedaan suku itu sendiri.
“Kita harus mempersiapkan masa,
mempersenjatai mereka yang ingin berjuang bersama. Kita juga harus menyebarkan propaganda
agar rakyat Surabaya ingin berjuang bersama kita juga!” Tambah Idrus.
“ Bapak yakin, kamu sudah mendengar beritanya
kan?” Tanya bapak ke arah Abi memecah keheningan.
“Baiklah, masukan barang-barangmu, sini biar
kubantu.”
“Londo Ngamuk! Hotel oranye
pasang bendera merah putih biru.” Singkat jawab seorang pemuda yang terus
mendengar kata “ Merdeka” berkumandang dari radio.
“Tujuan Inggris kesini adalah untuk melucuti
tentara Jepang dan memulangkan mereka kembali. Terakhir regu pengintai melihat,
Residen Sudirman telah melakukan Kerjasama untuk proses penyerahan senjata
tentara Jepang ketangan Inggris dan Belanda. Jadi pihak Residen kita akan
menjadi perantaranya, kita bisa memanfaatkan senjata tersebut untuk melawan
Inggris. Untuk apa kita berikan itu semua ketangan orang-orang Londo itu?” Ujar
Farid, selaku pimpinan dari regu pengintai.
“Meskipun kita telah memiliki persenjataan
yang lengkap, tidak akan ada artinya jika hanya berjuang sendiri. Orang – orang
Inggris hanya akan menganggap gerakan kita sebagai gerakan kecil suatu kelompok
saja, bukan penolakan umum arek-arek Surabaya.” Jawab Idrus, membuat seluruh
ruangan seketika hening.
“Aku bisa membantumu dalam membuat propaganda
untuk arek-arek Surabaya.” Sahut Abi dari belakang,
“Aku cukup ahli dalam membuat
tulisan-tulisan, dan aku juga punya kenalan dari Soera Asia.” Tambahnya.
“Ide yang bagus, kita juga bisa memanfaatkan surat
kabar untuk menyebarkan kebencian terhadap orang-orang Londo tersebut. Tempelkan
juga poster-poster di setiap gedung-gedung dan jalan yang terdapat di Surabaya.
Sehingga mereka juga akan tergerak untuk melawan Inggris dan Belanda.” Tambah
Idrus sambil mempersiapkan menutup pertemuan tersebut.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan
menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh setiap peserta yang hadir. Gaungan
“Merdeka!” juga turut meramaikan suasana pembubaran perkumpulan itu. Di luar
ruangan, Abi melihat adiknya sedang berdiri menunggunya di depan pintu, lekas
ia segera menghampirinya.
“Aku tahu kau pasti akan berada disini,” Ujar
Dewi yang tidak terlalu lama menunggunya.“ Ibu cemas kamu kenapa-kenapa kak. Ayo
kita pulang.” Ajaknya kepada kakaknya tersebut.
“Dewi? Apa yang sedang kamu lakukan disini?”
Tanya Idrus yang kebingungan melihat Abi dan Dewi yang sedang berdiri di dekat
pintu.
“Aku ingin mengajak mas Abi untuk pulang,
mas.Ibu cemas terhadap mas Abi.” Jawab Dewi
“Maafkan aku, tapi Aku tidak akan pulang sekarang.
Disini aku mencoba untuk membantu sebisaku.
Bapak benar,selama ini aku tidak pernah
menjadi orang yang bermanfaat. Sampaikan salamku untuk Ibu dan Bapak.” Seketika
berlalu meninggalkan Idrus dan Dewi berdua.
“Mas, tolong jaga mas Abi yaa. Aku tidak
ingin hal yang buruk menimpa dirinya. Pastikan ia baik-baik saja sampai nanti ia
kembali ke rumah.” Ucap Dewi dengan menahan sedikit iba.
“Tenang saja, aku yakin kakakmu akan
baik-baik saja. Mungkin justru dia yang akan melindungiku nanti dari para
Londo.” Jawab Idrus dengan menggodanya.
“Ih... tapi aku serius mas.” Jawab Dewi
dengan memukulnya manja.
“Hari sudah mulai gelap, ayo mas antar keTambaksari.”
Ucap Idrus sambil mengantarnya keluar ruangan itu.
Dengan menggunakan lampu pijar di meja
tulisnya, ia berusaha menuliskan sebuah catatan dalam bukunya.“ Belum tiba satu
purnama hariku ditempat ini. Aku telah menyaksikan hal yang tidak pernah tergambar
dalam buku-buku usang itu. Bagaimana manusia begitu kokoh terhadap keyakinannya
dan menumpas mereka yang meyakini hal yang berbeda. Tuhan, berikan aku kekuatan
untuk melakukan apa yang telah diwajibkan kepadaku, jadikanlah aku manusia yang bermanfaat,
setidaknya bagi diriku sendiri.
Seketika ia menutup buku catatan tersebut dan
segera menuliskan kalimat-kalimat propaganda dalam secarik kertas.“ ini akan
menjadi malam yang panjang.” Ujarnya dalam batin.
selesai
Tidak ada komentar: