Neraka di Timur Jawa

Kamis, Desember 28, 2023

Neraka di Timur Jawa

Oleh : Zulfa Bustanul Hilmi

Picture : Detik.News
 

Berita itu sudah terdengar oleh masyarakat Surabaya. Kedatangan kembali ras kulit putih ke tanah Pulau Jawa. Mereka yang dalam tiga tahun lalu sudah meninggalkan Indonesia, kini sudah kembali ke Jakarta. Surat kabar maupun penyiaran di radio terus memberitakan kabar tersebut. Hal ini telah menjadi suatu pertanda yang tidak baik, bukan hanya bagi masyarakat Surabaya, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Kali ini hanya dalam hitungan waktu, mereka kelak akan kembali ke tanah Surabaya.

Tahun 1942 adalah kali terakhir kami melihat orang-orang itu menginjakan kaki di tanah ini. Terakhir kalinya menginjakan kaki pada gedung-gedung penting di Surabaya, dan terakhir kalinya mereka menginjakan kaki pada kehidupan masyarakat Surabaya. Meskipun pada akhir nyatiba masa yang lebih kejam dari mereka,  namun untuk sesaat kami berbahagia atas kepergian mereka dari tanah Jawa. Satu hal yang ku tahu pasti, kedatangan mereka tidak akan membawa berita baik bagi bangsa ini. Kita hanya bisa berharap laras panjang tersebut tidak mengarah ketubuh kita.

Soekarno dan Hatta pada saat itu telah mengeluarkan perintah umum kepada rakyat Indonesia untuk tidak berurusan dengan pasukan Inggris. Kedatangan yang memiliki tujuan untuk melucuti tentara-tentara Jepang menjadi suatu praduga lain dengan adanya orang-orang NICA yang ingin mempersiapkan kembali kondisi pemerintahan untuk Hindia Belanda. Banyak hal yang tidak diketahui oleh orang-orang Londo ini tentang kondisi Indonesia pada saat ini.

Satu hal yang kutahu pasti, ada perjuangan lain yang harus kita selesaikan. Yaitu mempertahakan kemerdekaan ini untuk seluruh bangsa Indonesia.

 

SATU MALAM YANG BIRU

Yang kami takutkan kini sudah terjadi. Pada hari ini, mereka telah datang ke tanah Surabaya. Dengan jumlah yang tidak sedikit. Dengan sikap intimidatif, mereka seraya menggertak kami agar mau menunduk di ujung laras senjata mereka.

“Mereka telah berdusta, aku yakin kau juga menyadarinya.”

“ Apa maksudmu?” sahutkutidak mengerti.

“Mereka datang kemari bukan untuk memulangkan para tantara Jepang dari tempat ini, mereka kembali untuk menjajah kita lagi,” ujar Idris.

“Hanya dalam hitungan hari Surabaya akan kembali jatuh ketangan Belanda jika kita tidak melakukan apa-apa!”

“Mereka telah berdusta, aku yakin kau juga menyadarinya.”

“Apa maksudmu?” sahut ku tidak mengerti.

“Mereka datang kemari bukan untuk Mereka kembali untuk menjajah kita lagi,” Ujar Idris.

“Hanya dalam hitungan hari, Surabaya akan kembali apa!” Idris mengerutkan dahinya sembari meminum secangkir kopi yang telah disuguhkan. Idris memang merupakan orang yang keras. Abi telah lama mengenalnya sejak pertama kali keluarganya menetap di Surabaya. Dia merupakan sahabatnya yang berasal dari satu sekolah yang sama sepertinya. Minatnya dalam bidang sosial dan politik, menjadikannya sahabat yang kerap mendiskusikan kehidupan sosial-politik maupun kehidupan sehari-hari.

“Seperti yang kukatakan, kita semestinya tidak.”

“Seperti yang kukatakan kita, semestinya tidak hanya berdiam diri. Kita harus melakukan sesuatu terhadap orang-orang Londo tersebut.”

“Aku mengerti keresahanmu, tetapi aku bukanlah seorang pria yang penuh dengan kekerasan. Aku bahkan tidak pernah mengangkat sebuah senapan.” Sahut Abi meyakinkan Idris.

“Aku mengerti keresahanmu,tetapi aku bukanlah tidak pernah mengangkat sebuah senapan.” Sahut Abi.

“ Aku mengerti, kau masih bisa membantu tanpa harus mengangkat senjata. Aku yakin orang-orang berpendidikan sepertimu akan bermanfaat bagi kami.” Sambil melangkah keluar teras “ Senja sudah bergulir, aku harus menghadiri rapat yang penting dengan pemuda lainnya. Sampaikan salam ku kepada Dewi dan juga Ibu Rahmi, terima kasih atas kopinya.”

Malam telah tiba, Ibu Rahmi dan Dewi telah menyajikan makan malam di ruang makan. Pada malam itu mereka menyajikan gudeg khas Yogya, masakan yang membawa Abimanyu berlabuh ke relung masa kecilnya. Sebelum menetap di Surabaya, dulu mereka tinggal disebuah rumah yang sederhana di Yogjakarta. Setidaknya sebelum Abi melanjutkan pendidikan ke HBS, bapaknya dipindah tugaskan untuk mengurus administrasi di Surabaya. Sehingga Abi terpaksa melanjutkan pendidikan di HBS Surabaya. Selama bertugas di Yogyakarta, Bapak Soedomo, mendapat julukan “ si tangan kilat” dari rekan-rekannya. Menurut rekan-rekannya, ia sangat terampil dalam mengurus administrasi, jauh lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekannya yang lain. Mungkin itu juga menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya ia dipindah tugaskan ke Surabaya.

“Bapak yakin, kamu sudah mendengar beritanya kan?” Tanya bapak ke arah Abi memecah keheningan.

“Berita tentang apa? Belanda kembali lagi ke Surabaya?”

“Iya tentang itu, sebenarnya bapak sedikit bersyukur ketika mendengar berita tersebut.”

Lho, piye to ki bapak. Belanda datang lagi kok malah bersyukur?” tanya Dewi dengan sedikit keresahan.

“Ya, bersyukur, setidaknya pekerjaan bapak di kantor jadi lebih dipermudah. Hidup kita nggak akan susah lagi seperti belakangan-belakangan ini. Lagi pula, memangnya kalian tau apa? Kalian juga kan masih kecil. Sebelum Jepang datang kesini, upah bapak masih tinggi. Ya, kamu pikir, kalian bisa sekolah sampai jenjang tinggi itu duit darimana?”

“Tapi kan kita ga bisa tutup sebelah mata pak. Belum genap dua bulan negara kita merdeka. Seharusnya kan di dukung, bukan justru mendukung Belanda kembali” . Tegas Abi dengan sedikit geram.

“Waktu peralihan Jepang dari Belanda kamu kira upah bapak tetep sama? karena alasan biaya administrasi dan restorasi, upah pekerja dulu dipotong. Apalagi sekarang, dari Jepang ingin dikelola sendiri. Kamu pikir gak akan makan biaya juga? Bisa-bisa besok bapakmu kerja Cuma digaji secangkir berast iap minggu.”

“Saat ini dunia sedang berubah pak, bangsa-bangsa kecil di dunia sudah melekakan penindasan imperialisme. Semestinya kita bersuka cita ketika bangsa kita menyatakan merdeka dari pendudukan kolonialisme” sahut Dewi.

“Kamu tau dari mana? Dari pacarmu yang mengaku militan dan revolusionis itu? Kamu itu cuma termakan doktrin kepentingan politik saja.” Tegas bapak.

“Loh, kenapa jadi membawa-bawa Idrus pak? Terlepas dari siapa yang mengatakannya, tapi memang begitu kenyataannya.” Jawab Abi dengan ringan, berusaha menahan amarahnya.

Bapaknya memang tidak menyukai Idrus, ia beranggapan bahwasannya Idrus merupakan seorang komunis yang hanya mencoba menjalankan kepentingan internasionalismenya, sehinggaia begitu semangat dalam menentang imperialisme oleh Belanda atau pun Jepang. Meskipun ia tidak memiliki bukti dan berdasarkan asumsi saja.

Sambil menggebrak meja, “Sudahlah, kalau kamu merasa lebih benar dari bapak, lebih pintar dari bapakmu, coba buktikan. Bapak menyekolahkan kamu tingi-tinggi bukan jadi sekedar penulis puisi atau cerpen untuk surat kabar setiap hari minggu!” sahutnya dengan nada tinggi.

“Bagaimana kalau kamu sudah menikah, sudah punya anak? Upah dari sastramu itu tidak akan mampu untuk memberi makan mereka. Kamu mestinya bersyukur, masih tinggal dibawah atap, mampu makan nasi sehari dua kali, itu karena kerja keras bapakmu.” Tambahnya, sedangkan Abi hanya diam menunduk.

“si tangan kilat” dari rekan-rekannya. Menurut rekanya sangat terampil dalam mengurus administrasi, jauh lebih baik dibandingkan dengan rekan yang lain.

“Sudah - sudah, tidak usah dipermasalahkan lagi. Habiskan saja gudegnya” sahut ibunya.

“Kamu merasa sebagai orang yang berpendidikan, tapi tak sedikitpun ilmu yang kamu miliki pernah bermanfaat bagi orang lain. Jangankan untuk orang lain, untuk dirimu juga belum tentu bermanfaat!” Tegas bapaknya sambil meninggalkan ruang makan.

Setelah keadaan carut - marut tersebut, Abi duduk di pekarangan rumahnya. Dengan merenungi perkataan yang telah dikatakan oleh bapaknya sebelumnya, ia menatap kosong ke langit dan merenungi,“ Aku tidak pernah menjadi orang yang berkontribusi terhadap negaraku, aku bahkan tidak pernah menjadi orang yang bermanfaat bagi keluargaku. Seluruh pengetahuan ku hanya berasal dari buku-buku yang sudah usang. Ilmu ku bagaikan suatu emas yang tertimbun ratusan meter dibawah tanah, tidak ada artinya dan tidak bermanfaat.”

Lekas ia kembali ke kamarnya, mengambil beberapa barang-barangnya, lalu pergi meninggalkan rumah. Ia hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi permintaan maaf kepada keluarganya. Abi ingin membuktikan kepada keluarganya bahwa kelak ia mampu menjadi orang yang bermanfaat setidaknya bagi dirinya sendiri.Tanpa memiliki tujuan yang jelas.Abi akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju Genteng. Menuju ke tempat sahabatnya yang paling dikenalnya, Idrus.

Suatu pagi di Genteng.

“ Apa yang sedang kau lakukan disini? Ini sudah tengah malam, lagi pula bagaimana kau bisa tiba kemari?” Tanya Idrus, dengan mencoba membuka kedua matanya yang sebelumnya telah terlelap.

“Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah, aku merasa hanya menjadi beban keluargaku. Bolehkah aku menetap disini untuk sementara, setidaknya hingga aku tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya.” Jawab Abi dengan sedikit kelelahan.

“Baiklah, masukan barang-barangmu, sini biarku bantu.”

Tanpa banyak bicara, Idrus menuntun Abi menuju kamar tidurnya dan segera meletakkan barang-barang yang dibawanya. Idrus memberikan segulung tikar, dan menunjukan Abi untuk dapat merebahkan tubuhnya.

Pada suatu pagi, di luar rumah terdengar suara kericuhan dari pemuda-pemuda lainnya. Sayup-sayup Abi mendengar kalimat “Londo ngamuk” yang terdengar dari luar ruang peristirahatannya tersebut. Sontak semua orang keluar dari ruangan dan  menanyakan apa yang terjadi.

Londo ngamuk! Hotel oranye pasang bendera merah putih biru.” Singkat jawab seorang pemuda yang berada disekitar rumah tersebut. Lekas Idrus kembali ke dalam rumah dan membawa bedil yang disimpannya di dalam lemari dan bergegas menuju hotel oranye. Abi kebingungan, ia hanya membawa buku catatan kecil dan sebuah pena dan bergegas mengikuti Idrus. Setibanya di hotel oranye, sontak keduanya terkejut melihat banyak masyarakat Surabaya yang sudah mengelilingi gedung terdebut dengan membawa senjata api maupun senjata tajam. Di sekitar loby hotel sudah diawasi oleh para tentara NICA dan tentara Jepang, dengan laras panjangnya bersiap menembak siapapun yang mencoba memberontak masuk. Tentara Jepang berada ditempat untuk bertugas mengamankan keadaan statusku dari Surabaya itu sendiri. Langkah Abi berhenti ketika melihat keadaan yang cukup memanas tersebut. Sehingga ia memutuskan untuk menyaksikannya dari kejauhan dan mencatat peristiwa yang terjadi. Tidak lama dalam keadaan yang kurang kondusif tersebut, akhirnya datang salah seorang Residen Surabaya di dampingi dengan dua orang pemuda saat itu untuk melakukan perundingan dengan Mr. Ploegman, orang yang bertanggungjawab atas kericuhan yang terjadi di pagi hari tersebut. Dengan mempercayai residen tersebut, masa yang berada di luar gedung mencoba mencoba untuk tetap kondusif dan menghindari pergesekan dengan tentara-tentara Belanda tersebut.

Setelah beberapa menit semenjak kedatangan wakil residen tersebut, terdengar suara tembakan dan teriakan dari dalam gedung hotel. Masa yang berada di luar menyadari bahwa perundingan tidak berjalan dengan baik. Sontak masyarakat yang berada di luar gedung mencoba menerobos loby hotel tersebut. Residen Sudirman digiring keluar oleh salah satu pendampingnya yang bernama Hariyono. Pertikaian antara keduanya tidak dapat dihindari, suara senapan dari tentara NICA dan tentara Jepang yang berada di loby hotel justru semakin membakar semangat masyarakat Surabaya. Diantara orang-orang yang mencoba menerobos masuk ke hotel tersebut, Abi melihat Idrus dengan bedilnya. Bayonet yang terpasang pada senjatanya, telah menumpahkan darah dari tentara-tentara NICA yang mencoba menghadangnya.

Dengan keadaan loby hotel yang penuh darah, masyarakat yang tersisa memasang tangga untuk mencapai tiang bendera tersebut. Abi mulai memberanikan diri memasuki kerumunan tersebut untuk mencari sahabatnya yang entah berada dimana. Pandangannya semakin kabur, melihat jenazah yang tergeletak di sekitar gedung tersebut. Sayup-sayup ia terus mendengar kata “Merdeka” berkumandang dari arek-arek Suroboyo. Di atas gedung, bendera merah putih biru telah diturunkan, dan disobek warna birunya. Abi melihat keatas, dan melihat sahabatnya berada pada salah satu titik di gedung tersebut.

“Lihat itu, kau tahu apa artinya?” tanya Idrus kepada Abi yang telah berada di ruang pertemuan.

“ Ini artinya pertumpahan darah akan terjadi dalam waktu dekat. Dia adalah Mr.Ploegman, orang-orang Londo itu tidak akan diam saja. Hal berikutnya yang kautahu, kau bisa saja berada dalam kamp penyiksaan mereka.”

“ Idrus, mari kita kembali ke markas. Banyak yang mesti kita bicarakan!” Ujar Tigor, salah satu kawan Idrus dari persatuan pemuda militannya.

“ Ikutlah denganku, kita memerlukan semua tenaga yang kita miliki” ajak Idrus kepada Abi.

  Ruang pertemuan sudah hampir terisi penuh. Beberapa diantaranya yang hadir masih membawa senjata-senjata yang sebelumnya digunakan di hotel oranye. Tidak sedikit dari yang hadir bersimbah beluh ataupun darah dipakaiannya. Tak lama sesudahnya, Idrus mulai memasuki ruangan. Dan pembahasan pun mulai dilaksanakan, Tigor memulai pembahasan-pembahasan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Sebelum akhirnya membahas pokok permasalahan pada hari itu.

“Kalian sudah melihat apa yang terjadi ini. Yang berikutnya mereka akan lebih membabi buta!” Bentak Tigor dalam pertemuan dengan para militan lainnya.

Tigor memiliki watak yang keras, bahkan lebih keras dibandingkan Idrus. Ia datang ke Surabaya sebelum masa pendudukan Jepang dengan alasan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Namun yang ia temukan justru tidak jauh berbeda. Penindasan antara pribumi dan golongan kulit putih masih nampak. Meskipun berasal dari Sumatera Utara, hal itu tidak membuatnya sulit beradaptasi dengan arek-arek Surabaya. Justru ia mengagumi bagaimana arek-arek Surabaya sangat terbuka terhadap perbedaan suku itu sendiri.

“Kita harus mempersiapkan masa, mempersenjatai mereka yang ingin berjuang bersama. Kita juga harus menyebarkan propaganda agar rakyat Surabaya ingin berjuang bersama kita juga!” Tambah Idrus.

“ Bapak yakin, kamu sudah mendengar beritanya kan?” Tanya bapak ke arah Abi memecah keheningan.

“Baiklah, masukan barang-barangmu, sini biar kubantu.”

Londo Ngamuk! Hotel oranye pasang bendera merah putih biru.” Singkat jawab seorang pemuda yang terus mendengar kata “ Merdeka” berkumandang dari radio.

“Tujuan Inggris kesini adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka kembali. Terakhir regu pengintai melihat, Residen Sudirman telah melakukan Kerjasama untuk proses penyerahan senjata tentara Jepang ketangan Inggris dan Belanda. Jadi pihak Residen kita akan menjadi perantaranya, kita bisa memanfaatkan senjata tersebut untuk melawan Inggris. Untuk apa kita berikan itu semua ketangan orang-orang Londo itu?” Ujar Farid, selaku pimpinan dari regu pengintai.

“Meskipun kita telah memiliki persenjataan yang lengkap, tidak akan ada artinya jika hanya berjuang sendiri. Orang – orang Inggris hanya akan menganggap gerakan kita sebagai gerakan kecil suatu kelompok saja, bukan penolakan umum arek-arek Surabaya.” Jawab Idrus, membuat seluruh ruangan seketika hening.

“Aku bisa membantumu dalam membuat propaganda untuk arek-arek Surabaya.” Sahut Abi dari belakang,

“Aku cukup ahli dalam membuat tulisan-tulisan, dan aku juga punya kenalan dari Soera Asia.” Tambahnya.

“Ide yang bagus, kita juga bisa memanfaatkan surat kabar untuk menyebarkan kebencian terhadap orang-orang Londo tersebut. Tempelkan juga poster-poster di setiap gedung-gedung dan jalan yang terdapat di Surabaya. Sehingga mereka juga akan tergerak untuk melawan Inggris dan Belanda.” Tambah Idrus sambil mempersiapkan menutup pertemuan tersebut.

Pertemuan tersebut diakhiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh setiap peserta yang hadir. Gaungan “Merdeka!” juga turut meramaikan suasana pembubaran perkumpulan itu. Di luar ruangan, Abi melihat adiknya sedang berdiri menunggunya di depan pintu, lekas ia segera menghampirinya.

“Aku tahu kau pasti akan berada disini,” Ujar Dewi yang tidak terlalu lama menunggunya.“ Ibu cemas kamu kenapa-kenapa kak. Ayo kita pulang.” Ajaknya kepada kakaknya tersebut.

“Dewi? Apa yang sedang kamu lakukan disini?” Tanya Idrus yang kebingungan melihat Abi dan Dewi yang sedang berdiri di dekat pintu.

“Aku ingin mengajak mas Abi untuk pulang, mas.Ibu cemas terhadap mas Abi.” Jawab Dewi

“Maafkan aku, tapi Aku tidak akan pulang sekarang. Disini aku mencoba untuk membantu sebisaku.

Bapak benar,selama ini aku tidak pernah menjadi orang yang bermanfaat. Sampaikan salamku untuk Ibu dan Bapak.” Seketika berlalu meninggalkan Idrus dan Dewi berdua.

“Mas, tolong jaga mas Abi yaa. Aku tidak ingin hal yang buruk menimpa dirinya. Pastikan ia baik-baik saja sampai nanti ia kembali ke rumah.” Ucap Dewi dengan menahan sedikit iba.

“Tenang saja, aku yakin kakakmu akan baik-baik saja. Mungkin justru dia yang akan melindungiku nanti dari para Londo.” Jawab Idrus dengan menggodanya.

“Ih... tapi aku serius mas.” Jawab Dewi dengan memukulnya manja.

“Hari sudah mulai gelap, ayo mas antar keTambaksari.” Ucap Idrus sambil mengantarnya keluar ruangan itu.

Dengan menggunakan lampu pijar di meja tulisnya, ia berusaha menuliskan sebuah catatan dalam bukunya.“ Belum tiba satu purnama hariku ditempat ini. Aku telah menyaksikan hal yang tidak pernah tergambar dalam buku-buku usang itu. Bagaimana manusia begitu kokoh terhadap keyakinannya dan menumpas mereka yang meyakini hal yang berbeda. Tuhan, berikan aku kekuatan untuk melakukan apa yang telah diwajibkan kepadaku,  jadikanlah aku manusia yang bermanfaat, setidaknya bagi diriku sendiri.

Seketika ia menutup buku catatan tersebut dan segera menuliskan kalimat-kalimat propaganda dalam secarik kertas.“ ini akan menjadi malam yang panjang.” Ujarnya dalam batin.

 

selesai

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.