HARI INI HARI KEMERDEKAAN

Kamis, Desember 28, 2023

 Hari ini Hari Kemerdekaan

Karya : Vincentio Martin R.K

 

Hari ini, aku masih berjalan. Seperti biasanya, lagi-lagi aku berjalan kaki. Aku berjalan kaki sendirian ke kota tempat orang yang ku cintai sedang menunggu diriku. Yah, aku tahu, selama resesi global seperti ini, semua mulai dari sembako sampai sandang pun harganya ikutan naik, kata abang ku sih seperti itu. Abangku kerja di bank swasta, dia bekerja sebagai teller. Bank swasta bukan miliknya Hindia belanda, tapi denger-denger sih yang punya bank itu orang yahudi. Aku jalan daritadi sekitar setengah jam an demi ngirit duit. Tapi aku yakin rasa capai ini akan terbayarkan ketika bertemu dengan kekasihku.

Tumben sekali jalanan pada hari ini lebih sepi daripada hari – hari sebelumnya, apakah ada sesuatu ? Aku Kembali berjalan, kali ini dengan lebih cepat dengan memandang arloji ku. Aku masih terheran heran mengapa jalanan masih sepi, padahal hari ini hari jumat pagi, mengapa bisa bisanya jalanan masih sepi. Tidak ada orang sama sekali yang muncul, hanya jalanan kosong dan bangunan bangunan yang ada. Separah ini kah efek resensi dunia saat ini?

Matahari mulai bersinar terik, akupun mulai berkeringat banyak. Punggungku mulai gatal dikarenakan keringat ku yang banyak. Baju yang ku pakai ini ternyata tidak senyaman apa yang koh alung katakana. Tidak ada bedanya dengan karung goni ketika aku memakainya.

*Flashback ke pagi hari tadi di glodok

“ni baju berapaan harganya koh?aku bertanya kepada penjual baju

“ aaaaa… mulah ini mah, segini…Koh Alung sambil mengacungkan lima jari ke mukaku.

“tiga setengah aja koh.. mahal amat dah lima.Aku menawar baju itu.

“oe bocah, ni baju oe beli di pengecer batam sana noh. Emang mau lo boat apean dah?” ujar Koh Alung bertanya kepadaku.

“Buat ketemu sama kekasih ane koh” Aku menjawab dengan lantang.

“Aaaaa…. Oe punya yang lebih murah ooo, tapi lo jangan lo tawar tawar lagi. Ane dah rugi bandar. Sepuluh olang kaya lo aja ni, toko oe langsung bangkrut.” Koh Alung menawarkan ku baju yang lebih terjangkau.

“Ya.. udah deh, mane koh baju nye?” Aku menagih kaos yang ditawarkan oleh Koh Alung.

Koh Alung masuk ke Gudang nya. Bunyi barang – batang yang digotong oleh para pegawainya menghiasi gunungan baju. Anak Koh Alung yang lari -lari mengelilingi pegawai yang tertimpa karung beras oleh mereka. Debu – debu mulai terbang kesana kemari dari gunungan baju Koh Alung. Seperti apa baju yang akan diberikan Koh alung ke aku?

“Koh, Ni baju apaan dah, kok aneh, bolong doang kaga ada kerahnye”

“woi bocah ini namanye kaos, kaga gaul bener dah lu olang. Ni kaos biasanye dipake sama anak – anak di glodok sini.

Benar saja apa yang dikatakan Koh Alung Kepada ku, sepanjang jalan di glodok, banyak anak anak muda yang memakai kaos model ini. Sesungguhnya karena keadaan ekonomi keluarga ku lah yang kurang mampu sehingga membuat diriku terkejut akan perubahan tren masa kini.

“yaudah deh koh, buat ni baju berapaan harganye?”

“Karna lo udah nungguin oe daritadi buat ngambil ni baju, oe kasi khusus buat lu Cuma tiga setengah aje. Lu kaga mau, oe buang baju ni.”

Akhirnya kubeli juga baju itu walaupun dengan uang yang pas – pasan. Baju yang berbahan sutera tapi bahan nya panas tiada tara. Tidak apa – apa lah demi seseorang yang paling aku cintai, gatal dan panas dari baju ini tidak akan menghalangiku. Ah perutku terasa lapar.

Akupun mampir ke sebuah warung untuk melepas rasa lapar dan dahaga ku. Memesan semangkuk soto dan segelas kopi hitam panas, pelan dan sayup aku mendengar sebuah lagu Betawi dari sebuah radio. Suara static noise dan muncul tenggelam meninggalkan kesan tersendiri. Babe ku pernah beli radio untukku, tapi sayang dia sekarang sudah meninggal, mungkin takdir berkata lain. Rombongan dokar berjalan kearah manggarai dengan cepat. Masih seperti biasa para tentara jepang berjaga di setiap persimpangan jalan. Namun mengapa hanya beberapa tentara jepang yang bersiaga, tidak seperti biasanya.

Aku melanjutkan perjalanan menuju manggarai, mungkin disana aku bisa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sayang sekali, sinar matahari semakin menyengat tubuh dan baju yang ku pakai ini semakin rekat di badan. Cuaca panas di musim kemarau ini membuat leherku terbakar menghitam. Kata Enyak sih, bayi harus dijemur dibawah sinar matahari agar pertumbuhan tulang nya optimal, namun jika bayi dijemur dengan panas seperti ini dipastikan bakalan terpanggang matang oleh sinar matahari.

Sesampaiyna aku di stasiun gambir, aku memesan tiket kereta menuju Bogor. Musim kemarau yang panas menyengat ini membuat ku menyerah untuk berjalan. Dengan duit yang tersisa sedikit ini aku memutuskan untuk menggunakan kereta untuk menuju boogor. Hanya tersedia dua pilihan, antara aku jalan kaki dari gambir sampai ke bogor hingga mati kekeringan atau menaiki kereta yang sempit dan pengap. Akupun memilih pilihan yang kedua.

Didalam kereta, suasananya sangat ramai, sempit, pengap, berisik dan baunya dilur nalar. Ada beberapa tentara jepang yang siaga berjaga mondar mandir dari gerbong ke gerbong sambil membawa Walkie Talkie, namun aku lebih tertarik dengan radio dibandingkan dengan Walkie Talkie yang dibawa para tentara jepang itu, karena hany ada percakapan Bahasa jepang yang aku tidak ketahui keluar dari Walkie Talkie itu.

Pedagang asongan mondar mandir menjajakan dagangannya. Tukang gulali, tahu sumedang, sayur wira wiri antar gerbong untuk mencari pelanggan. Namun tak auku jumpai juga pedagang cincau yang aku tunggu tunggu itu. Di depan ku ada seorang pemuda berbadan tinggi sedang menatap kelur jendela melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Penampilannya rapi dan bersih, dipastikan dia adalah orang pekerja kantoran atau berpendidikan. Berkacamata namun kacanya kusam, membawa buku dan memakai peci diatas kepalanya yang botak itu, raut wajah nya menunjukkan bahwa dirinya sedang berbahagia.

“Sama sama mau ke kota bogor juga bang?” aku memulai percakapan.

“Hah, iya ada apa?” dia tidak sadar jika aku sedang berbicara kepadanya.

“Mau ke kota Bogor juga bang?” aku ulangi sekali lagi

“iya, saya mau pulang setelah kerja” jawabnya.

“abangnya sering naik kereta kah?” aku Kembali bertanya

“aslinya baru pertama kali sih aku naik kereta, ternyata di dalam kereta api pengap ya?”

“yaa seperti inilah, saya pun juga terpaksa naik kereta menuju Bogor.”

Percakapan kita berdua berhenti ketika orang yang ia kenal datang menghampiri dan mengobrol dengan dirinya. Aku Kembali melihat keluar jendela. Jakarta bagiku sudah terlalu membosankan, semenjak Namanya diganti dari Batavia menjadi Jakarta, semakin banyak pendatang yang merantau ke kota ini. Semenjak pendudukan jepang sangat berpengaruh dengan keadaan sekarang ini. Sudah tidak bisa kutemui orang–orang belanda yang berseliweran di kota, kebanyakan sudah dibantai habis oleh jepang. Yang bisa kutemui hanyalah para tentara jepang yang pendek dan kekar serta kejam dan haus darah.

Aku jadi teringat dengan tetangga ku, ia Bernama Saripah seorang bunga desa di kampung ku. Gadis cantik yang dapat membuat adik kakak saling berseteru hingga saling menikam. Aku ingat pada tahun 1942, namun bulan nya aku tidak ingat, Saripah yang masih berumur Sembilan belas tahun, ia dibawa paksa oleh para tentara jepang untuk dijadikan budak seks.

Aku pun kembali melihat keluar jendela kereta, pemandangan jalur kereta jakarta – Bogor begitu memanjakan mata. Bukit yang membentang dan pepohonan yang asri membuat udara menjadi tidak terlalu pengap seperti tadi.

Kota Bogor, Kota ini adalah kota yang dijadikan belanda sebagai pusat riset pemerintah kolonial Hindia Belanda dan sebagai tempat istirahat bagi meneer – meneer Belanda. Nama Belanda dari kota ini adalah Buitenzorg. Kota ini masih bisa dibilang alami, tidak banyak gedung gedung dan bangunan bangunan, mayoritas daerahnya masih hutan belantara. Sesampainya di kota Bogor, rasanya seperti baru saja keluar dari neraka yang panas dan diangkat menuju surga, seperti kata pak Ustad  Jafar di kampung ku.

“Ntar orang islam matinye kayak gimane tad?” aku bertanya kepada pak Ustad.

“Tergantung orangnye, di masa idupnye pernah ngelakuin dosa ato kaga” Pak Ustad menjawab pertanyaanku.

“Kalo tuh orang ngelakuin dosa gimana tad?”

“orangnye dimaksukin ke neraka dulu, digodok dulu tuh badan ampe dosa dosanye rontok, abistu diangkat dimasukin ke surga deh”

“Kalo misalnye toh orang kaga ngelakuin dosa sama sekali gimane tuh tad?”

“Lo kira bayi ape dah, kaga pernah ngelakuin dosa? Pasti kudu masuk neraka dulu nemenin ustad” Pak ustad menjawab sambal tertawa.

Akupun tertawa mengingat percakapan dengan ustad Jafar. Sayang sekali dia sudah meninggal, dipenggal tentara jepang akibat dia dianggap menyebarkan ajaran sesat dan pemberontakan. Satu keluarga pak ustad pindah ke Surabaya. Dia selalu bilang kalau Indonesia belum merdeka jika masih tersisa para penjajah di bumi pertiwi ini.

Sebelum menuju rumah kekasihku aku menyempatkan diri untuk berkeliling pusat kota Bogor untuk melihat suasana kota ini. Aku pun terkejut, tidak jauh berbeda dengan di jakarta, kota Bogor ternyata sama – sama sepi, sangat jarang sekali kota bogor bisa se sepi ini. Hanya beberapa orang saja yang berkeliaran keluar, mereka pun sama sama menggunakan peci, kacamata dan membawa buku, sama persis seperti pemuda yang ku jumpai di kereta tadi. Di jalan aku pun menemukan pedagang es cincau.

“Ah akhirnya bertemu juga dengan penjual es cincau” kata ku didalam hati.

Tanpa berpikir panjang aku pun langsung menghampiri pedagang itu dan memesan satu gelas es cincau. Sembari meminum es cincau yang aku pesan, aku mengajak berbicara pedangang es cincau tentang suasana kota bogor yang sepi pada sing hari ini.

“Kang, kok tumben sekali hari ini kota bogor sangat sepi, tidak seperti biasanya?” aku memulai percakapan.

“Iya nih kang, saya pun juga bingung. kok bisa – bisanya Bogor se sepi ini.” Penjual es cincau kebingungan.

“Jarang – jarang loh Bogor bisa se sepi ini, padahal ini bukan hari libur dan ini pun sudah siang hari.” Aku masih terheran – heran.

“Benar sekali kang, Tapi kata orang – orang sih ada pembacaan proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Mungki karena itulah orang – orang pada berbondong – bondong ke jakarta untuk menyaksikan itu.”

“Lah saya yang dari jakarta pun juga tidak tahu soal itu. Tapi apakah indonesia sudah benar – benar merdeka? Orang masi banyak tentara jepang berseliweran di kota – kota bersiaga menjaga keamanan?” Saya semakin heran dengan apa yang dikatakan penjual es cincau.

“Memang kang, tapi bisa dilihat semenjak Jepang dibom ama sekutu tanggal 6 Agustus minggu lalu, kekuasaan Jepang di indonesia makin melemah hingga titik sekarang ini. Jika kita terus menyerang mundur, Jepang lama kelamaan akan kalah dan keluar dari negara kita.” Tukang penjual es cincau menjelaskan kepadaku.

“Oke saya mengerti, tapi mengapa terlalu terburu – buru untuk merdeka? Sedangkan para penjajah belum benar – benar tuntas?”

“Begini kang, kita harus segera memerdekakan Indonesia sebelum Sekutu datang untuk menjajah Indonesia.”

“Saya masih tetap tidak setuju jika Indonesia Merdeka sekarang, orang penindas saja masi berkeliaran bisa bisanya sudah merdeka. Aku menjawab Pedagang es cincau dengan emosi.

“Baiklah jika akang berpendapat seperti itu, tapi indonesia harus tetap merdeka sesegera mungkin!”

Karena obrolan makin lama memanas aku pun segera menghabiskan es cincau ku membayar dan segera melanjutkan perjalanan menuju rumah kekasihku. Di sepanjang perjalanan aku melihat banyak truk – truk Jepang sedang berlalu lalang, dan aku melihat didalam truk Jepang itu memuat wanita – wanita yang direbut paksa oleh Jepang dari keluarganya. Sepertinya mereka akan dijadikan budak seks lagi oleh Jepang, Cih dasar negara kejam dan cabul. Tak terasa aku sudah dekat dengan rumah kekasihku, aku hanya perlu berjalan sedikit ke selatan dan masuk gang kecil itu untuk sampai ke rumahnya.

Akhirnya aku sampai di rumah kekasihku, namun sayang sekali kondisi rumah benar – benar kosong, tidak ada orang sama sekali. Aku masih terus mencoba mengetuk pintu dan memperhatikan jendela depan, siapa tahu ada pergerakan dari orang yang didalam tapi sayang sekali, rumah itu benar – benar kosong dan aku tidak tahu kekasihku pergi kemana. Aku benar – benar putus asa disaat itu. Beberapa saat kemudian ada seorang ibu–ibu tetangga yang lewat didepan rumah memperhatikanku  sedang duduk di lantai.

“Neangan saha, Kang?” ibu-ibu tetangga sebelah rumah bertanya kepada ku dengan bahasa sunda.

Aku tidak terlalu fasih berbahasa sunda tapi untung saja aku bisa mengerti percakapan ibu – ibu itu.

“Siti bu, aya teu?” Aku menjawab pertanyaan ibu – ibu tetangga.

“Neng Siti angkat jeung bapana.”

“Kamana bu?”

“Ka Bandung meureun nya, teu terang ibu oge.”

“Aya naon kitu di Bandung teh bu?”

“Teu terang ibu oge.”

Dan benar saja, ternyata dia pergi bersama bapaknya ke bandung. Entah untuk apa ibu – ibu tadi hanya mengabari diriku jika tidak ada orang dirumah kekasihku. Akhirnya aku memutuskan untuk sholat terlebih dahulu di masjid terdekat. Aku berjalan keluar gang sambil mencari – cari masjid terdekat untuk aku sholat Ashar, Namun tiba – tiba aku diabrak oleh seseorang yang menaiki sepeda sambil berteriak.

“Merdeka!!! Merdeka!!!”

“Merdeka?? Apanya yang merdeka??, saya jatuh kamu tabrak seperti ini. Memang kapan Indonesia merdeka?” aku menggerutu.

“Kamu pasti antek Jepang atau Belanda itu, ya? Kita sudah merdeka, baru saja Bung Karno menyatakannya!”

“Bodoamat, saya nggak peduli”. Segala kekesalan karena tidak bertemu kekasih, kepanasan, kelelahan dan tertabrak terakumulasi.

“Bajin*** kamu!” sebuah tongkat bendera meluncur ke arah muka ku. Disusul pukulan – pukulan orang sekitar. Aku Kembali jatuh, berdarah, setelah sekian lama tidak melihat darah. Mungkin yang pertama di hari kemerdekaan ini.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.