Betsy Stille

Kamis, Desember 28, 2023

Betsy Stille

Karya : Witan Nafisah

 

Sumber : radarmukomuko.disway.id

Cinta atas tanah air, bukan hanya dirasakan oleh mereka yang lahir di Indonesia. Perasaan bangga yang bergala bukan pula sekadar milik mereka yang berfitrah asli Indonesia. Bukan bawaan, bukan juga warisan. Tekad, pengorbanan, hingga cita-cita negeri tilas koloni yang kini mampu berdiri sendiri ini patut diapresiasi. Di tengah diintegritas bangsa dan negara, kisah seorang Belanda dengan penuh kesadaran diri dan ambisi memantapkan opsi demi kecintaan dan dorongan hati menjadi warga negara Indonesia, Betsy Stille.

Kala itu, tak lama usai deklarasi kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 6 Desember 1946 silam, melalui kapal Weltvreden, Betsy dan bahtera yang tak cuma mengusung warga serta tentara Belanda, melainkan juga kurang lebih sekitar 300 eks mahasiswa Indonesia yang sempat singgah di sana mengambil keputusan untuk berjuang dan memihak Indonesia bertolak dari pelabuhan Rotterdam menuju negeri baru mereka, Indonesia. Negeri yang baru berumur setahun.

“Apakah menurut dirimu, aksi ini merupakan suatu tindakan yang tepat?” Salah seorang mahasiswa melontarkan pertanyaan terkait niat Betsy yang ingin menuju ke Indonesia.

“Tentu saja, mengapa tidak. Aku sangat yakin dengan keputusan yang sudah kupertimbangkan ini. Setelah melihat sendiri situasinya, aku yakin Indonesia tidak salah dan sudah sepantasnya bangsa ini mendapatkan kebebasan yang layak dan terhormat. Aku sepenuhnya memihak kepada Indonesia.” Cetus Betsy.

“Bagaimana dengan keluargamu yang berada di sini?” Tanya mahasiswa itu lagi.

“Semua anggota keluarga ayah, ibu, dan juga saudaraku mengetahui jalan yang aku pijak saat ini. Mereka tidak melarangku, dan aku paham betul akan konsekuensinya. Tak akan menjadi masalah, sesampainya di Indonesia, aku akan menikahi pria di sana dan membina sebuah rumah tangga.” Respons Betsy dengan percaya diri.

Pada saat yang sama di dalam kapal, Betsy berjumpa dengan tiga teman perempuannya yang merupakan tiga bersaudara dari Keluarga Jurrien, yaitu Marinne, Loris, dan Amy. Ketiga temannya tersebut juga ditemani oleh sang ibu, Mien. Keluarga tersebut memiliki dasar yang sama ketika ditanyai persoalan mengapa mereka memilih untuk berpihak pada Indonesia. Dengan segenap hati, pemikiran yang pasti, dan segala aksi hingga tiba hari ini, mereka mengaku yakin telah berada pada sisi yang diingini. Keluarga Jurrien pada dasarnya berideologi sosialis dan sejak awal dikenal sebab mereka lekat dengan perihal pro terhadap Indonesia. Ibu dari Jurrien bersaudara tersebut, Mien Jurrien, sering berperan aktif dalam melawan penjajahan di Belanda yang sedang dijajah oleh Jerman melalui operasi perlawanan gerak bawah tanah pada masa itu.

Selama empat minggu perjalanan, Betsy, Marinne, Loris, dan Amy semakin akrab. Keempatnya saling bertukar pendapat, membincangkan rencana mereka untuk selanjutnya, hingga menceritakan tentang ketertarikan mereka dengan pria turunan Indonesia. Tiga dari mereka tengah menjalin hubungan dengan kru kapal berkebangsaan Indonesia dan perencanaan pernikahan mereka akan digelar saat sesampainya mereka di Indonesia. Agaknya begitu pula dengan Betsy. Penglihatannya selalu tertuju pada salah seorang penumpang pria yang diduga ia merupakan salah satu eks mahasiswa Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan di negeri Belanda. Tak sesekali Betsy menyapa dan mengajak pria itu berbicara. Di saat ada kesempatan, Betsy mencoba membuka pembicaraan.

“Permisi, Apakah pria bernama Tardjo itu Anda? Anda melupakan mantel yang sempat Anda tempatkan di teras kapal beberapa waktu lalu.” Ujar Betsy kepada pria tersebut sembari mantel yang dilipatnya rapi telah berada di tangan kiri pada saat perjamuan makan malam.

“Ah! Syukurlah ditemukan oleh seseorang.. saya khawatir mantel ini akan hilang terbawa angin. Terima kasih telah menjaganya selama ini. Ngomong-ngomong, siapa nama Anda dan bagaimana Anda menemukannya?” Sahut Tardjo sedikit penasaran.

“Salam kenal, saya Betsy Stille, panggil saja Betsy. Beberapa waktu lalu, saya pernah melihat Anda berada di teras waktu itu sedang merokok. Kemudian dua hari yang lalu saya melewati tempat tersebut dan hanya terlihat mantel yang biasa Anda kenakan tersampir di pilar kayu. Langsung saja saya pungut untuk saya simpan sementara sampai bertemu dengan Anda.” Tutur Betsy menjelaskan.

“Saya berhutang budi pada Anda, terima kasih, Betsy.” Tardjo menjawab dengan seri di wajahnya.

“Dengan senang hati! Jika tidak salah, apakah benar kalau Anda ini seorang mahasiswa di sini?” Tanya Betsy karena ia mendapati atribut sebuah perguruan tinggi di mantel Tardjo,

“Itu benar, saya adalah salah satu mahasiswa yang tengah menempuh studi topografi di Delft, Belanda.”

*****

Pada awalnya, Betsy dan ketiga sahabatnya sudah lama ingin bermigrasi ke Indonesia, akan tetapi keberangkatan kapal-kapal di Belanda tidak berkata demikian. Pada saat itu Belanda masih memprioritaskan mobilisasi pasukan militernya ke Indonesia guna penertiban situasi bahkan setelah Indonesia berdiri sendiri. Kemudian tibalah hari ini, mereka dan para Belanda lainnya mendapat kesempatan yang tentu saja tidak akan mereka sia-siakan. Terhitung sejumlah 60 penumpang wanita Belanda yang diangkut oleh kapal Weltvreden menjalin hubungan dengan pria berkebangsaan Indonesia. Setibanya kapal Weltvreden di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, tanggal 1 Januari 1947 jadi kali pertama bagi para wanita Belanda tersebut untuk merasakan dan menyaksikan sendiri suasana berada di Indonesia. Rombongan kapal disambut hangat oleh warga Indonesia. Tak sedikit dari mereka yang membantu penumpang turun dan mengeluarkan tangis haru.

“Mari saya bantu bawakan tas. Benarkah rumor bahwa kalian jauh-jauh untuk ke sini demi memihak kami? Apakah tindakan kalian bahkan diperbolehkan dan bagaimana kalian akan mengatasinya..?? Saya tidak bisa membayangkannya..” Salah satu warga bertanya dengan suara gemetar dan nada terheran-heran dikarenakan tangis suka cita di matanya.

“Terima kasih banyak atas kepedulian Anda, saya sangat menghargainya.. Tenang saja, tidak akan ada masalah, kami berada di sini atas keinginan sendiri.” Tutur Betsy sembari menggenggam tangan salah seorang warga tersebut meyakinkan.

“Baiklah, mudah dipahami, semoga tidak akan terjadi apa pun yang akan merugikan kalian di kemudian hari. Jika dirasa membutuhkan pertolongan, jangan sungkan untuk meminta bantuan kepada kami!” Balas salah seorang warga.

“Terima kasih banyak, saya sangat menghargainya.. Kalian murah hati kepada kami, saya pribadi sampai merasa sudah akrab sekali dengan orang-orang di sini.” Ucapan terima kasih Betsy karena telah diperlakukan dengan baik.

Reaksi masyarakat yang menyambut hangat rombongan kapal Weltvreden membuat seluruh penumpang termasuk Betsy, keluarga jurrien, pemuda-pemudi Belanda dan beberapa warga Belanda yang membela Indonesia, serta 300 eks mahasiswa dan kru kapal berkebangsaan Indonesia terharu dan bahagia.

“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Teriakan rombongan kapal kepada masyarakat.

Selepas melewati proses pemeriksaan dan pengecekan paspor serta dokumen yang dibutuhkan dalam perjalanan, semua rombongan lekas menaiki kereta lokomotif diesel hidraulik menuju Yogyakarta yang dikirim oleh pemerintahan baru Indonesia. Perjalanan kereta lokomotif tersebut dikawal penuh oleh bala militer Belanda hingga tiba di garis yang memisahkan daerah kekuasaan Belanda dengan Indonesia, yaitu garis demarkasi yang bertepatan di Kranji, Bekasi. Hal itu dapat terjadi dikarenakan pada kurun waktu tersebut, Batavia atau Jakarta masih berada dalam kewenangan Belanda. Pada saat di stasiun Kranji, keberadaan Betsy, Jurrien bersaudara, dan kawanan Belanda yang lain dirasa sangat mencolok di antara rombongan orang Indonesia yang berkulit kuning kecokelatan. Satu dari kawanan tentara Belanda memandangi Betsy dan ketiga Jurrien sahabatnya dengan pandangan tidak mengenakan.

“Lihat apa yang terjadi di sini, kalian ingin ke sana? Apakah kalian ini bahkan waras?” Seorang serdadu Belanda berkata demikian sembari menyilangkan jari di dahi.

Ia menatap Betsy dan berpikir bahwa rombongan Betsy sudah tidak waras dikarenakan rombongan Belanda yang lain terlihat menuju Jakarta setelah belum lama ini mereka dibebaskan dari tahanan Jepang. Saat di perjalanan, Betsy, Marinne, Loris, dan Amy tak cuma sekali berseru kepada warga di sepanjang perjalanan kereta dengan penuh antusiasme dan keceriaan di wajah mereka. Setibanya di Yogyakarta, mereka menghadiri acara sambutan yang dihadiri oleh Presiden Soekarno. Betsy dan Juriien bersaudara yang tak lupa ditemani ibunya, Mien telah sukses mendatangi sang presiden bagaikan ‘menyerahkan’ ketiga anak perempuannya kepada Indonesia.

“Hanya ketiga anak perempuan ini harta yang saya miliki.. Pak..” Kata Mien.

“Tenang saja, tidak usah khawatir, Ibu. Kami pasti akan menjaga dan memelihara mereka” Ujar presiden Soekarno sembari menepuk bahu ibu Jurrien bersaudara.

*****

Yogyakarta, Februari 1947

Hari demi hari mereka lewati, siapa sangka persahabatan mereka semakin terjalin erat. Mereka telah menghabiskan waktu bersama kekasih mereka masing-masing, begitu pula dengan Betsy. Mereka semua mengadakan nikah massal bersama pria turunan Indonesia yang mereka jumpai sewaktu di kapal Weltvreden. Betsy dengan Tardjo, Marinne dengan Riyadi, Loris dengan Djum, dan Amy dengan Djabir. Kemudian Betsy ikut ke kediaman suaminya yang berada di Surakarta. Kencan sederhana seperti menonton pagelaran wayang, menghadiri pertunjukan musik keroncong, dan jalan-jalan di malam hari sembari makan terang bulan tidak jarang dilakukan sepasang suami istri tersebut. Tak jarang Betsy dan sahabatnya mendampingi para suami mereka untuk menghadiri sebuah rapat atau sekedar berkumpul bersama warga Indonesia lainnya. Betsy dan Tardjo dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Tanjung.

Di suatu ketika, saat Betsy dan Jurrien bersaudara mendampingi suami mereka untuk mendatangi sebuah acara pertemuan dengan para jajaran orang penting seperti pejabat negara, salah seorang staf menteri sosial berkata kepada Marinne bahwa bantuan mereka sangat dibutuhkan di daerah Jember yang pada saat itu kota tersebut sedang diperebutkan oleh pasukan Inggris yang kemudian diserahkan ke Belanda. Langsung kabar tersebut Marinne segera sampaikan ke saudaranya. Selang beberapa hari sejak adanya kabar tersebut, Jurrien bersaudara berangkat dari Yogyakarta menuju ke Jember. Di sana, mereka turut serta turun tangan ke lapangan bekerja untuk Palang Merah Indonesia. Dari membantu PMI mendirikan sejumlah tempat evakuasi bagi warga Surabaya yang mengungsi, hingga memberi pengobatan dan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Jurrien bersaudara terutama Marinne sangat aktif dalam perjuangan membantu masyarakat Indonesia sebagai anggota Palang Merah Indonesia. Adapun Betsy yang menetap bersama Tardjo di Surakarta, sebelum pada akhirnya mereka semua beralih ke Malang, Jawa Timur.

 

Malang, 21 Juli 1947

Dalam hanya kurun waktu 7 bulan sejak Betsy dan sahabatnya menapakkan kaki di Indonesia, mereka langsung berada di tengah gempuran pertempuran. Pada detik itu, terjadi peristiwa yang dikenal sebagai Agresi Belanda oleh Pemerintah Indonesia. Di mana penguasa Belanda mengerahkan ratusan bahkan ribuan pasukannya dalam ‘Aksi Polisionil’, guna merebut kembali daerah jajahan yang memerdekakan diri itu. Lima hari sejak agresi militer dimulai, para pasukan KNIL telah berhasil membuat kekacauan dan memorak-porandakan kota Malang, tempat di mana Betsy, Marinne, Loris, dan Amy tinggal. Berhari-hari lamanya mereka terus mendengar bunyi ledakan dan tembakan. Hingga sewaktu pagi pada awal bulan Agustus 1947, suara-suara yang mengusik telinga itu mendadak berhenti. Sejumlah tiga dari pasukan KNIL tersebut mendatangi kediaman mereka dengan ditodongkannya senapan yang mereka bawa ke depan pintu rumah.

We zijn namens Betsy, Marinne, Loris en Amy de Nederlanders die zich hier hebben gevestigd en we zijn allemaal getrouwd met Indonesische mannen.” Dalam bahasa Belanda Betsy memperkenalkan diri mereka dan memberitahukan bahwa suami-suami mereka ialah pria turunan Indonesia.

“Oh kasihannya.. Apa kalian ini tidak semenarik itu di kalangan pria Belanda sampai-sampai harus menikah dengan pribumi???” Ucap tentara tersebut dengan lagaknya yang songong.

Lewat tekanan yang dijatuhi oleh United Nations Security Council (UNSC) atau Dewan Keamanan PBB, Pemerintahan Belanda pada akhirnya memufakati putusan UNSC untuk menghentikan aksi pertempuran. Saat Betsy dan Jurrien bersaudara pergi dari rumah menuju ke pusat kota Malang, mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala masing-masing kekacauan di kota Malang. Gedung-gedung tinggi roboh, rumah hancur lebur, dan pipa saluran air rusak akibat ledakan, juga tiang listrik yang tidak cuma mengalami gangguan namun juga jatuh terguling yang menjadikan langkanya pasokan air dan listrik. Lantas Betsy dan sahabat-sahabat nya mencukupi kebutuhan air dengan mendatangi sebuah sungai yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggal.

Aksi pertempuran sudah berakhir akan tetapi Belanda msih belum meninggalkan Indonesia. Direktur Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) mencatat total korban jiwa akibat peristiwa Agresi Belanda di Indonesia pada tahun 1945-1950 sejumlah 4.751 jiwa. Kemudian jumlah korban di pihak Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 100.000 jiwa. Belanda sepantasnya tidak boleh bertempur dalam tragedi itu karena masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

*****

Lembaran baru bagi Indonesia dan juga sebuah permulaan baru lagi bagi Betsy dan ketiga sahabatnya. Tampaknya kehidupan tak selalu berpihak kepada mereka. Dari Loris yang ditinggalkan suaminya dalam masa perang sebelum pengakuan kedaulatan, dan Amy yang bercerai. Empat tahun setelah Belanda menyerahkan kedaulatan tepatnya 1953, Loris menikah kembali dengan seorang pria Indonesia lainnya bernama Oerip. Kemudian disusul Amy yang menikah dengan seorang Sardjono, seorang pekerja industri gula. Akan tetapi peristiwa 30 September 1965 mengubah segalanya. Adik Sardjono ditangkap karena dituduh terlibat kudeta 30 September. Disebutkan, dia disiksa oleh tentara. Lalu Mei 1969 giliran Sardjono ditangkap. Sempat dibebaskan dan dikenai wajib lapor, Sardjono kembali ditahan pada awal 1973. Sardjono pada awalnya ditahan di markas militer di luar Jakarta, lalu kemudian dipindahkan ke Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Pada 16 Januari 1978, Sardjono akhirnya dibebaskan bersama ribuan tahanan politik lainnya. Masa-masa itu tidak pernah dilupakan Amy.

Betsy mengalami sakit parah dan meninggal dunia pada tahun 1980, dan sahabatnya yang tersisa tidak dapat bergerak banyak dan melakukan berbagai aktivitas karena masalah kesehatan, sehingga hanya bisa menghabiskan waktu di kasur dalam masa tuanya.

Selesai....

oooooOOOOOooooo

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.