Betsy Stille
Betsy Stille
Karya : Witan Nafisah
Sumber : radarmukomuko.disway.id
Cinta atas tanah air, bukan hanya dirasakan oleh
mereka yang lahir di Indonesia. Perasaan bangga yang bergala bukan pula sekadar
milik mereka yang berfitrah asli Indonesia. Bukan bawaan, bukan juga warisan.
Tekad, pengorbanan, hingga cita-cita negeri tilas koloni yang kini mampu
berdiri sendiri ini patut diapresiasi. Di tengah diintegritas bangsa dan
negara, kisah seorang Belanda dengan penuh kesadaran diri dan ambisi
memantapkan opsi demi kecintaan dan dorongan hati menjadi warga negara
Indonesia, Betsy Stille.
Kala itu, tak lama usai deklarasi kemerdekaan
Indonesia tepatnya pada tanggal 6 Desember 1946 silam, melalui kapal
Weltvreden, Betsy dan bahtera yang tak cuma mengusung warga serta tentara
Belanda, melainkan juga kurang lebih sekitar 300 eks mahasiswa Indonesia yang sempat singgah di sana mengambil
keputusan untuk berjuang dan memihak Indonesia bertolak dari pelabuhan
Rotterdam menuju negeri baru mereka, Indonesia. Negeri yang baru berumur
setahun.
“Apakah menurut dirimu, aksi ini merupakan
suatu tindakan yang tepat?” Salah seorang mahasiswa melontarkan pertanyaan
terkait niat Betsy yang ingin menuju ke Indonesia.
“Tentu saja, mengapa tidak. Aku sangat yakin
dengan keputusan yang sudah kupertimbangkan ini. Setelah melihat sendiri
situasinya, aku yakin Indonesia tidak salah dan sudah sepantasnya bangsa ini
mendapatkan kebebasan yang layak dan terhormat. Aku sepenuhnya memihak kepada
Indonesia.” Cetus Betsy.
“Bagaimana dengan keluargamu yang berada di
sini?” Tanya mahasiswa itu lagi.
“Semua anggota keluarga ayah, ibu, dan juga
saudaraku mengetahui jalan yang aku pijak saat ini. Mereka tidak melarangku,
dan aku paham betul akan konsekuensinya. Tak akan menjadi masalah, sesampainya
di Indonesia, aku akan menikahi pria di sana dan membina sebuah rumah tangga.”
Respons Betsy dengan percaya diri.
Pada saat yang sama di dalam kapal, Betsy
berjumpa dengan tiga teman perempuannya yang merupakan tiga bersaudara dari
Keluarga Jurrien, yaitu Marinne, Loris, dan Amy. Ketiga temannya tersebut juga
ditemani oleh sang ibu, Mien. Keluarga tersebut memiliki dasar yang sama ketika
ditanyai persoalan mengapa mereka memilih untuk berpihak pada Indonesia. Dengan
segenap hati, pemikiran yang pasti, dan segala aksi hingga tiba hari ini,
mereka mengaku yakin telah berada pada sisi yang diingini. Keluarga Jurrien
pada dasarnya berideologi sosialis dan sejak awal dikenal sebab mereka lekat dengan
perihal pro terhadap Indonesia. Ibu dari Jurrien bersaudara tersebut, Mien
Jurrien, sering berperan aktif dalam melawan penjajahan di Belanda yang sedang
dijajah oleh Jerman melalui operasi perlawanan gerak bawah tanah pada masa itu.
Selama empat minggu perjalanan, Betsy,
Marinne, Loris, dan Amy semakin akrab. Keempatnya saling bertukar pendapat,
membincangkan rencana mereka untuk selanjutnya, hingga menceritakan tentang
ketertarikan mereka dengan pria turunan Indonesia. Tiga dari mereka tengah
menjalin hubungan dengan kru kapal berkebangsaan Indonesia dan perencanaan
pernikahan mereka akan digelar saat sesampainya mereka di Indonesia. Agaknya
begitu pula dengan Betsy. Penglihatannya selalu tertuju pada salah seorang
penumpang pria yang diduga ia merupakan salah satu eks mahasiswa Indonesia yang
sempat mengenyam pendidikan di negeri Belanda. Tak sesekali Betsy menyapa dan
mengajak pria itu berbicara. Di saat ada kesempatan, Betsy mencoba membuka
pembicaraan.
“Permisi, Apakah pria bernama Tardjo itu
Anda? Anda melupakan mantel yang sempat Anda tempatkan di teras kapal beberapa
waktu lalu.” Ujar Betsy kepada pria tersebut sembari mantel yang dilipatnya
rapi telah berada di tangan kiri pada saat perjamuan makan malam.
“Ah! Syukurlah ditemukan oleh seseorang..
saya khawatir mantel ini akan hilang terbawa angin. Terima kasih telah
menjaganya selama ini. Ngomong-ngomong, siapa nama Anda dan bagaimana Anda
menemukannya?” Sahut Tardjo sedikit penasaran.
“Salam kenal, saya Betsy Stille, panggil saja
Betsy. Beberapa waktu lalu, saya pernah melihat Anda berada di teras waktu itu
sedang merokok. Kemudian dua hari yang lalu saya melewati tempat tersebut dan
hanya terlihat mantel yang biasa Anda kenakan tersampir di pilar kayu. Langsung
saja saya pungut untuk saya simpan sementara sampai bertemu dengan Anda.” Tutur
Betsy menjelaskan.
“Saya berhutang budi pada Anda, terima kasih,
Betsy.” Tardjo menjawab dengan seri di wajahnya.
“Dengan senang hati! Jika tidak salah, apakah
benar kalau Anda ini seorang mahasiswa di sini?” Tanya Betsy karena ia
mendapati atribut sebuah perguruan tinggi di mantel Tardjo,
“Itu benar, saya adalah salah satu mahasiswa
yang tengah menempuh studi topografi di Delft, Belanda.”
*****
Pada awalnya, Betsy dan ketiga sahabatnya
sudah lama ingin bermigrasi ke Indonesia, akan tetapi keberangkatan kapal-kapal
di Belanda tidak berkata demikian. Pada saat itu Belanda masih memprioritaskan
mobilisasi pasukan militernya ke Indonesia guna penertiban situasi bahkan
setelah Indonesia berdiri sendiri. Kemudian tibalah hari ini, mereka dan para
Belanda lainnya mendapat kesempatan yang tentu saja tidak akan mereka
sia-siakan. Terhitung sejumlah 60 penumpang wanita Belanda yang diangkut oleh
kapal Weltvreden menjalin hubungan dengan pria berkebangsaan Indonesia.
Setibanya kapal Weltvreden di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, tanggal 1
Januari 1947 jadi kali pertama bagi para wanita Belanda tersebut untuk
merasakan dan menyaksikan sendiri suasana berada di Indonesia. Rombongan kapal
disambut hangat oleh warga Indonesia. Tak sedikit dari mereka yang membantu
penumpang turun dan mengeluarkan tangis haru.
“Mari saya bantu bawakan tas. Benarkah rumor
bahwa kalian jauh-jauh untuk ke sini demi memihak kami? Apakah tindakan kalian
bahkan diperbolehkan dan bagaimana kalian akan mengatasinya..?? Saya tidak bisa
membayangkannya..” Salah satu warga bertanya dengan suara gemetar dan nada
terheran-heran dikarenakan tangis suka cita di matanya.
“Terima kasih banyak atas kepedulian Anda,
saya sangat menghargainya.. Tenang saja, tidak akan ada masalah, kami berada di
sini atas keinginan sendiri.” Tutur Betsy sembari menggenggam tangan salah
seorang warga tersebut meyakinkan.
“Baiklah, mudah dipahami, semoga tidak akan
terjadi apa pun yang akan merugikan kalian di kemudian hari. Jika dirasa
membutuhkan pertolongan, jangan sungkan untuk meminta bantuan kepada kami!”
Balas salah seorang warga.
“Terima kasih banyak, saya sangat
menghargainya.. Kalian murah hati kepada kami, saya pribadi sampai merasa sudah
akrab sekali dengan orang-orang di sini.” Ucapan terima kasih Betsy karena
telah diperlakukan dengan baik.
Reaksi masyarakat yang menyambut hangat
rombongan kapal Weltvreden membuat seluruh penumpang termasuk Betsy, keluarga
jurrien, pemuda-pemudi Belanda dan beberapa warga Belanda yang membela
Indonesia, serta 300 eks mahasiswa dan kru kapal berkebangsaan Indonesia
terharu dan bahagia.
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Teriakan
rombongan kapal kepada masyarakat.
Selepas melewati proses pemeriksaan dan
pengecekan paspor serta dokumen yang dibutuhkan dalam perjalanan, semua
rombongan lekas menaiki kereta lokomotif diesel hidraulik menuju Yogyakarta
yang dikirim oleh pemerintahan baru Indonesia. Perjalanan kereta lokomotif
tersebut dikawal penuh oleh bala militer Belanda hingga tiba di garis yang
memisahkan daerah kekuasaan Belanda dengan Indonesia, yaitu garis demarkasi
yang bertepatan di Kranji, Bekasi. Hal itu dapat terjadi dikarenakan pada kurun
waktu tersebut, Batavia atau Jakarta masih berada dalam kewenangan Belanda.
Pada saat di stasiun Kranji, keberadaan Betsy, Jurrien bersaudara, dan kawanan
Belanda yang lain dirasa sangat mencolok di antara rombongan orang Indonesia
yang berkulit kuning kecokelatan. Satu dari kawanan tentara Belanda memandangi
Betsy dan ketiga Jurrien sahabatnya dengan pandangan tidak mengenakan.
“Lihat apa yang terjadi di sini, kalian ingin
ke sana? Apakah kalian ini bahkan waras?” Seorang serdadu Belanda berkata
demikian sembari menyilangkan jari di dahi.
Ia menatap Betsy dan berpikir bahwa rombongan
Betsy sudah tidak waras dikarenakan rombongan Belanda yang lain terlihat menuju
Jakarta setelah belum lama ini mereka dibebaskan dari tahanan Jepang. Saat di
perjalanan, Betsy, Marinne, Loris, dan Amy tak cuma sekali berseru kepada warga
di sepanjang perjalanan kereta dengan penuh antusiasme dan keceriaan di wajah
mereka. Setibanya di Yogyakarta, mereka menghadiri acara sambutan yang dihadiri
oleh Presiden Soekarno. Betsy dan Juriien bersaudara yang tak lupa ditemani
ibunya, Mien telah sukses mendatangi sang presiden bagaikan ‘menyerahkan’
ketiga anak perempuannya kepada Indonesia.
“Hanya ketiga anak perempuan ini harta yang
saya miliki.. Pak..” Kata Mien.
“Tenang saja, tidak usah khawatir, Ibu. Kami
pasti akan menjaga dan memelihara mereka” Ujar presiden Soekarno sembari
menepuk bahu ibu Jurrien bersaudara.
*****
Yogyakarta, Februari 1947
Hari demi hari mereka lewati, siapa sangka
persahabatan mereka semakin terjalin erat. Mereka telah menghabiskan waktu bersama
kekasih mereka masing-masing, begitu pula dengan Betsy. Mereka semua mengadakan
nikah massal bersama pria turunan Indonesia yang mereka jumpai sewaktu di kapal
Weltvreden. Betsy dengan Tardjo, Marinne dengan Riyadi, Loris dengan Djum, dan
Amy dengan Djabir. Kemudian Betsy ikut ke kediaman suaminya yang berada di
Surakarta. Kencan sederhana seperti menonton pagelaran wayang, menghadiri
pertunjukan musik keroncong, dan jalan-jalan di malam hari sembari makan terang
bulan tidak jarang dilakukan sepasang suami istri tersebut. Tak jarang Betsy
dan sahabatnya mendampingi para suami mereka untuk menghadiri sebuah rapat atau
sekedar berkumpul bersama warga Indonesia lainnya. Betsy dan Tardjo dikaruniai
seorang anak laki-laki yang diberi nama Tanjung.
Di suatu ketika, saat Betsy dan Jurrien
bersaudara mendampingi suami mereka untuk mendatangi sebuah acara pertemuan
dengan para jajaran orang penting seperti pejabat negara, salah seorang staf
menteri sosial berkata kepada Marinne bahwa bantuan mereka sangat dibutuhkan di
daerah Jember yang pada saat itu kota tersebut sedang diperebutkan oleh pasukan
Inggris yang kemudian diserahkan ke Belanda. Langsung kabar tersebut Marinne
segera sampaikan ke saudaranya. Selang beberapa hari sejak adanya kabar
tersebut, Jurrien bersaudara berangkat dari Yogyakarta menuju ke Jember. Di
sana, mereka turut serta turun tangan ke lapangan bekerja untuk Palang Merah
Indonesia. Dari membantu PMI mendirikan sejumlah tempat evakuasi bagi warga
Surabaya yang mengungsi, hingga memberi pengobatan dan pertolongan bagi mereka
yang membutuhkan. Jurrien bersaudara terutama Marinne sangat aktif dalam
perjuangan membantu masyarakat Indonesia sebagai anggota Palang Merah
Indonesia. Adapun Betsy yang menetap bersama Tardjo di Surakarta, sebelum pada
akhirnya mereka semua beralih ke Malang, Jawa Timur.
Malang, 21 Juli 1947
Dalam hanya kurun waktu 7 bulan sejak Betsy
dan sahabatnya menapakkan kaki di Indonesia, mereka langsung berada di tengah
gempuran pertempuran. Pada detik itu, terjadi peristiwa yang dikenal sebagai
Agresi Belanda oleh Pemerintah Indonesia. Di mana penguasa Belanda mengerahkan
ratusan bahkan ribuan pasukannya dalam ‘Aksi Polisionil’, guna merebut kembali
daerah jajahan yang memerdekakan diri itu. Lima hari sejak agresi militer dimulai,
para pasukan KNIL telah berhasil membuat kekacauan dan memorak-porandakan kota
Malang, tempat di mana Betsy, Marinne, Loris, dan Amy tinggal. Berhari-hari
lamanya mereka terus mendengar bunyi ledakan dan tembakan. Hingga sewaktu pagi
pada awal bulan Agustus 1947, suara-suara yang mengusik telinga itu mendadak
berhenti. Sejumlah tiga dari pasukan KNIL tersebut mendatangi kediaman mereka
dengan ditodongkannya senapan yang mereka bawa ke depan pintu rumah.
“We zijn namens Betsy, Marinne, Loris en
Amy de Nederlanders die zich hier hebben gevestigd en we zijn allemaal getrouwd
met Indonesische mannen.” Dalam bahasa Belanda Betsy memperkenalkan diri
mereka dan memberitahukan bahwa suami-suami mereka ialah pria turunan
Indonesia.
“Oh kasihannya.. Apa kalian ini tidak
semenarik itu di kalangan pria Belanda sampai-sampai harus menikah dengan
pribumi???” Ucap tentara tersebut dengan lagaknya yang songong.
Lewat tekanan yang dijatuhi oleh United
Nations Security Council (UNSC) atau Dewan Keamanan PBB, Pemerintahan
Belanda pada akhirnya memufakati putusan UNSC untuk menghentikan aksi
pertempuran. Saat Betsy dan Jurrien bersaudara pergi dari rumah menuju ke pusat
kota Malang, mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala masing-masing kekacauan
di kota Malang. Gedung-gedung tinggi roboh, rumah hancur lebur, dan pipa
saluran air rusak akibat ledakan, juga tiang listrik yang tidak cuma mengalami
gangguan namun juga jatuh terguling yang menjadikan langkanya pasokan air dan
listrik. Lantas Betsy dan sahabat-sahabat nya mencukupi kebutuhan air dengan
mendatangi sebuah sungai yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggal.
Aksi pertempuran sudah berakhir akan tetapi
Belanda msih belum meninggalkan Indonesia. Direktur Institut Kajian Asia Tenggara
dan Karibia (KITLV) mencatat total korban jiwa akibat peristiwa Agresi Belanda
di Indonesia pada tahun 1945-1950 sejumlah 4.751 jiwa. Kemudian jumlah korban
di pihak Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 100.000 jiwa. Belanda
sepantasnya tidak boleh bertempur dalam tragedi itu karena masyarakat Indonesia
mempunyai hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
*****
Lembaran baru bagi Indonesia dan juga sebuah
permulaan baru lagi bagi Betsy dan ketiga sahabatnya. Tampaknya kehidupan tak
selalu berpihak kepada mereka. Dari Loris yang ditinggalkan suaminya dalam masa
perang sebelum pengakuan kedaulatan, dan Amy yang bercerai. Empat tahun setelah
Belanda menyerahkan kedaulatan tepatnya 1953, Loris menikah kembali dengan
seorang pria Indonesia lainnya bernama Oerip. Kemudian disusul Amy yang menikah
dengan seorang Sardjono, seorang pekerja industri gula. Akan tetapi peristiwa
30 September 1965 mengubah segalanya. Adik Sardjono ditangkap karena dituduh
terlibat kudeta 30 September. Disebutkan, dia disiksa oleh tentara. Lalu Mei
1969 giliran Sardjono ditangkap. Sempat dibebaskan dan dikenai wajib lapor,
Sardjono kembali ditahan pada awal 1973. Sardjono pada awalnya ditahan di
markas militer di luar Jakarta, lalu kemudian dipindahkan ke Surabaya dan Malang,
Jawa Timur. Pada 16 Januari 1978, Sardjono akhirnya dibebaskan bersama ribuan
tahanan politik lainnya. Masa-masa itu tidak pernah dilupakan Amy.
Betsy mengalami sakit parah dan meninggal
dunia pada tahun 1980, dan sahabatnya yang tersisa tidak dapat bergerak banyak
dan melakukan berbagai aktivitas karena masalah kesehatan, sehingga hanya bisa
menghabiskan waktu di kasur dalam masa tuanya.
Selesai....
Tidak ada komentar: