HARI INI HARI KEMERDEKAAN
Hari ini Hari Kemerdekaan
Karya
: Vincentio Martin R.K
Hari
ini, aku masih berjalan. Seperti biasanya, lagi-lagi aku berjalan kaki. Aku
berjalan kaki sendirian ke kota tempat orang yang ku cintai sedang menunggu
diriku. Yah, aku tahu, selama resesi global seperti ini, semua mulai dari
sembako sampai sandang pun harganya ikutan naik, kata abang ku sih seperti itu.
Abangku kerja di bank swasta, dia bekerja sebagai teller. Bank swasta bukan
miliknya Hindia belanda, tapi denger-denger sih yang punya bank itu orang
yahudi. Aku jalan daritadi sekitar setengah jam an demi ngirit duit. Tapi aku
yakin rasa capai ini akan terbayarkan ketika bertemu dengan kekasihku.
Tumben
sekali jalanan pada hari ini lebih sepi daripada hari – hari sebelumnya, apakah
ada sesuatu ? Aku Kembali berjalan, kali ini dengan lebih cepat dengan
memandang arloji ku. Aku masih terheran heran mengapa jalanan masih sepi,
padahal hari ini hari jumat pagi, mengapa bisa bisanya jalanan masih sepi.
Tidak ada orang sama sekali yang muncul, hanya jalanan kosong dan bangunan
bangunan yang ada. Separah ini kah efek resensi dunia saat ini?
Matahari
mulai bersinar terik, akupun mulai berkeringat banyak. Punggungku mulai gatal
dikarenakan keringat ku yang banyak. Baju yang ku pakai ini ternyata tidak
senyaman apa yang koh alung katakana. Tidak ada bedanya dengan karung goni
ketika aku memakainya.
*Flashback
ke pagi hari tadi di glodok
“ni
baju berapaan harganya koh?” aku bertanya kepada penjual baju
“
aaaaa… mulah ini mah, segini…” Koh Alung sambil mengacungkan lima jari
ke mukaku.
“tiga
setengah aja koh.. mahal amat dah lima.” Aku menawar baju itu.
“oe
bocah, ni baju oe beli di pengecer batam sana noh. Emang mau lo boat apean
dah?” ujar Koh Alung bertanya kepadaku.
“Buat
ketemu sama kekasih ane koh” Aku menjawab dengan lantang.
“Aaaaa….
Oe punya yang lebih murah ooo, tapi lo jangan lo tawar tawar lagi. Ane dah rugi
bandar. Sepuluh olang kaya lo aja ni, toko oe langsung bangkrut.” Koh Alung
menawarkan ku baju yang lebih terjangkau.
“Ya..
udah deh, mane koh baju nye?” Aku menagih kaos yang ditawarkan oleh Koh Alung.
Koh
Alung masuk ke Gudang nya. Bunyi barang – batang yang digotong oleh para
pegawainya menghiasi gunungan baju. Anak Koh Alung yang lari -lari mengelilingi
pegawai yang tertimpa karung beras oleh mereka. Debu – debu mulai terbang
kesana kemari dari gunungan baju Koh Alung. Seperti apa baju yang akan
diberikan Koh alung ke aku?
“Koh,
Ni baju apaan dah, kok aneh, bolong doang kaga ada kerahnye”
“woi
bocah ini namanye kaos, kaga gaul bener dah lu olang. Ni kaos biasanye dipake
sama anak – anak di glodok sini.
Benar
saja apa yang dikatakan Koh Alung Kepada ku, sepanjang jalan di glodok, banyak
anak anak muda yang memakai kaos model ini. Sesungguhnya karena keadaan ekonomi
keluarga ku lah yang kurang mampu sehingga membuat diriku terkejut akan
perubahan tren masa kini.
“yaudah
deh koh, buat ni baju berapaan harganye?”
“Karna
lo udah nungguin oe daritadi buat ngambil ni baju, oe kasi khusus buat lu Cuma
tiga setengah aje. Lu kaga mau, oe buang baju ni.”
Akhirnya
kubeli juga baju itu walaupun dengan uang yang pas – pasan. Baju yang berbahan
sutera tapi bahan nya panas tiada tara. Tidak apa – apa lah demi seseorang yang
paling aku cintai, gatal dan panas dari baju ini tidak akan menghalangiku. Ah
perutku terasa lapar.
Akupun
mampir ke sebuah warung untuk melepas rasa lapar dan dahaga ku. Memesan
semangkuk soto dan segelas kopi hitam panas, pelan dan sayup aku mendengar
sebuah lagu Betawi dari sebuah radio. Suara static noise dan muncul
tenggelam meninggalkan kesan tersendiri. Babe ku pernah beli radio untukku,
tapi sayang dia sekarang sudah meninggal, mungkin takdir berkata lain.
Rombongan dokar berjalan kearah manggarai dengan cepat. Masih seperti biasa
para tentara jepang berjaga di setiap persimpangan jalan. Namun mengapa hanya
beberapa tentara jepang yang bersiaga, tidak seperti biasanya.
Aku
melanjutkan perjalanan menuju manggarai, mungkin disana aku bisa mencari tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Sayang sekali, sinar matahari semakin menyengat
tubuh dan baju yang ku pakai ini semakin rekat di badan. Cuaca panas di musim
kemarau ini membuat leherku terbakar menghitam. Kata Enyak sih, bayi harus
dijemur dibawah sinar matahari agar pertumbuhan tulang nya optimal, namun jika
bayi dijemur dengan panas seperti ini dipastikan bakalan terpanggang matang
oleh sinar matahari.
Sesampaiyna
aku di stasiun gambir, aku memesan tiket kereta menuju Bogor. Musim kemarau
yang panas menyengat ini membuat ku menyerah untuk berjalan. Dengan duit yang
tersisa sedikit ini aku memutuskan untuk menggunakan kereta untuk menuju
boogor. Hanya tersedia dua pilihan, antara aku jalan kaki dari gambir sampai ke
bogor hingga mati kekeringan atau menaiki kereta yang sempit dan pengap. Akupun
memilih pilihan yang kedua.
Didalam
kereta, suasananya sangat ramai, sempit, pengap, berisik dan baunya dilur
nalar. Ada beberapa tentara jepang yang siaga berjaga mondar mandir dari
gerbong ke gerbong sambil membawa Walkie Talkie, namun aku lebih tertarik
dengan radio dibandingkan dengan Walkie Talkie yang dibawa para tentara jepang
itu, karena hany ada percakapan Bahasa jepang yang aku tidak ketahui keluar
dari Walkie Talkie itu.
Pedagang
asongan mondar mandir menjajakan dagangannya. Tukang gulali, tahu sumedang,
sayur wira wiri antar gerbong untuk mencari pelanggan. Namun tak auku jumpai
juga pedagang cincau yang aku tunggu tunggu itu. Di depan ku ada seorang pemuda
berbadan tinggi sedang menatap kelur jendela melihat pemandangan sepanjang
perjalanan. Penampilannya rapi dan bersih, dipastikan dia adalah orang pekerja
kantoran atau berpendidikan. Berkacamata namun kacanya kusam, membawa buku dan
memakai peci diatas kepalanya yang botak itu, raut wajah nya menunjukkan bahwa
dirinya sedang berbahagia.
“Sama
sama mau ke kota bogor juga bang?” aku memulai percakapan.
“Hah,
iya ada apa?” dia tidak sadar jika aku sedang berbicara kepadanya.
“Mau
ke kota Bogor juga bang?” aku ulangi sekali lagi
“iya,
saya mau pulang setelah kerja” jawabnya.
“abangnya
sering naik kereta kah?” aku Kembali bertanya
“aslinya
baru pertama kali sih aku naik kereta, ternyata di dalam kereta api pengap ya?”
“yaa
seperti inilah, saya pun juga terpaksa naik kereta menuju Bogor.”
Percakapan
kita berdua berhenti ketika orang yang ia kenal datang menghampiri dan
mengobrol dengan dirinya. Aku Kembali melihat keluar jendela. Jakarta bagiku
sudah terlalu membosankan, semenjak Namanya diganti dari Batavia menjadi
Jakarta, semakin banyak pendatang yang merantau ke kota ini. Semenjak
pendudukan jepang sangat berpengaruh dengan keadaan sekarang ini. Sudah tidak
bisa kutemui orang–orang belanda yang berseliweran di kota, kebanyakan sudah
dibantai habis oleh jepang. Yang bisa kutemui hanyalah para tentara jepang yang
pendek dan kekar serta kejam dan haus darah.
Aku
jadi teringat dengan tetangga ku, ia Bernama Saripah seorang bunga desa di
kampung ku. Gadis cantik yang dapat membuat adik kakak saling berseteru hingga
saling menikam. Aku ingat pada tahun 1942, namun bulan nya aku tidak ingat,
Saripah yang masih berumur Sembilan belas tahun, ia dibawa paksa oleh para
tentara jepang untuk dijadikan budak seks.
Aku pun kembali melihat keluar jendela kereta,
pemandangan jalur kereta jakarta – Bogor begitu memanjakan mata. Bukit yang
membentang dan pepohonan yang asri membuat udara menjadi tidak terlalu pengap
seperti tadi.
Kota Bogor, Kota ini adalah kota yang dijadikan belanda
sebagai pusat riset pemerintah kolonial Hindia Belanda dan sebagai tempat
istirahat bagi meneer – meneer Belanda. Nama Belanda dari kota ini adalah
Buitenzorg. Kota ini masih bisa dibilang alami, tidak banyak gedung gedung dan
bangunan bangunan, mayoritas daerahnya masih hutan belantara. Sesampainya di
kota Bogor, rasanya seperti baru saja keluar dari neraka yang panas dan
diangkat menuju surga, seperti kata pak Ustad
Jafar di kampung ku.
“Ntar orang islam matinye kayak gimane tad?” aku bertanya
kepada pak Ustad.
“Tergantung orangnye, di masa idupnye pernah ngelakuin
dosa ato kaga” Pak Ustad menjawab pertanyaanku.
“Kalo tuh orang ngelakuin dosa gimana tad?”
“orangnye
dimaksukin ke neraka dulu, digodok dulu tuh badan ampe dosa dosanye rontok,
abistu diangkat dimasukin ke surga deh”
“Kalo
misalnye toh orang kaga ngelakuin dosa sama sekali gimane tuh tad?”
“Lo
kira bayi ape dah, kaga pernah ngelakuin dosa? Pasti kudu masuk neraka dulu
nemenin ustad” Pak ustad menjawab sambal tertawa.
Akupun
tertawa mengingat percakapan dengan ustad Jafar. Sayang sekali dia sudah
meninggal, dipenggal tentara jepang akibat dia dianggap menyebarkan ajaran
sesat dan pemberontakan. Satu keluarga pak ustad pindah ke Surabaya. Dia selalu
bilang kalau Indonesia belum merdeka jika masih tersisa para penjajah di bumi
pertiwi ini.
Sebelum menuju rumah kekasihku aku menyempatkan diri
untuk berkeliling pusat kota Bogor untuk melihat suasana kota ini. Aku pun
terkejut, tidak jauh berbeda dengan di jakarta, kota Bogor ternyata sama – sama
sepi, sangat jarang sekali kota bogor bisa se sepi ini. Hanya beberapa orang
saja yang berkeliaran keluar, mereka pun sama sama menggunakan peci, kacamata
dan membawa buku, sama persis seperti pemuda yang ku jumpai di kereta tadi. Di
jalan aku pun menemukan pedagang es cincau.
“Ah akhirnya bertemu juga dengan penjual es cincau” kata
ku didalam hati.
Tanpa berpikir panjang aku pun langsung menghampiri
pedagang itu dan memesan satu gelas es cincau. Sembari meminum es cincau yang
aku pesan, aku mengajak berbicara pedangang es cincau tentang suasana kota
bogor yang sepi pada sing hari ini.
“Kang, kok tumben sekali hari ini kota bogor sangat sepi,
tidak seperti biasanya?” aku memulai percakapan.
“Iya nih kang, saya pun juga bingung. kok bisa – bisanya
Bogor se sepi ini.” Penjual es cincau kebingungan.
“Jarang – jarang loh Bogor bisa se sepi ini, padahal ini
bukan hari libur dan ini pun sudah siang hari.” Aku masih terheran – heran.
“Benar sekali kang, Tapi kata orang – orang sih ada
pembacaan proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Mungki karena itulah orang – orang
pada berbondong – bondong ke jakarta untuk menyaksikan itu.”
“Lah saya yang dari jakarta pun juga tidak tahu soal itu.
Tapi apakah indonesia sudah benar – benar merdeka? Orang masi banyak tentara
jepang berseliweran di kota – kota bersiaga menjaga keamanan?” Saya semakin
heran dengan apa yang dikatakan penjual es cincau.
“Memang kang, tapi bisa dilihat semenjak Jepang dibom ama
sekutu tanggal 6 Agustus minggu lalu, kekuasaan Jepang di indonesia makin
melemah hingga titik sekarang ini. Jika kita terus menyerang mundur, Jepang
lama kelamaan akan kalah dan keluar dari negara kita.” Tukang penjual es cincau
menjelaskan kepadaku.
“Oke saya mengerti, tapi mengapa terlalu terburu – buru
untuk merdeka? Sedangkan para penjajah belum benar – benar tuntas?”
“Begini kang, kita harus segera memerdekakan Indonesia
sebelum Sekutu datang untuk menjajah Indonesia.”
“Saya masih tetap tidak setuju jika Indonesia Merdeka
sekarang, orang penindas saja masi berkeliaran bisa bisanya sudah merdeka. Aku
menjawab Pedagang es cincau dengan emosi.
“Baiklah jika akang berpendapat seperti itu, tapi
indonesia harus tetap merdeka sesegera mungkin!”
Karena obrolan makin lama memanas aku pun segera
menghabiskan es cincau ku membayar dan segera melanjutkan perjalanan menuju
rumah kekasihku. Di sepanjang perjalanan aku melihat banyak truk – truk Jepang
sedang berlalu lalang, dan aku melihat didalam truk Jepang itu memuat wanita –
wanita yang direbut paksa oleh Jepang dari keluarganya. Sepertinya mereka akan
dijadikan budak seks lagi oleh Jepang, Cih dasar negara kejam dan cabul. Tak
terasa aku sudah dekat dengan rumah kekasihku, aku hanya perlu berjalan sedikit
ke selatan dan masuk gang kecil itu untuk sampai ke rumahnya.
Akhirnya aku sampai di rumah kekasihku, namun sayang
sekali kondisi rumah benar – benar kosong, tidak ada orang sama sekali. Aku
masih terus mencoba mengetuk pintu dan memperhatikan jendela depan, siapa tahu
ada pergerakan dari orang yang didalam tapi sayang sekali, rumah itu benar –
benar kosong dan aku tidak tahu kekasihku pergi kemana. Aku benar – benar putus
asa disaat itu. Beberapa saat kemudian ada seorang ibu–ibu tetangga yang lewat
didepan rumah memperhatikanku sedang
duduk di lantai.
“Neangan saha, Kang?” ibu-ibu tetangga sebelah rumah bertanya
kepada ku dengan bahasa sunda.
Aku tidak terlalu fasih berbahasa sunda tapi untung saja
aku bisa mengerti percakapan ibu – ibu itu.
“Siti bu, aya teu?” Aku menjawab pertanyaan ibu – ibu
tetangga.
“Neng Siti angkat jeung bapana.”
“Kamana bu?”
“Ka Bandung meureun nya, teu terang ibu oge.”
“Aya naon kitu di Bandung teh bu?”
“Teu terang ibu oge.”
Dan benar saja, ternyata dia pergi bersama bapaknya ke
bandung. Entah untuk apa ibu – ibu tadi hanya mengabari diriku jika tidak ada
orang dirumah kekasihku. Akhirnya aku memutuskan untuk sholat terlebih dahulu
di masjid terdekat. Aku berjalan keluar gang sambil mencari – cari masjid
terdekat untuk aku sholat Ashar, Namun tiba – tiba aku diabrak oleh seseorang
yang menaiki sepeda sambil berteriak.
“Merdeka!!! Merdeka!!!”
“Merdeka?? Apanya yang merdeka??, saya jatuh kamu tabrak
seperti ini. Memang kapan Indonesia merdeka?” aku menggerutu.
“Kamu pasti antek Jepang atau Belanda itu, ya? Kita sudah
merdeka, baru saja Bung Karno menyatakannya!”
“Bodoamat, saya nggak peduli”. Segala kekesalan karena
tidak bertemu kekasih, kepanasan, kelelahan dan tertabrak terakumulasi.
“Bajin*** kamu!” sebuah tongkat bendera meluncur ke arah
muka ku. Disusul pukulan – pukulan orang sekitar. Aku Kembali jatuh, berdarah,
setelah sekian lama tidak melihat darah. Mungkin yang pertama di hari
kemerdekaan ini.
Tidak ada komentar: